"Tuan, Nona bekerja di Kediaman Sebastian sebagai pengasuh Nyonya Besar Sebastian." Kata-kata Robert memecah suasana hening di dalam mobil. Arnold seketika sadar dan mencoba menghapus semua isi pertengkaran tentang Sarah di benaknya. Arnold sontak membuka matanya. "Sebastian Building Group, maksudmu?" "Betul sekali, Tuan!" Rahang Arnold tampak berkedut, ia tidak suka miliknya tinggal bersama laki-laki lain. Terlebih itu dengan Arlen! "Nona Emily tinggal bersama neneknya Tuan Arlen, sementara Tuan Arlen sendiri hanya seminggu sekali mengunjungi sang nenek!" jelas Robert, ia tidak ingin masalah ini semakin melebar karena Arlen sendiri adalah salah satu pebisnis ternama saingan Arnold. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam, mobil yang membawa Arnold tiba di depan Kediaman Sebastian. "Jadi, di rumah ini istriku bersembunyi?" Arnold menyeringai. Mobil memasuki pintu masuk, tidak sulit untuk Arnold masuk ke dalam pagar tinggi kediaman Sebastian dengan identitasnya seb
Emily menggeleng keras. "Tidak akan! Kembalilah ke rumahmu dan urus saja istri kesayanganmu itu!" Suara Emily melengking, membuat sudut bibir Arlen terangkat ke atas. "Emily!" bentak Arnold. "Anda tuli?" tanya Arlen sarkas. Ia tak pernah semuak ini sebelumnya dengan orang, tapi Arnold benar-benar menyebalkan. Arnold mengepalkan tangan, amarahnya memuncak. Tak terima diejek, ia melayangkan pukulannya ke wajah Arlen. Tinju keras itu mendarat di pipi kanan lelaki itu, membuatnya terhuyung ke belakang. Tak jauh dari dua lelaki itu, Emily menjerit histeris. Tanpa pikir panjang, Emily merangsek maju dan memukuli dada Arnold dengan kedua tangannya. Amarah dan luka hatinya meledak begitu saja. Semua yang ia pendam selama ini, rasa sakit, kecewa, air mata dan pengorbanan melebur jadi satu. "Dasar laki-laki kurang ajar!" Namun, pukulan Emily tak berarti apa-apa bagi Arnold. Lelaki itu tetap berdiri kokoh, seolah tak merasakan apapun. Ia bahkan menatap Emily dengan tatapan sendu, s
Selepas kepergian Arnold, Arlen mencari Emily, ia tahu wanita itu butuh dukungan. "Emily, apa kita bisa bicara berdua?" Pertanyaan Arlen membuat Emily tersentak, ia yang sedang melamun di depan wastafel setelah mencuci mukanya berbalik menghadap Arlen, yang entah sejak kapan berada di belakangnya. "Bi-bicara apa?" jawab Emily dengan gugup. "Bicara tentang hidupmu, ke depannya." Kening Emily tampak berkerut, ia tidak mengerti dengan maksud Arlen. Arlen bergerak lebih dekat, ia lalu menarik tangan Emily hingga membuat Emily terkesiap. Tidak biasanya Arlen memperlakukannya seperti ini. "Apa kamu mau menjadi sekretarisku? Emily menatap Arlen dengan tatapan tak percaya. "Maaf, Tuan. Bisa diulangi? Apa maksudnya?" Mendengar perkataan Emily, Arlen malah tertawa. "Maukah kamu menjadi sekretarisku?" ulangnya. "Sekretaris?" Arlen mengangguk. "Tapi… Nyonya?" "Nanti aku yang akan mengurusnya, kamu tinggal jawab mau atau tidak?" Sedikit mendesak, Arlen butuh jawab
Keesokan harinya. Arnold berangkat ke kantor. Baru saja melangkahkan kaki di lobby, Nyonya Ruby, ibunya, menghampirinya. "Mama? Apa yang Mama lakukan?" Arnold kaget bukan main, tidak biasanya ibunya mengunjungi Arnold di kantor, biasanya ia selalu mengunjunginya ke rumah. "Kamu harus lihat ini!" ucapnya sembari menyodorkan sebuah flashdisk ke hadapan Arnold. Arnold menatap flashdisk itu dengan bingung. "Semuanya, kamu akan tahu apa yang terjadi pada Emily dan juga Sarah," tekan ibunya, lalu pergi meninggalkan anaknya, Sesaat Arnold membeku, tetapi buru-buru ia memencet lift. Begitu sampai di lantai ruangannya, ia bergegas masuk dan menuju laptopnya. Dinyalakannya kemudian ia masukkan flashdisk itu. Satu per satu kejadian yang menunjukkan kebohongan Sarah terkuak. Hatinya bagai diremas-remas, semua yang pembelaan diri Emily waktu itu benar adanya dan semua yang keluar dari mulut Sarah adalah kebohongan. Napasnya tampak memburu, hatinya berkecamuk. "Jadi, selama ini aku dib
Sarah membelalak. "Arnold, ini hanya salah paham, aku–" "DIAM!" sentak Arnold. Emosi yang sejak tadi ditahannya akhirnya meledak, Arnold hanya butuh satu pengakuan untuk mengungkapkan bahwa Sarahl-ah yang membuat rencana kecelakaan waktu itu, kecelakaan yang membuat Emily harus kehilangan anak di rahimnya. "Sayang, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku mohon. Ini semua memang salahku, rem mobil yang aku pakai blong, sehingga aku tidak bisa mengendalikannya!" "Mobil di kediaman kita rutin dibawa ke bengkel, jadi berhenti mengada-ada." "Sungguh, Arnold. Kejadiannya begitu cepat, aku tidak bisa menghindar, kalau kamu tidak percaya padaku kamu bisa meminta datanya pada polisi." Sarah dengan putus asa membantah, berusaha membuat Arnold percaya pada kata-katanya. Tapi Arnold bertingkah dengan acuh dan tak acuh, lalu memandangnya dengan tenang. "Lalu, kenapa kamu bilang Emily yang menabrakkan mobilnya ke mobilmu?" Pertanyaan Arnold kali ini sukses membuat Sara
Raut wajah Arlen berubah, ia hendak menghampirinya, tetapi wanita muda tersebut langsung berdiri dan meninggalkan Emily dan Arlen tanpa permisi. Benar-benar tidak mencerminkan kesopanan. "Ada banyak pelamar tapi tidak ada yang memenuhi syarat. Bagaimana aku bisa cepat membawamu ke London kalau begini!" ucap Arlen pelan, tapi Emily masih bisa mendengarnya. "Kalau memang susah mencari pengganti saya, tidak apa apa kalau Tuan Arlen mencari calon sekretarisnya di London saja, biar saya tetap merawat Nyonya Audrey!" "Tidak bisa!" "Kenapa tidak bisa, Tuan? Bukankah di Kota justru kandidat sekretaris dengan pendidikan tinggi berhamburan!" Emily memberanikan diri menatap wajah Arlen, sesuatu yang awalnya sangat di hindarinya. Selain tidak sopan, Emily tidak mau terpesona dengan ketampanan sang majikan. Emily cukup tahu diri, masih lajang pun rasanya Emily tidak pantas bersanding dengan Arlen, apalagi dengan status sekarang yang masih menggantung. "Aku punya pertimbangan sendiri dalam
Arlen memelototi layar handphonenya dan menggeser geserkan layarnya berharap ada pesan lain yang tertutup, namun nihil. Arlen lantas menghubungi Mike untuk memberitahukan bahwa dia akan tinggal beberapa hari lagi di rumah neneknya. Sementara itu di taman belakang, Emily menemani Nyonya Audrey minum teh sembari mendengarkannya bercerita. "Arlen itu sangat penyayang, dia sedari kecil sudah sangat menyayangi binatang. Dulu tiap ada kucing di jalanan, dia selalu membawanya pulang!" Emily mengangguk. 'Pantas saja Arlen perhatian dan ingin membantunya, rupanya dia memang orangnya tidak tegaan,' batin Emily. "Nanti kalau kamu sudah bekerja dengannya, Nenek titip Arlen ya Emily, tolong perhatikan makanannya, Nenek takut dia makan sembarangan saat tidak bersama Nenek. "Iya, Nyonya!" "Panggil Nenek saja, kalau Nyonya terlalu kaku!" pintanya sembari mengusap jemari Emily. "Tapi…." "Tidak apa apa, ayo panggil Nenek!" "Iya, Nek!" Nyonya Audrey tersenyum, namun bukan hanya dia yang terse
"Jovanka sudah Arlen hapus dari hati Arlen, Nek. Nenek tidak usah cemas. Secepatnya akan ada yang mengisi hati Arlen kembali!" "Syukurlah. Nenek kira kamu masih mengharapkan wanita itu. Nenek pikir sudah cukup, lima tahun bukan waktu yang singkat untukmu. Nenek ingin melihat kau menikah, Arlen." Arlen bisa melihat tatapan sendu penuh harap dari sang nenek. Di usianya yang sudah senja, Arlen merasa bersalah karena belum bisa mengabulkan keinginan neneknya yang satu itu. "Syukur-syukur Nenek bisa menggendong anakmu, cicit Nenek." Seulas senyum kembali terbit di bibirnya. Arlen menggenggam jemari sang nenek dan mengecupnya. "Doakan Arlen, ya, Nek." "Emily?" Pertanyaan Nyonya Audrey sontak membuat Arlen membelalak. "Maksud Nenek?" "Kau menyukainya, bukan?" Nyonya Audrey tersenyum penuh arti. Dari awal, dia sudah bisa membaca gerak-gerik cucu kesayangannya. "Ti-tidak, itu tidak benar. Arlen tidak menyukainya!" bantah Arlen dengan wajah bersemu merah. Arlen terlihat salah tingkah, p
Arnold membalas pelukan Emily erat-erat, seolah berusaha mentransfer seluruh perasaannya ke dalam pelukan itu. "Aku hanya ingin kau bahagia bersamaku!" bisiknya dengan suara serak. Sebenarnya, di dalam hatinya, Arnold belum sepenuhnya yakin untuk mempertahankan kandungan Emily. Ada ketakutan, ada keraguan yang menyesakkan dadanya. Namun, menolak permintaan Emily saat ini terasa seperti meruntuhkan dinding harapan yang mulai dibangun di antara mereka. Ia tidak sanggup berkata tidak. "Sudah, sekarang tidurlah," ucap Arnold lembut, membelai rambut Emily dengan penuh kasih sayang. "Kau harus banyak beristirahat. Besok kita harus memeriksakan kandunganmu." Dengan hati-hati, Arnold membantu Emily berbaring. Ia menyelimutinya dengan gerakan penuh perhatian, memastikan setiap bagian tubuhnya terlindungi dari dingin. Belum sempat Emily menutup mata, ia berkata dengan suara lirih, hampir seperti sebuah gumaman penuh kecemasan, "Kalau aku tidak ada nanti, apa kau akan mencari gant-" "Diam!"
"Jahe. Bukankah wangi?" Emily tertawa kecil dan mendekatkan bibirnya untuk mencium Arnold. Namun, alih-alih membalas ciuman, Arnold malah berlari ke kamar mandi. Tak lama, suara muntah terdengar keras dari dalam. Emily terpaku, bingung. "Kenapa dia muntah, padahal wanginya enak sekali?" Dengan perasaan tak enak, Emily membereskan tas kerja dan jas Arnold di walk-in closet. Saat hendak keluar, Arnold muncul dengan langkah gontai, kancing kemeja terbuka, wajahnya pucat. "Sayang, kau sakit?" tanya Emily khawatir, hendak menghampirinya. Namun Arnold segera mengangkat tangan, menghentikannya. "Diam di sana... jangan mendekat. Kepalaku pusing." Emily membeku, wajahnya berubah sendu. Perlahan ia mundur, mengambil toples permen jahe dan keluar kamar, meninggalkan Arnold yang masih berusaha menahan rasa pusingnya. "Apa yang terjadi dengannya?" bisik Emily pada dirinya sendiri, hatinya penuh tanda tanya. Emily melangkah pelan menuju dapur, mengembalikan toples permen jahe ke te
Hanya suara tarikan napas berat yang terdengar, membebani suasana yang sudah suram. Arnold tidak mau menjawab, seolah setiap kata hanya akan memperburuk keadaan. Dia memilih membenamkan Emily ke dalam pelukannya, merangkulnya erat seakan tak ingin melepaskan. "Aku sangat mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu," bisik Arnold dengan suara bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Emily. Jawaban itu sebetulnya sudah sangat jelas, namun Emily tetap bertahan dengan pikirannya sendiri. Dia paham, cinta sebesar apapun tidak bisa menahan waktu. Cepat atau lambat, mereka akan menghadapi perpisahan itu. Emily hanya ingin, sebelum saat itu datang, dia bisa meninggalkan sesuatu—seorang penerus, darah daging mereka. "Ayo kita makan," ucap Arnold kemudian, suaranya lembut tapi memaksa, tidak ingin mereka tenggelam terlalu dalam dalam kesedihan. Dengan berat hati, Arnold melepaskan pelukannya, lalu berdiri sambil tetap menggenggam jemari Emily. Sentuhan itu seperti tali penyel
Arnold beranjak dari duduknya dan kembali masuk ke dalam walk-in closet. Langkahnya mantap namun terasa berat, seakan ada beban yang ikut menyeret setiap gerakan. Tidak berselang lama, dia keluar dengan membawa sebuah amplop berwarna putih di tangannya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang, seolah berusaha menyembunyikan badai yang tengah mengamuk di dalam dadanya. Dia lalu duduk perlahan di samping Emily yang sejak tadi terlihat gelisah, menggigit bibir bawahnya dan menunduk, menghindari tatapan. Arnold meletakkan amplop itu di atas pahanya, dengan sengaja memastikan Emily tahu betapa pentingnya isi dari amplop tersebut. “St. Thomas Hospital,” ucapnya pelan, namun nadanya tegas dan penuh makna. Emily menatap amplop itu dengan mata membulat. Hatinya berdebar hebat, napasnya memburu. Tiba-tiba saja pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Tangannya mulai berkeringat, dan ia bahkan belum berani menyentuh amplop itu. "Ini pasti berat untukmu,"
Arnold mengusap puncak kepala Emily hingga ke punggungnya, berulang kali hingga akhirnya Emily bangun dari tidurnya. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian, seakan ingin meredakan beban di hati sang istri. Napas Emily yang semula berat perlahan menjadi teratur, tapi matanya masih tampak sembab. Dengan gerakan cepat Emily menyeka sudut mata dan pipinya yang basah karena air mata. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Arnold, terlebih setelah apa yang baru saja terjadi. "Kau menangis?" tanya Arnold saat melihat Emily menyeka wajahnya. Suaranya lembut, ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan. Emily tidak menjawab, dia turun dari kasur melalui sisi sebelah kanannya untuk menghindari Arnold. Emily sedang kesal dan enggan menatap suaminya yang menjadi serba salah. Ia berjalan pelan menuju jendela, membiarkan sinar matahari menyinari wajahnya yang masih tampak murung. "Kita pulang, Sally, tolong bereskan barang-barang Emily. Aku akan meminta supir untuk kemari." Arnold be
Sementara itu, di ruangan Dokter Lexa. Arnold tengah menunggu Dokter Lexa yang sedang menangani pasien melahirkan sesar. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Jarum jam yang berdetak di dinding seakan sengaja memperpanjang kegelisahan yang merayap dalam dada Arnold. Sesekali ia menatap layar ponselnya, namun tak satu pun pesan masuk. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk. Arnold duduk dengan gelisah, dia benar-benar kaget saat mengetahui Emily sudah mengetahui kehamilannya, padahal akan lebih mudah kalau Emily tidak tahu sehingga Dokter bisa memberikannya obat penggugur kandungan, seperti saran awal Dokter Lexa yang ditanggapi Arnold dingin tadi malam. Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Pintu dibuka perlahan dan wajah lelah Dokter Lexa muncul di ambang pintu. "Tuan Arnold, maaf menunggu lama." Dokter Lexa menarik kursinya dan duduk dengan wajah muram. Beberapa helai rambut terurai dari sanggulnya yang sedikit berantakan, menunjukkan betapa berat kasus yang baru saja ia
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa