update lagi
Terdengar suara berisik mengganggu kenyamanan saat mata terpejam. Aku mataku memicing kepala terasa berdenyut, pusing. Berusaha bangkit dari tempatku terbaring, tapi tubuhku terasa lemas. Tangan kokoh menahan bobot tubuh membuatku terkejut seketika membuka mata. “Tuan Alvian,” ucapku lirih. “Hemm, diamlah. Kamu aman di dalam rumah.” Mataku berkeliling mencari tahu keberadaan Sari temanku. Aku tidak ingin timbul Fitnah diantara kita. Lega, ada Joko sedang duduk di kursi tamu memainkan ponselnya. Segera kugeser tubuh agar menjauh dari Alvian. Rupanya lelaki itu sadar, jika aku menjauhinya. Dia dengan memohon agar aku tidak menolak pertolongan yang diberikan. Dengan berkata lembut, dia berusaha memohon kepadaku. “Ri, tolong jangan tolak pemberianku. Tak apa jika kamu belum bisa menerimaku. Aku sadar aku salah. Tapi ini demi anak kita,” pintanya. “Anak saya, Tuan. Saya tidak ingin membuat masalah dengan Nyonya Weni dan Dewi. Keluarga saya sudah aman dari kekejaman kalian selama ini.
Setahun berlalu, aku tinggal bersama dengan bayiku di rumah kosong milik saudara Sari di perkampungan yang jauh dari tempat kami bekerja. Berkat bantuan Sari aku bisa menjauh dari Alvian dan Dewi. Sari terpaksa ikut keluar dari pekerjaan tersebut dan berpindah ke perkebunan yang lain. Dia memberiku modal seadanya untuk membuka usaha kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Apalagi aku tidak memberitahuan kondisiku kepada orang tua dan saudaraku.Kabar Alvian pun tidak lagi aku dengar. Hanya pernah melihat siaran di TV lokal jika dia menikah dengan Dewi beberapa bulan setelah aku pergi. Ada rasa lega sekaligus kecewa di dalam hati. Jauh di lubuk hati, aku mengagumi sosok Alvian, lelaki pertama yang menyentuhku hingga memberiku seorang anak perempuan cantik. Rasa benci yang kurasakan berganti cinta kepad putriku semata wayang.Berkat bakat yang kumiliki menjahit baju dan membuat makanan aku bisa mempertahankan hidup di desa. Beruntung di rumah Sari ada mesin jahit nganggur, sehingga aku memi
Mataku melotot, melihat siapa yang datang. Sari dengan calon tunangannya berdiri tegak di depanku. Aku termangu, merasa tidak asing dengan cowok yang bersama dengan Sari. Dia pun mengernyit, kupikir dia sepemikiran denganku. “Aldi,” ucap calon tunangan Sari memperkenalkan diri. “Riana, aku temannya Sari.” Dia mengangguk mencuri pandang ke arahku. Tidak ingin ada salah paham, aku mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu yang sempit. Sari yang membawa barang titipanku menaruhnya di atas meja. Nota pembelian diserahkan kepadaku dan mengajak calon tunangannya duduk di sampingnya. Suara tangisan Andini membuat kami menoleh ke kamar. Aku minta ijin untuk menghampiri anakku yang tidur sendirian. Sementara Siti pengasuhnya di dapur menyiapkan minuman hangat untuk tanu kami. “Cup … Sayang, cantiknya Mama. Jangan nangis, ada Tante Sari nengok kamu,” kataku kepada Andini yang masih menangis. Aku pamitan untuk memberi Asi kepada anakku dengan menutup pintu. Kulihat Aldi melirik kepadaku saa
Aku terkejut melihat Aldi sudah berdiri di depanku. Ruang dapur yang hanya tersorot lampu redup, memperlihatkan jelas tatapan pria itu dengan tajam. Bahuku begidik, pengalaman yang tidak enak mulai menyelimuti pikiranku. “Riana, kamu di sini?” ucap Aldi masih dengan sorot tajam. “I-iya … maaf, saya duluan. Mas Aldi mau ambil minum?” tanyaku penasaran. “Tidak … aku tadi mau ….” Tiba-tiba Sari datang dari dalam kamar Siti. Dia menatap kami berdua yang masih berdiri berhadapan. Tidak lama kemudian aku pamit untuk masuk ke kamar, meninggalkan mereka berdua. Sebelum aku melangkah, bisik dari Aldi terdengar dekat di telingaku. “Kamu tadi menguping pembicaraanku? Jangan macam-macam dengan aku, Riana!” ancamnya. Kulihat Sari yang terus mengawasi gerak-gerik kami. Tanpa balasan kepadan Aldi aku berlalu menuju kamar. Terdengar perdebatan antara Aldi dan Sari di belakang. Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya Aldi rencanakan? Beberapa jam kemudian tidak lagi terdengar percakapan keduanya
“Sari ….”Aku terkejut melihat kedatangan Sari yang tiba-tiba. Sahabat yang sudah menolongku tersebut segera merebut map yang akan aku tanda tangani. Mata Sari nanar menatap Aldi dan temannya. Seperti pahlawan dia berdiri tepat di depan kami.“Kalian, jangan coba-coba mengganggu temanku. Sudah cukup kalian mengadu domba kami. Jangan kalian pikir, kami adalah perempuan lemah.” Sari menunjuk Aldi, “tidak kusangka kepercayaanku sudah kau racuni. Semoga kamu mendapat balasan yang setimpal,” ancam Sari dengan nada bergetar.Aku tahu perasaan yang kini sedang menimpa sahabatku. Dia yang sudah terenggut mahkotanya dan sekarang dikhianati oleh calon tunangan. Bersyukur dia tidak jadi menikah dengan Aldi. Laki-laki yang ternyata seorang penipu.“Sari … kamu tidak membenciku?” tanyaku meyakinkan.“Tidak, maafkan aku yang tempo hari tidak mempercayaimu, Riana. Aku bodoh, percaya dengan orang yang aku kenal. Sekarang aku tahu, bahaya apa yang sudah menimpamu hingga detik ini.”Kedua laki-laki te
Aku dan Sari mengelilingi kebon singkong yang tingginya diatas kepala. Berharap mereka sedang berada di tengah-tengah tanaman tersebut. Selama ini kami sering diajak pemilik kebon untuk ikut mengambil singkong untuk camilan. Hampir satu jam aku dan Sari mengitari kebon sambil memanggil nama Andini dan Siti. Tapi tidak kunjung menemukan mereka.“Ya, Tuhan. Di mana mereka? Tidak mungkin hilang dari sini?” ucapku dengan dada sesak.“Tenang, Ri. Kita cari keliling kampung, barangkali mereka jalan-jalan. Biasanya Siti singgah ke tetangga mana kalau jam segini?” tanya Sari sembari menggigit bibir.“Hanya belanja ke warung sebelah. Tapi … tadi kami sudah belanja, kemudian datang Aldi dan temannya. Aku takut, Sar. Aku takut Siti dan anakku diculik.”Seketika aku teringat, saat Aldi dan temannya melarikan diri. Di belakang motor mereka tiba-tiba-tiba nyelonong mobil Panter hijau yang berkaca gelap. Mobil itu baru kulihat, karena yang mempunyai mobil di kampung ini bisa dihitung dengan jari.Ti
Sari yang sejak tadi diam akhirnya menoleh. Dia menatapku dengan lama. Disentuhnya bahuku yang masih terguncang karena tangis yang belum reda. Dia peluk dan mengusap punggung sembari menenangku.“Sabar, Ri. Apa sudah kamu pikirkan masak-masak untuk menghubungi Tuan Alvian? Kamu kan tahu, gimana keluarganya terhadapmu selama ini. Jangan terkecoh dengan kebaikan yang selama ini dia lakukan. Bisa jadi, dia adalah dalang di balik hilangnya Andini.”“Entahlah, tapi aku punya firasat jika ini bukan Tuan Alvian pelakunya. Kamu tahu, gimana sikapnya terhadapku selama kita di pabrik. Dia tidak pernah menyakitiku. Kalau dia mau, sudah memenjarakan aku sejak dulu atas tuduhan dari Mamanya.”“Ckk … kamu tetap membela Tuan Alvian. Kelihatannya kamu jatuh cinta pada lelaki itu. Tapi sayang … dia tidak mencintaimu, Riana. Aku menilai dia seperti pecundang, lelaki yang bersembunyi di ketiak Mamanya. Ckk … mengenaskan sekali,” ucap Sari dengan mendengus kesal.“Aku tidak mau bahas soal itu, Sari. Seka
Tampak Sari sedang berbincang dengan seseorang di telpon dia terlihat serius, sesekali melirik ke arahku. Pak RT dengan beberapa warga berusaha menenangkanku dengan kalimat harapan untuk menemukan titik terang hilangnya Andini.“Ri, ada kabar jika Tuan Alvian sekarang tidak ada di perkebunan. Dia kembali ke kota karena sakit. Itu yang kuterima kabarnya dari salah salu staf di sana.”Aku melihat Sari sekilas, berpikir untuk langkah selanjutnya. Pak RT dan waga menyarankan agar kami mencari Alvian yang besar kemungkinan tahu keberadaan Andini dan Siti.Dengan banyak pertimbangan akhirnya aku mengikuti saran mereka. Semua warga yang ikut mencari anakku memberikan dorongan semangat agar kami segera menemukan Andini dan Siti.“Semoga mereka baik-baik saja, Mbak. Tapi Mbak berdua juga harus siap mental seandainya terjadi seseutu dengan mereka. Kami dan segenap warga hanya bisa mendo’akan untuk yang terbaik bagi keluarga, Mbak,” kata Pak RT.“Terima kasih banyak atas dukungan kalian. Hanya T