Alvian terlihat duduk lemas di kursi kerjanya. Wajah mengerutkan kening, menunjukkan rasa frustrasi dan kemarahan. Alvian mengatupkan rahangnya, bibir Alvian bergetar, menunjukkan kesedihan dan emosi yang bergejolak.Alvian meneteskan air mata melotot, menunjukkan keterkejutan dan kemarahan menatap kosong ke depan dengan pupil mata melebar, menunjukkan ketakutan dan kewaspadaan. Tangan Alvian mengepalkan tinjunya, menunjukkan kemarahan dan tekad untuk melawan. Gemetar, menunjukkan rasa gugup dan cemas. Tubuh membungkuk ke depan, menunjukkan rasa lelah dan patah semangat.Alvian mondar-mandir, suara Alvian bergetar dan terputus-putus berbicara dengan nada yang tinggi dan tajam, kepada Roy memberikan perintah untuk keluar ruangan. Ia ingin menenangkan diri dan berdamai dengan rasa syok dan ketidakpercayaan. Suamiku menggigit bibir meremas rambut menarik napas dalam-dalam. Terlihat emosi yang ditahan. “Keluarlah, aku hanya ingin sendirian.”Alvian tahu bahwa dia harus bertindak cepat. D
Beberapa hari melakukan penyelidikan kini semua terungkap jelas. Meski bukti sudah dibawa oleh Roy dan Alvian tetapi polisi tetap mendalami kasus yang dilaporkan. Mereka tidak serta merta menerima barang bukti tanpa penyelidikan ulang. Berkat kegigihan Roy dan Alvian ketika menyakinkan petugas pengadilan terhadap Dewi dan Ferdi dapat dilakukan dengan cepat.Hanya dalam hitungan hari polisi berhasil mengungkap kejahatan dan reka ulang peristiwa yang dilakukan oleh Ferdi dan Dewi terhadap Weni, mertuaku. Selama berhari-hari aku menahan kecemasan terhadap suamiku yang lama berjauhan denganku akhirnya berhasil dengan sukses.Dewi dan Ferdi terbukti melakukan persekongkolan sudah mencelakai Weni dengan memberikan racun agar mati perlahan. Mereka juga berusaha merebut perusahaan milik Yeni setelah memperdaya Weni diambang kesakitan. Berdasarkan bukti yang dibawa oleh Alvian dan Roy keduanya tidak dapat membantah tuduhan tersebut. Awal kehidupan yang buruk untuk mereka mendekam di penjara.D
Alvian kembali memimpin perusahaan yeni. Ia kembali ke Jawa setelah menyelesaikan urusan di Kalimantan dengan Dewi dan Ferdi. Tanpa menemui kesulitan Alvian dan Roy tiba di Jawa dengan selamat. Ruang kantor mewah, Alvian menatap ke sekeliling ruangan yang penuh dengan kenangan bersama Yeni. Perlahan, dia kembali merasakan semangat dan tekad untuk memimpin perusahaan ini. Alvian duduk di kursi kebesarannya di kantor, menatap foto Yeni yang terpajang di meja. Wajahnya dihiasi senyum tipis, namun ada seulas kesedihan yang terpancar dari matanya. Kematian Yeni masih meninggalkan luka yang mendalam di hatinya. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, memandangi kota yang ramai dari atas. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya, seolah-olah membawa pesan dari Yeni. "Yeni," bisik Alvian, "aku akan meneruskan apa yang telah kau mulai." Alvian bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Dia memandangi kota yang ramai dari atas, dan membayangkan Yeni tersenyum padanya. "Aku a
Aku memendam rasa penasaran di hati dengan kondisi Alvian. Sekarang yang peling penting adalah menyelamatkan Aldo membawanya ke rumah sakit. Kuminta Andini di rumah bersama dengan Siti dan pelayan yang lain.“Aku ingin ikut ke rumah sakit, Ma,” pinta Andini merengek“Jangan dulu, Sayang. Kita tidak tahu berapa lama adek kamu diperiksa. Besok kamu sekolah, ada ulangan. Biar mama dan papa yang memeriksakan adek dulu. Doakan Adek baik-baik saja.”Andini akhirnya lirih dan mau mengerti disituasi yang genting seperti ini. Selama berjalan ke mobil aku lihat wajah Alvian tidak seperti biasanya. Ada kecemasan yang tersembunyi, apa itu tentang kondisi Aldo ataukah yang lain.Tiba di rumah sakit Alvian mengatakan kami hingga di IGD. Kami melihat Aldo terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya panas membara. Kami panik dan mencaritahu tentang sakitnya Aldo. Selama ini dia selalu baik-baik saja. Bahkan saat kami tinggal bersama dengan pelayan di rumah tidak pernah sakit. Me
Andini dan Aldo mulai kehidupan baru mereka bersama Alvian. Alvian merawat Aldo dengan kasih sayang, dia yang seharusnya mendapatkan job besar untuk perusahaan ditinggalkan demi merawat Aldo. Rasa berasalah masih menyelimuti hati Alvian saat ini. Demi mendapatkan kepercayaan dari anak Alvian rela melepas peluang mendaptkan pundi-pundi rupiah yang lebih besar.Alvian menatap langit malam yang bertabur bintang, hatinya diliputi rasa sesak. Tatapannya menerawang jauh, penuh dengan keraguan dan penyesalan. Kepalanya menunduk, bahunya merosot, dan garis-garis halus di dahinya semakin terlihat jelas. Rasa sesak di dadanya terasa semakin berat.Keputusan yang dia ambil untuk meninggalkan pekerjaannya demi merawat Aldo, putranya masih terasa berat. Bayangan peluang emas yang dia lewatkan menghantui, membangkitkan rasa bersalah yang tak kunjung padam. Di sudut ruangan, Andini ikut tertidur pulas. Wajahnya yang damai dan tenang seakan tidak tersentuh oleh kesedihan yang menyelimuti Alvian. Dia
"Sayang, yuk kita ke makam mama dan Yeni,” ajak Alvian tiba-tiba."Hmm, aku tidak yakin, Mas.""Aku tahu, Sayang. Tapi Yeni pasti ingin kamu memaafkan mama. Dia ingin kamu dan aku hidup dengan damai."Entah mengapa bayangan kesakitan tiba-tiba melitas saat Alvian mengajak mengunjungi makan mamanya. Aku tahu, hal ini tidak lah benar memendam kebencian kepada orang yang sudah tiada. Padahal kemarin aku sudah melupakan kesakitan itu, tapi kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi.Akhirnya kami mengunjungi makam Weni dan Yeni. Alvian, suamiku, selalu berinisiatif untuk mengajakku ke sana. Awalnya, aku merasa enggan dan ragu. Rasa benci dan dendam yang tertanam di hatiku terhadap Weni, ibu mertuaku, masih begitu kuat. Aku masih sulit untuk memaafkannya atas semua yang telah dia lakukan kepada Yeni, maduku tercinta, yang telah meninggal karena sakit.Aku berdiri di depan makam Weni. "Weni... aku... aku ingin memaafkanmu."Alvian memelukku dari belakang. "Itu bagus, Sayang. Yeni pasti senang me
Alvian duduk di sofa ruang tamu, tatapan kosong menerawang ke luar jendela. Di sampingnya, Aldo dan Andini sibuk dengan mainan masing-masing, sesekali mereka saling berbisik dan tertawa kecil. Suasana ruang tamu terasa sunyi, berbeda dengan keramaian yang biasanya mewarnai kebersamaan keluarga kecil ini.Alvian dan anak-anaknya, Aldo dan Andini, duduk di ruang tamu. Semenjak kepulangan terakhir dari makam Weni keluargaku banyak diam. Tidak seperti saat Aldo pulang dari rumah sakit. Kami lebih banyak mengoreksi diri daripada melakukan hal yang belum tentu berdampak baik. Hal yang membuatku heran, anak-anak ikut terbawa suasana yang tidak seperti biasa. Namun, mereka tidak pernah bertanya mengapa papa dan mama lebih banyak berdiam diri.Di samping Alvian, Aldo dan Andini sibuk dengan mainan masing-masing. Namun, terlihat jelas bahwa mereka tidak fokus pada permainan. Sesekali mereka mencuri pandang ke arah Alvian, raut wajah mereka diliputi kebingungan dan kegelisahan.Suasana ruang tam
Hari ini kami sangat bahagia. Alvian sudah mulai kembali ceria seperti dulu. Kesibukannya sudah dikurangi sejak anak-anak murung. Seperti saat ini ketika ada proyek baru yang seharusnya dia yang terjun langsung untuk menanganinya. Tapi Alvian lebih memilih berhari libur bersama dengan kami.Butik yang aku kelola pun sudah tidak ada gangguan. Semenjak peristiwa terakhir penggelapan dana aku dan Sari semakin berhati-hati. Sari sudah kupercaya untuk mengelola butik bersama dengan Hendra yang dulu asistenku. Asisten di bidang IT yang handal dan bekerja untuk kemajuan butik kami.Bersama Hendra, asisten IT handal yang dulu membantuku, Sari menjelma menjadi tim yang solid. Keahlian Hendra dalam mengoptimalkan teknologi dan strategi digital membawa butikku ke level yang baru. Kami mulai menjangkau pelanggan yang lebih luas melalui platform online, membuka toko online, dan memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk-produk kami.“Strategi digitalmu benar-benar membawa butik kita ke l