Aku dan Sari mengelilingi kebon singkong yang tingginya diatas kepala. Berharap mereka sedang berada di tengah-tengah tanaman tersebut. Selama ini kami sering diajak pemilik kebon untuk ikut mengambil singkong untuk camilan. Hampir satu jam aku dan Sari mengitari kebon sambil memanggil nama Andini dan Siti. Tapi tidak kunjung menemukan mereka.“Ya, Tuhan. Di mana mereka? Tidak mungkin hilang dari sini?” ucapku dengan dada sesak.“Tenang, Ri. Kita cari keliling kampung, barangkali mereka jalan-jalan. Biasanya Siti singgah ke tetangga mana kalau jam segini?” tanya Sari sembari menggigit bibir.“Hanya belanja ke warung sebelah. Tapi … tadi kami sudah belanja, kemudian datang Aldi dan temannya. Aku takut, Sar. Aku takut Siti dan anakku diculik.”Seketika aku teringat, saat Aldi dan temannya melarikan diri. Di belakang motor mereka tiba-tiba-tiba nyelonong mobil Panter hijau yang berkaca gelap. Mobil itu baru kulihat, karena yang mempunyai mobil di kampung ini bisa dihitung dengan jari.Ti
Sari yang sejak tadi diam akhirnya menoleh. Dia menatapku dengan lama. Disentuhnya bahuku yang masih terguncang karena tangis yang belum reda. Dia peluk dan mengusap punggung sembari menenangku.“Sabar, Ri. Apa sudah kamu pikirkan masak-masak untuk menghubungi Tuan Alvian? Kamu kan tahu, gimana keluarganya terhadapmu selama ini. Jangan terkecoh dengan kebaikan yang selama ini dia lakukan. Bisa jadi, dia adalah dalang di balik hilangnya Andini.”“Entahlah, tapi aku punya firasat jika ini bukan Tuan Alvian pelakunya. Kamu tahu, gimana sikapnya terhadapku selama kita di pabrik. Dia tidak pernah menyakitiku. Kalau dia mau, sudah memenjarakan aku sejak dulu atas tuduhan dari Mamanya.”“Ckk … kamu tetap membela Tuan Alvian. Kelihatannya kamu jatuh cinta pada lelaki itu. Tapi sayang … dia tidak mencintaimu, Riana. Aku menilai dia seperti pecundang, lelaki yang bersembunyi di ketiak Mamanya. Ckk … mengenaskan sekali,” ucap Sari dengan mendengus kesal.“Aku tidak mau bahas soal itu, Sari. Seka
Tampak Sari sedang berbincang dengan seseorang di telpon dia terlihat serius, sesekali melirik ke arahku. Pak RT dengan beberapa warga berusaha menenangkanku dengan kalimat harapan untuk menemukan titik terang hilangnya Andini.“Ri, ada kabar jika Tuan Alvian sekarang tidak ada di perkebunan. Dia kembali ke kota karena sakit. Itu yang kuterima kabarnya dari salah salu staf di sana.”Aku melihat Sari sekilas, berpikir untuk langkah selanjutnya. Pak RT dan waga menyarankan agar kami mencari Alvian yang besar kemungkinan tahu keberadaan Andini dan Siti.Dengan banyak pertimbangan akhirnya aku mengikuti saran mereka. Semua warga yang ikut mencari anakku memberikan dorongan semangat agar kami segera menemukan Andini dan Siti.“Semoga mereka baik-baik saja, Mbak. Tapi Mbak berdua juga harus siap mental seandainya terjadi seseutu dengan mereka. Kami dan segenap warga hanya bisa mendo’akan untuk yang terbaik bagi keluarga, Mbak,” kata Pak RT.“Terima kasih banyak atas dukungan kalian. Hanya T
Jantung Riana serasa copot membaca pesan Alvian. Pria itu terlihat tenang dari kalimatnya. Bahkan disaat dia sakit tidak menyalahkan Riana yang saat ini kehilngan anak mereka berdua. Tapi tunggu, jangan-jangan Alvian sudah tahu jika Andini hilang sebelum dia mengabarkan kabar duka tersebut. Berbagai pikiran negatif berkelebat di pikiran Riana tentang Alvian saat ini.Sari yang ikut membaca pesan dari Alvian mengernyit, melihat ekspresi sahabatnya. Dia memutar bahu Riana agar berhadapan dengannya.“Kamu kenapa, terlihat curiga setelah membaca pesan Tuan Alvian?”“Sar, apa dia tahu kalau Andini diculik. Jangan-jangan dia sendiri yang menyuruh Aldi membawa anakku.”“Kamu jangan ngaco. Kupikir bukan Tuan Alvian yang nyulik. Dia berkata begitu agar kamu tenang. Kita buktikan dulu siapa sebenarnya dalang penculikan anak kamu. Balas pesan dia, jangan sampai Tuan Alvian berpikir macem-macam meski kamu mencurigainya,” perintah Sari.[ Terima kasih, Tuan atas bantuannya. Saya akan segera menem
Aku terkejut, sejauh itu Alvian memperhatikan tentang kondisiku. Tidak ingin berprasangka buruk apalagi saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk kami berdebat. Cukup kesakitan yang dulu pernah kurasakan akibat ketidak adilan yang dia toreh dengan kehidupanku di masa lalu.“Saya hanya minta bantuan Tuan. Saya tidak ingin ada perjanjian apapun yang menyangkut akan kehidupan saya dan Andini,” ucapku tegas.“Anak kita, kamu tidak bisa punya anak tanpa campur tanganku dan Yeni. Ingat, perjanjian dengan Yeni masih berlaku untukmu, saat kita sudah punya anak.”“Tapi, saya sudah tidak menginginkan apa-apa dari keluarga Nyonya Yeni. Tolong lepaskan saya,” pintaku.“Hemm … tidak semudah itu. Kecuali jika kamu mati dan anak kita tidak ada,” ucapnya tegas.Aku terdiam melihat kilat marah yang terpancar dari mata sang Ceo yang merajai beberapa perusahaan milik Yeni. Yah, perusahaan tersebut 50 persen merupakan saham Yeni yang sudah diamanatkan atas namaku dan anakku. Meskipun aku tidak lagi be
Mendapat informasi dari sopir yang mengantar Alvian, aku segera bergegas keluar dari apartement. Awalnya Sari tidak mengijinkan, tapi naluriku berkata Alvian butuh diriku di sampingnya.“Ri, aku tidak bisa menemani kamu. Hati-hati kalau mantan mertua kamu di sana. Apalagi Si Dewi itu, aku sebel dengan dia yang tidak mengakui pertemanan kalian.”“Pasti, aku hanya ingin lihat, Tuan Alvian medapat penanganan medis yang tepat. Dia pingsan gara-gara aku menyuruhnya mencari Andini.”“Wajar, dia bapaknya. Kamu jangan berpikir kalau Tuan Alvian tidak butuh Andini. Anak kamu kunci dari harta Nyonya Yeni. Buruan pergi,” usir Sari dengan isyarat tangan.Tidak kupikirkan apa yang sudah dikatakan Sari soal harta Yeni. Bagiku sekarang keselamatan Alvian lebih penting dari semuanya. Entah mengapa jantungku berdebar kencang mendengar Alvian dalam keadaan tidak baik-baik saja.Malam semakin pekat, meski ada rasa takut perempuan kelayaban di jalan hanya demi melihat ayah anaknya. Aku nekat dengan meng
Alvian terlihat sangat lemah. Bicaranya terdengar lirih hampir tak terdengar. Kudekati dengan membuka hati seluasnya untuk kesembuhan ayah dari anakku. Entah mengapa hatiku lemah melihat kondisinya saat ini. Dengan ditemani Roy aku mendekati bankar yang terdapat alat di atasnya dengan bunyi detak jantung.“Tuan, sudah sadar?” tanyaku menatap wajah pucatnya.Alvian mengangguk lemah, dengan isyarat tangan dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang ada di dekat brankar. Aku menuruti permintaan Bos perkebunan ini. Meski banyak pertanyaan yang berkelebat di benakku kutahan sekuat mungkin demi menjaga ketenangan ruangan.Roy memberiku isyarat untuk lebih mendekat, karena suara Alvian sangat lemah.“Ri, maafkan aku. Belum bisa menemukan anak kita,” kata Alvian lemah menatap sayu.“Tidak masalah, Tuan. Kita cari lagi kalau Tuan sudah sehat.” Aku terdiam, tidak kuasa melihatnya terbujur lemah, “Tuan Alvian sakit apa sebenarnya?” tanyaku akhirnya tidak tahan.“Aku sudah sekarat. Di sisa hidupku i
Tangan lemah Alvian sesekali meraih tanganku masuk dalam genggaman. Tak bisa kutolak ajakan lelaki itu untuk memintaku mendekat dan sesekali dia mencium tanganku. Perlahan kutarik tapi aku kasihan, sorot matanya meminta untuk aku membiarkan dalam keadaan seperti ini.“Ini sudah salah, Tuan. Kita tidak boleh seperti ini. Saya bukan istri Tuan Alvian lagi,” pintaku.“Aku hanya ingin kamu dengar cerirtaku sebentar. Hanya tanganmu yang kugenganggam. Seandainya aku bisa menggenggam hatiku juga, aku pasti akan tenang, Riana,” ucapnya dengan sorot mata sayu.“Kalau istri Tuan melihat kita bisa salah paham. Saya tidak ingin punya masalah lagi dengan keluarga Tuan. Jangan sampai mereka juga menyakiti keluarga saya, cukup saya saja, Tuan.”Alvian menggeleng, dia menegaskan jika tidak ada keluarganya yang akan mengetahui pertemuan mereka. Bahkan dia menjamin jika aku bebas ke sini kapan saja. Tentu aku terkejut mendengar penyataan mantan suamiku.“Tolong jelaskan padaku apa yang yang sebenarnya