Andini dan Aldo mulai kehidupan baru mereka bersama Alvian. Alvian merawat Aldo dengan kasih sayang, dia yang seharusnya mendapatkan job besar untuk perusahaan ditinggalkan demi merawat Aldo. Rasa berasalah masih menyelimuti hati Alvian saat ini. Demi mendapatkan kepercayaan dari anak Alvian rela melepas peluang mendaptkan pundi-pundi rupiah yang lebih besar.Alvian menatap langit malam yang bertabur bintang, hatinya diliputi rasa sesak. Tatapannya menerawang jauh, penuh dengan keraguan dan penyesalan. Kepalanya menunduk, bahunya merosot, dan garis-garis halus di dahinya semakin terlihat jelas. Rasa sesak di dadanya terasa semakin berat.Keputusan yang dia ambil untuk meninggalkan pekerjaannya demi merawat Aldo, putranya masih terasa berat. Bayangan peluang emas yang dia lewatkan menghantui, membangkitkan rasa bersalah yang tak kunjung padam. Di sudut ruangan, Andini ikut tertidur pulas. Wajahnya yang damai dan tenang seakan tidak tersentuh oleh kesedihan yang menyelimuti Alvian. Dia
"Sayang, yuk kita ke makam mama dan Yeni,” ajak Alvian tiba-tiba."Hmm, aku tidak yakin, Mas.""Aku tahu, Sayang. Tapi Yeni pasti ingin kamu memaafkan mama. Dia ingin kamu dan aku hidup dengan damai."Entah mengapa bayangan kesakitan tiba-tiba melitas saat Alvian mengajak mengunjungi makan mamanya. Aku tahu, hal ini tidak lah benar memendam kebencian kepada orang yang sudah tiada. Padahal kemarin aku sudah melupakan kesakitan itu, tapi kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi.Akhirnya kami mengunjungi makam Weni dan Yeni. Alvian, suamiku, selalu berinisiatif untuk mengajakku ke sana. Awalnya, aku merasa enggan dan ragu. Rasa benci dan dendam yang tertanam di hatiku terhadap Weni, ibu mertuaku, masih begitu kuat. Aku masih sulit untuk memaafkannya atas semua yang telah dia lakukan kepada Yeni, maduku tercinta, yang telah meninggal karena sakit.Aku berdiri di depan makam Weni. "Weni... aku... aku ingin memaafkanmu."Alvian memelukku dari belakang. "Itu bagus, Sayang. Yeni pasti senang me
Alvian duduk di sofa ruang tamu, tatapan kosong menerawang ke luar jendela. Di sampingnya, Aldo dan Andini sibuk dengan mainan masing-masing, sesekali mereka saling berbisik dan tertawa kecil. Suasana ruang tamu terasa sunyi, berbeda dengan keramaian yang biasanya mewarnai kebersamaan keluarga kecil ini.Alvian dan anak-anaknya, Aldo dan Andini, duduk di ruang tamu. Semenjak kepulangan terakhir dari makam Weni keluargaku banyak diam. Tidak seperti saat Aldo pulang dari rumah sakit. Kami lebih banyak mengoreksi diri daripada melakukan hal yang belum tentu berdampak baik. Hal yang membuatku heran, anak-anak ikut terbawa suasana yang tidak seperti biasa. Namun, mereka tidak pernah bertanya mengapa papa dan mama lebih banyak berdiam diri.Di samping Alvian, Aldo dan Andini sibuk dengan mainan masing-masing. Namun, terlihat jelas bahwa mereka tidak fokus pada permainan. Sesekali mereka mencuri pandang ke arah Alvian, raut wajah mereka diliputi kebingungan dan kegelisahan.Suasana ruang tam
Hari ini kami sangat bahagia. Alvian sudah mulai kembali ceria seperti dulu. Kesibukannya sudah dikurangi sejak anak-anak murung. Seperti saat ini ketika ada proyek baru yang seharusnya dia yang terjun langsung untuk menanganinya. Tapi Alvian lebih memilih berhari libur bersama dengan kami.Butik yang aku kelola pun sudah tidak ada gangguan. Semenjak peristiwa terakhir penggelapan dana aku dan Sari semakin berhati-hati. Sari sudah kupercaya untuk mengelola butik bersama dengan Hendra yang dulu asistenku. Asisten di bidang IT yang handal dan bekerja untuk kemajuan butik kami.Bersama Hendra, asisten IT handal yang dulu membantuku, Sari menjelma menjadi tim yang solid. Keahlian Hendra dalam mengoptimalkan teknologi dan strategi digital membawa butikku ke level yang baru. Kami mulai menjangkau pelanggan yang lebih luas melalui platform online, membuka toko online, dan memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk-produk kami.“Strategi digitalmu benar-benar membawa butik kita ke l
Cahaya rembulan menembus jendela kamar Sari, menemaninya yang terduduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, membasahi surat yang baru saja dia baca. Surat itu berisi penolakan keras dari orang tuanya terhadap hubungannya dengan Hendra."Aku bingung harus bagaimana, Riana. Orang tuaku tidak merestui hubungan aku dengan Hendra. Hatiku terasa bagaikan teriris pisau. Aku tak habis pikir mengapa orang tuaku begitu menentang hubunganku dengan Hendra. Bagiku, Hendra adalah cinta sejati, pria yang selalu membuatku bahagia dan selalu ada untukku.”Aku mengusap punggung Sari yang baru bercerita setelah aku mendesaknya. Awalnya dia menolak tak ingin hubungannya yang belum mendapat restu diketahui oleh publik. Bagaimanapun Sari adalah orang terdekat yang membantuku selama ini. Dalam keadaan susah sekalipun dia tidak pernah pergi dari sisiku.Di tengah kesedihan yang tak berujung, Sari teringat padaku yang tadi memergoki mereka sedang berdua di dalam ruangan. Meski aku tidak ingin ikut cam
Melihat betapa rumitnya hubungan mereka, aku tak kuasa untuk melepaskan masalah ini. Sari sudah banyak membantuku selama aku dalam kesulitan. Demi sahabat aku dan Alvian akan berbicara dengan kedua orangtuanya Sari. Usia Sari sudah waktunya untuk berumah tangga. Selama ini ia selalu menghindar dari perkotaan karena tidak cocok dan tidak cinta dengan calon suaminya. Cinta tidak dapat dipaksakan, demikian juga dengan hati. Pengalaman mengajarkan aku untuk tidak memaksaku diri atas cinta. Kalau cinta seimbang dan sama-ada rasa tidak masalah. Tetapi jika cinta bertepuk sebelah tangan, jangan berharap akan bahagia untuk selamanya. "Sayang, kita harus bantu Sari. Aku ingin dia bersama dengan Hendra. Dia lelaki baik yang selama ini aku kenal. Alvian yang sering bersama anak-anak menoleh ke arahku. Aku belum cerita tentang Sari dan masalahnya. Andini dan Aldo yang bermain akhirnya masuk ke dalam kamar. Mereka tahu kedua orang tuanya sedang membicarakan masalah serius. Inilah kelebihan anak
Pernikahan Sari dan Hendra dilangsungkan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Suasana dipenuhi dengan tawa, haru, dan doa dari keluarga dan teman-teman yang hadir. Sari yang terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putih, tak henti-hentinya memancarkan aura kebahagiaan. Hendra pun tampak gagah dan berseri-seri di sisinya.Suara musik pernikahan mengalun merdu mengiringi langkah kaki Sari yang anggun menuju altar. Gaun putihnya yang berkilauan bagaikan gaun putri, memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan. Hendra, sang mempelai pria, sudah menunggunya dengan penuh kerinduan di altar.Upacara pernikahan dipimpin oleh seorang penghulu yang terkenal bijaksana. Doa-doa dipanjatkan untuk kelancaran pernikahan mereka dan agar mereka selalu dilimpahi kebahagiaan."Sari, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara mantap."Ya, Hendra," jawab Sari dengan suara bergetar karena haru. "Aku bersedia menjadi istrimu."Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di ru
Akhirnya Sari dan Hendra mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahannya. Kami sekeluarga sangat senang dengan kondisi Sari yang telah diterima oleh kedua orang tuanya pasca penolakan. Mereka tetap bekerja di butik milikku. Hendra sedikir demi sedikit diajari oleh Alvian tentang cara membuka usaha baru agar tidak dipandang rendah oleh kedua mertuanya. Dia mengajarkan bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga besar Sari yang tinggal bersamanya. Setahun berlalu, kami, aku dan Sari memiliki keluarga yang bahagia dengan pencapaian masing-masing. Aku tidak lagi memperkerjakan Sari di butik karena dia sudah memilih usaha barunya bersama suami meski hanya kecil-kecilan. Kedua orng tuanya sudah mulai menerima Hendra yang menyayangi Sari dan keluarganya tanpa pilih kasih. Sari juga sudah dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Hawa hangat pagi hari menyelimuti rumah kecil Sari dan Hendra. Suara tawa riang anak mereka, Dinda, terdengar dari ruang tamu. Sari sedang menyiapkan sarapan di dapu