Clara tersenyum melihat Lidya pergi begitu saja. Ia yakin bahwa Lidya tengah merasakan kekesalan. Ia yakin bahwa orang itu terus saja menggerutu di dalam hatinya. Jika ia tidak malu dengan orang-orang di sekitarnya, mungkin ia akan tertawakan sekencang mungkin. Namun, ia harus menjaga image nya. Ia tidak mau di cap sebagai gadis arogan yang tak memiliki sopan santun sedikitpun.
Clara menatap Nathan yang masih tampak menahan emosinya. Ia jadi merasa bersalah, karenanya Nathan harus mengeluarkan sedikit tenaganya untuk mengusir Lidya. Tapi tidak apa, lagipula Clara tidak menyuruh Nathan untuk melakukannya.
"Terimakasih." Ucap Clara sembari tersenyum.
"Sama-sama. Apakah dia sering mengunjungimu? Saya tidak yakin bahwa dia merupakan salah satu keluargamu." Jawab Nathan.
"Saya sendiri tidak yakin mengenai itu. Sudahlah, lupakan saja
Devan tersenyum lebar saat mendapati Clara dan Nathan menghampitinya. Akhirnya, kebosanan yang menghinggapinya segera hilang. Namun, senyum itu tiba-tiba luntur saat mengingat bahwa mereka telah membuat Devan lama menunggu. Ia memasang wajah masam saat Clara dan Nathan mendekatinya."Kenapa wajahmu masam begitu? Bukankah seharusnya kamu senang, kalau kami yang menjemputmu?" Tanya Nathan."Sebenarnya Devan senang, tapi kalian telah membuat Devan menunggu. Sampai Devan kebosananku sendiri. Kalian kenapa lama sekali?" Tanya Devan dengan nada sewot."Kami tidak bermaksud membuatmu menunggu. Tadi ada kejadian yang membuat kamu harusnya menyelesaikannya terlebih dahulu. Kamu mengerti kan?" Ucap Nathan berusaha memberi penjelasan."Bukan karena tante genit kan,Papa?""Tentu saja bukan. Papa tidak pernah berurusan dengan dia. Sekarang kita pulang." 
Edgar tersenyum culas. Ia membayangkan sosok Wilda. Ternyata membodohi wanita itu benar-benar mudah. Ia tidak menyangka, sosok seorang anak konglomerat bisa juga terlalu bodoh. Ia kira, Wilda merupakan sosok cerdas yang berpendidikan tinggi. Hal itu semakin membuat Edgar puas. Ia tidak perlu repot-repot untuk mengatakan hal ini dan itu untuk membodohi Wilda. Wanita itu tidak akan curiga tentang sifat liciknya. Ia yakin itu. Setelah malam tadi ia berhasil mencicipi tubuh Wilda. Ia jadi ingin mencicipinya lagi. Ia tidak menyangka jikw Wilda sangat bisa membuat napsunya membucah. Ia juga bisa memuaskan nafusnya. Tadi, malam Wilda terus saja menjerit di bawah kungkungannya. Edgar yakin, bahwa Wilda begitu menikmatinya. Edgar jadi ingin mencobanya lagi. Erangan Wilda tidak kalah dengan jalang sewaan yang telah ia bayar mahal. Edgar juga tidak perlu mengeluark
Devan memasuki rumahnya dengan terburu. Ia tak sabar untuk menunjukkan sesuatu yang ia lupakan karena menahan kesal tadi. Padahal rencananya Devan akan memberitahu Clara dan Nathan pada saat Clara dan Nathan menjemputnya. Namun, harus ia urungkan karena Clara dan Nathan datang terlambat sampai membuatnya sedikit menahan kesal. Nathan mengernyit heran. Tak biasanya Devan mendahuluinya masuk ke dalam rumah. Ia menatap Devan yang sudah berlari masuk ke dalam rumah. Cepat sekali. Ia melirik Clara yang juga menatap Devan heran. Mungkin ia juga heran melihat tingkah Devan yang ajaib."Kenapa dia lari begitu cepat? Apakah dia memang terkadang seperti itu?" Tanya Clara heran."Entahlah. Sepertinya tidak. Saya tidak pernah melihat dia berlari secepat itu saat memasuki rumah. Mungkin dia ingin melakukan sesuatu." Jawab Nathan."Oh, seperti itu
Wilda menyelusuri jalan dengan terus bersungut-sungut. Ia kesal sekali hari ini. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin, ia bisa dikalahkan oleh bocah ingusan seperti Clara? Sia-sia ia harus bersolek secantik mungkin untuk menemui Nathan. Ia telah mengeluarkan banyak biaya untuk bisa menaklukkan hati Nathan. Jika bisa, ia ingin segera menghabisi Clara sekarang juga. Namun, ia tidak cukup kekuatan untuk melenyapkan Clara saat itu juga. Wilda menghela nafas lemah. Ini adalah hari sial. Setelah ia mengumpulkan kepercayaan diri bahwa ia bisa menaklukkan hati Nathan selama setahun terakhir, ia dipaksa menerima bahwa ia kalah dengan seseorang yang batu saja datang ke kehidupan Nathan. Wilda menepuk dahinya pelan. Ia melupakan sesuatu. Daripada memikirkan Nathan lebih baik ia memikirkan seseorang yang jelas memperlakukannya dengan manis.
Clara mengetul dagunya pelan. Besok, ia akan mendaftarkan diri ke jenjang yang lebih tinggi. Ia tidak tahu harus mengambil jurusan apa. Hah... Memikirkan seperti ini saja membutuhkan waktu yang lama. Jika ia memilih jurusan matematika, mungkin ia akan kesulitan mengurus kafenya mengingat ia tidak begitu baik dalam pelajaran itu. Jika ekonomi? Sepertinya tidak aada yang perlu dipelajari lagi. Bahasa? Cukup bagus, tapi menurut Clara jurusan bahasa terlalu membosankan. Ia tidak mau itu. Sebagai anak yang cukup aktif, pasti Clara bisa mati kebosanan jika mendengar penjelasan sang dosen. Ah, sepertinya Clara menemukan hal yang tepat. Bagaimana dengan seni? Ini adalah pilihan yang terbaik. Clara pecinta seni. Ia bisa mengembangkan kemampuannya disana. Tidak monoton hanya sekedar seperti ini saja. Clara yakin, ia bisa memperluas kelebihannya. Dengan mengambil jurusan seni. Mungkin Clara akan bisa mengeksplor kebudayaan da
Nathan menyeruput kopinya pelan. Ia menikmati rasa pahit yang membekas di lidahnya. Mungkin kopi ini layaknya kehidupan yang sedang di alaminya saat ini. Hitam dan pahit. Namun, ia masih merasakan manis walaupun sedikit. Tidak apa, setidaknya hidupnya tidak seperti kopi hitam tanpa gula. Terlalu pahit. Terkadang Nathan merutuki dirinya sendiri yang kurang bersyukur. Namun, mau bagaimana lagi? Kepergian Emilia benar-benar membuat hatinya hancur dan kehidupannya berubah total. Ternyata pengaruh Emilia begitu besar bagi kehidupannya. Nathan mengusap potret Emilia, namun potret itu tiba-tiba saja berubah seperti potret Clara. Nathan menggelengkan kepalanya pelan. Kenapa ia bisa seperti ini? Apakah hatinya telah benar-benar berpaling sekarang? Ia tidak mau itu terjadi. Ia sudah berjanji apada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada seorang pun yang bisa menggantikan
Alvin menyelesaikan semua pekerjaannya dengan tergesa. Ia harus segera menemui sang istri. Walaupun ibunya mengatakan bahwa istrinya baik-baik saja. Tetap saja hatinya begitu cemas. Ingin mengetahui kondisi sang istri. Alvin menumpuk pekerjaannya asal. Ia sempat menitipkan pada orang kepercayaannua untuk merapikan semua dokumen itu sesuai tempatnya masing-masing. Ia sedikit berlari agar segera sampai ke mobilnya. Alvin mengendarai mobilnya dengan denga kecepatan penuh. Ia tidak memperdulikan teriakan-teriakan yang terus memperingatinya agar berhati-hati. Namun, hal itu tampak seperti angin lewat saja. Alvin tidak memperdulikannya sama sekali. Fikirannya terus menuju ke sang istri. Alvin bisa bernafas lega saat ia mulai dekat dengan rumahnya. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan istrinya. &nbs
Clara dan Rafa menyelusuri lorong dengan terus melontarkan canda tawa. Mereka bahkan tidak memperhatikan sekelilingnya yang menatap mereka aneh. Mereka terlalu ribut untuk ukuran dua orang yang saling melemparkan candaan. Bahkan, suara mereka berdua sampai memenuhi lorong kampusnya. Saking ributnya."Hei. Kamu tahu, aku dulu pernah menyukaimu? Aku yakin jika kamu tidak percaya tentang ini. Bagaimana bisa aku menyukai gadis cerewet tanpa bakat sepertimu? Aku bahkan tidak percaya semua ini." Ucap Rafa disertai dengan kekehan."Apa katamu. Aku sih percaya-percaya saja jika kamu pernah menyukaiku. Aku ini gadis yang penuh pesona. Jadi wajar, jika banyak laki-laki yang menyykaiku. Tunggu, apa katamu? Aku tidak memiliki bakat? Sepertinya kamu harus menarik kata-kata mu mulai dari sekarang. Karena aku bukan gadis yang seperti itu. Aku terlahir sebagai gadis yang penuh bakat." Ucap Clara sembari terus menyombongkan diri.
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &