"Iya, Ndy. Aneh nggak sih, menurut kamu?"
"Ciyyeeee yang barusan dapet kembang, aiiiihh ...." Nindy bukannya menjawab pertanyaan Jingga malah sibuk menggoda temannya itu. Hal ini membuat Jingga gondok dan mencubit lengan Nindy dengan gemas.
"Aww, Jingga ihh, sakit tahu!" Nindy mengomel sambil mengusap-usap bekas cubitan Jingga yang agak memerah. Jingga melengos tak peduli. Ia bersedekap di dada sembari menatap Nindy tajam penuh selidik.
"Buruan ngaku kamu! Udah cerita ke siapa aja soal bunga mawar jingga itu?"
Nindy tidak segera menjawab. Ia seperti kebingungan entah karena tidak nyambung dengan tuduhan Jingga atau karena ada yang sedang ditutup-tutupi olehnya. Jingga benar-benar tidak dapat mengetahuinya dengan pasti. Karena itu dia jadi gusar sekali.
"Apaan, sih, kok jadi aku yang dituduh bocor?"
"Lha abisnya siapa lagi, dong. Yang tahu soal itu kan k
~ Terima kasih untuk kesan yang kau tinggalkan. Semenjak melihatmu, hariku yang biasanya kelabu menjadi indah. Sewarna jingga di angkasa kala senja menyapa ~AJingga lagi-lagi menemukan kartu ucapan yang sama. Tetapi ini di rumahnya. Tergeletak di pintu gerbang saat pagi itu ia membuka pintu pagar untuk jogging bersama Nila seperti yang memang tiap hari Minggu pagi mereka lakukan.Nila merebutnya dari tangan Jingga dan auto bersorak kegirangan. "Ya ampun, Mbak Jingga! Keren banget sumpah, ini siapa sih, si A, aku ngefans bener deh romantisnyaaaaa, aiiih, so sweeet ...." Netranya berbinar penuh haru membayangkan betapa beruntung nasib kakaknya.Jingga yang hendak merebut kembali kartu ucapan itu, ditepis oleh Nila untuk mempertahankannya. Ia masih penasaran ingin tahu seperti apa orang yang ngirimin bunga dan kartu-kartu ucapan romantis itu untuk kakaknya.
"Jadi bener dugaan awalku kalau ini semua rekayasa Nindy?"Angkasa tampak tersentak,"Bukan rekayasa, Jingga. Ini serius."Terasa tatapan tajam matanya menusuk masuk ke netra Jingga. Menghanyutkannya selama beberapa detik sampai kesadaran menghempaskannya kembali."Tapi dari awal aku udah ngira ini ada hubungannya sama Nindy. Tapi dia nggak ngaku, malah muter-muter cari alasan ini itu. Apaan maksudnya, coba?" Tanpa sadar Jingga mengomel. Ia tersulut emosinya karena sedikit merasa dikhianati kepercayaannya oleh sahabat satu-satunya itu.Padahal ia sudah sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada Nindy. Tetapi tega-teganya dia membohongi untuk hal sepenting itu.Angkasa yang tidak menyangka reaksi Jingga akan semarah itu, bingung hendak menjawab bagaimana lagi untuk menjelaskan duduk perkaranya. Bahwa Nindy hanya dimintanya untuk membantu mendekatkan dirinya dengan Jingga.
"Maaf, ya, Ngga. Jangan diem gitu, dong. Kan aku jadi nggak enak, nih." Nindy mati-matian membujuk Jingga agar tak mendiamkannya.Mereka tengah bekerja kembali pada hari Senin paginya. Hari yang biasanya menyenangkan karena mereka bekerja bersama sambil bersenda gurau maupun mengobrol masalah banyak hal, kini terasa hampa karena Jingga mendiamkannya sejak pagi."Duh, susah amat dibujuk, yaaa, ini anak," gerutu Nindy sedikit kesal saat Jingga pergi ke luar ruangan karena ada perlu. Ia kemudian menyadari satu hal. Sepertinya harus ada satu rencana lain untuk mengatasi ini."Biar sekalian deh, udah kepalang juga ini," gumamnya saat terlintas sebuah ide yang lumayan gila di kepalanya. Semalam ia sudah chat panjang lebar dengan Nila mengenai perkiraan perasaan Jingga pada Angkasa. Ada rasa atau tidak biar bisa untuk pijakan bagi Angkasa akan melanjutkan niatnya atau urung saja.Meskipun dari Angkasa sendi
Desiran dalam hati Jingga tak terkatakan. Menderas bak air bah yang terjun dari ketinggian. Ia membaca sebaris kalimat itu dengan dada yang bergetar penuh gejolak perasaan. Haru bercampur bahagia dan bahkan penuh kebersyukuran muncul bersamaan dalam dadanya.Inikah yang dinamakan cinta? Saat bahkan tanpa bersua pun, sebaris kalimat darinya mampu menggetarkan kalbu. Saat bahkan tanpa suaranya pun, seuntai aksara sanggup menggoyahkan rasa. Sungguh betapa agung kuasa satu rasa bersebut cinta.Nila memperhatikan wajah kakaknya yang semburat memerah bersamaan dengan sudut bibirnya yang tertarik membentuk senyum tertahan. Ah, Mbak Jingga memang ada rasa dengan Mas Angkasa, batin Nila semakin yakin dengan dugaannya. Semua bahasa tubuhnya cukup membuktikan. Kadang memang tak perlu kata untuk sekedar memberi pengertian."Uhuk, uhukkk, keselek cinta aku tuh," Nila mulai menggoda kakaknya. Itu adalah salah satu kegiatan yang sangat
"Iya, yuk, ah, Mbak." Nila sedikit menggeret kakaknya untuk segera masuk sambil bolak-balik cemas melihat jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Aduuuh, buru-buru amat, sih. Nyantai dikit, napa?" Jingga memprotes adiknya yang terkesan terlalu tergesa entah kenapa. "Keburu laper ini, Mbak," jawab Nila sekenanya. Mereka baru saja sampai di depot Bakso Hitz. Nila sangat tergesa karena jam yang ia janjikan kepada Angkasa dan Nindy sudah lama terlewat. Ia terlambat gara-gara Jingga awalnya menolak untuk ikut dan Nila harus membujuk mati-matian dengan segala cara baru akhirnya sang kakak bersedia. "Ish, perut cacingan, dasar. Dikit-dikit laper," gerutu Jingga terpaksa mengikuti langkah cepat adiknya karena lengannya yang digeret paksa. Sampai di dalam, Jingga merasa sedikit aneh. Tempat yang biasanya ramai pengunjung entah kenapa tampak lengang dan
Siang itu berlalu dengan penuh kebahagiaan. Nila dan Nindy yang asyik makan bakso sambip tak lupa terus mengerecoki Jingga dan Angkasa yang tengah saling mengenal lebih jauh. Lebih tepatnya, Angkasa harus menjawab interogasi panjang yang dilancarkan oleh Jingga mengenai banyak hal."Jadi, yang Nila ceritakan itu benar?"tanya Jingga setelah Angkasa menceritakan kejadian buruknya dengan sang mantan."Memangnya Nila biasanya bohong?" tukas Angkasa malah melempar balik pertanyaan."Ya enggak, sih. Tapi kan siapa tahu aja kamu yang bohongin dia." Sambil meneliti mata Angkasa yang bola mata hitam kelamnya tampak memesona bila dipandang dari arah dekat begini."Enak aja. Aku bukan tukang bohong, asal tahu aja," pungkas Angkasa, untuk kesekian kalinya meyakinkan hati gadis itu. Jingga memang tak mendapati gurat kebohongan di matanya, yang ada hanya kesungguhan dan keseriusan serta keyakinan diri yang besar."Kalau kamu? Nila enggak cerita tenta
"Haah? Jadi cuma gara-gara dengerin becandaan kami?" Jingga terperangah.Angkasa mengangguk pasti di balik kemudi. Mereka tengah berada dalam mobil Angkasa yang melaju pelan menembus jalanan Jombang-Mojoagung nan lumayan lengang sore itu.Jingga merengut tanpa sebab yang jelas. Tadinya ia menanyakan alasan apa sebenarnya yang membuat Angkasa pertama kali suka sama dirinya.Dan saat pria itu jujur menjawabnya, malah begitu ekspresinya. Angkasa jadi heran sendiri. Apakah dia salah ucap atau apa, kira-kira. Ish, wanita memang makhluk absurd, putusnya dalam hati."Kenapa, sih? Kok malah cemberut?" tanyanya memberanikan diri."Ternyata nggak so sweet!" tukas Jingga, lebih memonyongkan lagi bibirnya ke depan."Apanya?" Angkasa yang tak tahu menahu arah pembicaraan Jingga, malah bertanya asal."Ya itu ..., mana ada orang mendadak suka cuma gara-gara denger dia lagi becanda ama temennya? Di mana spesialnya?" cerocos Jingga akhirnya.
Angkasa memarkirkan mobilnya di luar pagar rumah Jingga. Setelah mobil itu terparkir rapi, laki-laki 27 tahun itu mengikuti Jingga berjalan ke arah rumahnya. Rumah Jingga bersebelahan dengan sebuah toko sembako. Kata Jingga, toko sembako itu milik ibunya. “Asalamualaikum,” kata Jingga mengucapkan salam. Tak ada sahutan. Namun, Jingga tak putus asa. Dia tetap mengucapkan salam itu untuk kedua kalinya sambil memasuki ruang tamu dan melongok ke dalam. “Duduklah di sini dulu. Aku mau nyari ibuku dulu,” ucap Jingga mempersilakan Angkasa duduk. Angkasa tak banyak bicara, dia menurut saja dengan perintah Jingga. Jingga lalu berjalan ke arah dapur mencari-cari ibunya, tetapi tak ada. Hingga dia mendengar suara air yang diguyur dari arah kamar mandi. Jingga tersenyum. Pantas saja sejak tadi salamnya tak mendapat balasan. Rupanya, ibunya sedang mandi. Tahu bahwa sang ibu sedang m
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat
Hanya setetes air mata yang terjatuh dari sudut mata Jingga, tetapi dapat meluluh lantakkan semua perasaan yang ada pada diri Angkasa. Sebabnya tentu saja, dia tak sanggup jika melihat Jingga menangis. Angkasa kemudian segera menghampiri Jingga, mengusap air mata yang menetes di pipinya, kemudian mengecup kening sang istri mesra."Kita berangkat sekarang," kata Angkasa tanpa pikir panjang.Biarlah dia yang mengalah lagi demi kebahagiaan sang istri. Memeriksa keadaan mobil, bisa sambil berjalan nanti. Untuk urusan kedai dan izin kepada keluarga, bukankah bisa didapat dalam perjalanan dan diurus melalui sambungan telepon?Angkasa lagi-lagi harus kuat, tabah, dan juga mengalah. Dia tak mampu jika melihat air mata Jingga menetes karena dirinya. Dalam hal yang terjadi barusan, Angkasa mengira dialah yang telah membuat Jingga menangis. Padahal yang sesungguhnya, Jingga menangis karena pemikirannya sendiri. Namun, Jingga juga tak menolak ajakan suaminya. Wanita y
Setelah sampai di rumah, Jingga langsung disuruh beristirahat oleh suaminya. Jingga tentu saja tidak bisa menolak. Terlebih Angkasa juga selalu mengingatkan akan kejadian yang barusan dia alami. Dan Jingga tidak mau hal tersebut sampai terulang kembali. Jingga sedang berusaha memejamkan mata ketika Angkasa berpamitan dengannya. Suaminya tersebut akan segera mencarikan ayam bakar madu yang Jingga inginkan. Jingga merasa sangat beruntung, ternyata dalam diamnya Angkasa, dia terus saja memperhatikan kondisi dan kemauan Jingga."Hati-hati, ya, Sayang. Aku juga pesan teh hangatnya dari sana, ya. Kalau bisa jangan terlalu manis tehnya," kata Jingga sambil tersenyum."Beres, Sayang. Aku pergi sekarang. Kamu jangan terlalu banyak bergerak, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu lagi," sahut Angkasa.Jingga hanya mengangguk tanda dia sudah memahami apa yang disampaikan oleh suaminya. Angkasa segera mengecup kening Jingga dan beranjak pergi.
"Kita pulang sekarang, ya, Sayang," bujuk Angkasa ketika melihat Jingga yang kelelahan.Wajah Jingga terlihat pucat pasi, dan keringat dingin juga mengalir di pelipisnya. Angkasa begitu mengkhawatirkan keadaan sang istri. Maklum saja, dokter sudah memperingatkan kepada Jingga agar tidak terlalu lelah dalam usia kandungannya sekarang. Namun, apa boleh buat, Jingga memang keras kepala.Saat dia mendengar tentang rencana pertunangan sang Adik, dia bersikeras ingin membantu Nila untuk mempersiapkan semuanya. Meskipun baik Nila maupun keluarganya yang lain telah memberikan peringatan kepada Jingga, tetapi bukan Jingga namanya jika tidak keras kepala."Nanti dulu, Sayang. Masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan," tolak Jingga lembut."Sayang, kondisi kamu tidak memungkinkan. Coba lihat wajahmu sudah pucat bagaikan mayat," balas Angkasa sedikit kesal.Terkadang Angkasa benar-benar merasa Jingga terlalu keras kepala. Dia bahkan mengingat m