***Pagi ini Arka bangun tanpa membangunkan Aludra, karena memang sejak semalam dia sudah berniat untuk mendiamkan Aludra untuk beberapa saat.Bukan apa-apa, Arka hanya ingin Aludra merenungi kesalahannya. Dia hanya ingin Aludra menyadari jika ucapannya kemarin sudah sangat keterlaluan dan membuatnya marah—bahkan sangat marah."Lho, Pak Arka udah siap?" tanya Rania ketika dia bertemu Arka—tepat saat Arka baru saja keluar dari kamar dengan setelan kantornya yang rapi.Ini baru pukul enam pagi, tapi Arka sudah siap ke kantor karena memang dia akan pergi sebelum Aludra bangun dan Aludra biasanya bangun pukul enam lebih sepuluh. Sebenarnya Aludra sudah bangun pukul setengah lima pagi tadi untuk menunaikan kewajibannya. Namun, setelah itu Aludra selalu tidur lagi."Udah," jawab Arka singkat.Dua minggu lebih Rania bekerja menjadi asisten rumah tangga, sikap Arka masih tetap sama—dingin. Terlebih lagi itu di belakang Aludra, karena memang sampai detik ini dia belum bisa percaya jika Rania a
***"Mas Arka udah makan siang belum ya."Aludra yang sejak tadi duduk di kursi balkon samping rumah, lantas menutup novel yang sedang dia baca ketika pikirannya tertuju pada Arka.Sejak tadi pagi, jujur saja dia khawatir—apalagi setelah tahu Arka tak enak badan, tapi apa boleh buat. Beberapa pesan yang dia kirim pun hanya dibaca saja tanpa dibalas oleh pria itu.Ternyata begini rasanya didiamkan seorang suami. Tak nyaman. Arka yang biasanya selalu bersikap sabar—sekalipun Aludra menyebalkan, kali ini sepertinya memang benar-benar marah.Selama sebulan lebih hidup berdua bersama Arka, ini kali pertama Aludra didiamkan seperti ini dan ini kali pertama pula Arka bersikap begitu dingin, karena biasanya semarah apapun Arka, dia memilih untuk mengomeli Aludra secara langsung."Ih enggak dibalas," gumam Aludra saat dia melihat pesan terakhir yang dikirimkan pada Ark statusnya masih centang biru. Dibaca, tapi tidak dibalas.Aludra menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia menatap langit-langit u
***"Jadi sekarang gimana?"Rania yang tengah duduk santai di kursi yang berada di balkon apartemennya lantas menaikkan sebelah alis—menatap penuh tanya wajah Raina yang berada di layar laptopnya.Izin pada Aludra untuk menemui seseorang, Rania nyatanya pulang ke apartemen untuk sekadar beristirahat. Menjadi asisten rumah tangga selama dua minggu di rumah Aludra dan Arka ternyata membuat Rania lelah.Ingin mengistirahatkan tubuhnya, dia memilih untuk bersantai di apartemen—setidaknya sampai sore nanti, dan waktu beristirahatnya sekarang dia pakai untuk menelepon Raina—sang adik yang masih sibuk dengan studynya di Korea selatan."Apanya yang gimana?" tanya Rania."Ya perkembangan rencana Kakak, gimana?" tanya Raina. "Udah berhasil lakuin apa aja sama si Alula itu? Jangan bilang belum apa-apa ya. Ini udah dua minggu sejak kakak diterima kerja di sana. Ya kali belum ngapa-ngapain."Tak langsung menjawab pertanyaan sang adik, Rania mengambil cup coffee dari atas meja dengan label brand te
***"Gimana dokter?""Demam biasa, Bu. Kelelahan dan sedikit stress sepertinya. Minum obat penurun panas, istirahat yang cukup, merileksasikan pikiran, Mas Arka pasti cepat sembuh seperti biasa.""Oh baik terima kasih dokter."Bukan Aludra, yang baru saja bertanya pada dokter Giza adalah Amanda yang datang dua puluh menit lalu. Menjadi ibu yang sigap sejak dulu, Amanda tentu saja panik dan langsung datang setelah mendapat kabar dari Dirga tentang Arka yang pingsan di kantor."Sama-sama Bu, kalau begitu ini resep obatnya ya, bisa ditebus di apotek terdekat," kata dokter Giza sambil memberikan selembar note kecil yag tulisannya sangat sulit dimengerti orang awam."Terima kasih dokter Giza," kata Amanda untuk yang kedua kalinya. Seolah mengambil alih, Amanda memang berdiri persis di samping dokter Giza, sementara Aludra duduk di ujung kasur."Sama-sama Bu Amanda," kata dokter Giza. Dia kemudian menoleh pada Arka yang masih bersandar pada tumpukkan bantal. "Cepat sembuh ya Mas Arka. Tolon
***Aludra pergi mengantar dokter Giza, Amanda melangkahkan kaki menuju kaca besar di kamar tersebut. Tanpa meminta izin, dia membuka kaca besar tersebut agar ada udara segar yang masuk."Ar, ini kaca kalau pagi suka dibuka enggak?" tanya Amanda setelah dia selesai membuka kaca tersebut.Arka yang masih meresapi pusingnya menoleh. "Enggak kayanya.""Kok enggak?" tanya Amanda sambil menatap kedua putranya dengan kedua alis yang bertaut. "Emang kamu enggak pernah lihat di rumah Aksa? Setiap pagi, Ananta selalu buka jendela sama kaca supaya masuk lho. Angin pagi kan bagus.""Iya nanti lagi dibuka," jawab Arka.Selesai membuka kaca dan membiarkan angin siang masuk, Amanda berjalan menghampiri sang putra lagi lalu duduk di bagian pinggir kasur—tepatnya di samping kaki Arka."Masih pusing?" tanya Amanda sambil memijat kedua kaki putranya itu, karena memang itulah yang sering dia lakukan ketika si bungsu sakit."Masih," jawab Arka."Jangan lama-lama sakitnya, mama suka enggak tenang kalau ka
***"Daritadi kok ngelamun terus Mbak, ada apa?"Aludra yang duduk di samping kiri Rania langsung menoleh dan mengukir senyum."Enggak apa-apa," jawab Aludra."Enggak apa-apa, tapi daritadi saya lihat Mbak Lula ngelamun," ucap Rania. "Cerita aja Mbak, kalau ada apa-apa. Saya siap dengerin kok.""Enggak Mbak Rania, aku enggak apa-apa."Rania menghela napas pelan. Sedang mengemudi, dia memilih fokus ke jalanan karena sekarang mercedes benz yang sedang dia kemudikan baru keluar dari gerbang komplek perumahan. Tak memakai Range Rover yang biasa dipakai Arka, Rania memang diminta memakai mobil sejenis sedan itu untuk mengantar Aludra ke apotek. Selain ukurannya yang lebih kecil, mobil pemberian Aksa itu juga lebih nyaman untuk perempuan."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita Mbak, saya siap dengerin dan kasih solusi kalau bisa," ungkap Rania.Lebih tepatnya solusi buruk. Aludra punya masalah dengan Arka, Rania siap memberi solusi seburuk mungkin yang bisa memperkeruh suasana."Iya Mbak
***"Lu, udah beli obat sama buburnya?"Amanda yang sedang menonton televisi lantas menoleh ketika Aludra datang diikuti Rania dari belakang, sambil menenteng dua kresek putih di tangan kanan dan kirinya."Udah Ma," jawab Aludra. "Mas Arka masih di kamar?""Masih, pusing katanya," jawab Amanda."Oh ya udah, Lulu mau tuangin dulu buburnya ke mangkok," kata Aludra."Mau mama bantu?""Enggak usah, Ma. Lulu bisa kok," jawab Aludra. Setelah itu dia bergegas ke dapur diikuti Rania yang sepertinya akan mulai memasak makanan untuk makan malam nanti, karena memang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore."Ma, Lulu mau ke Mas Arka dulu," kata Aludra saat dia kembali dari dapur sambil membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air putih juga kresek kecil berisi obat.Menjaga keseimbangan, Aludra berjalan dengan sangat hati-hati."Iya, suruh abisin buburnya ya," kata Amanda."Iya Ma," jawab Aludra."Oh ya, Lu. Mama enggak bisa nginep malam ini karena papa juga katanya sedikit enggak
***"Buka mulutnya."Arka menatap ragu Aludra yang kini memegang beberapa pil di telapak tangannya. Selesai menghabiskan satu mangkuk bubur, tentu saja tugas Arka sekarang adalah; minum obat sebelum beristirahat dengan tidur, agar obat yang dia minum bekerja."Aku bisa sendiri," kata Arka—berniat meraih beberapa obat tersebut dari tangan Aludra. Namun, sebelum dia berhasil menggapai obat tersebut, Aludra lebih dulu menjauhkan tangannya dari jangkauan Arka."Aku yang suapin," kata Aludra."Aku bisa sendiri, Lu," ucap Arka."Ish." Jurus andalan, Aludra merengut dan tentu saja Arka pasrah jika sudah seperti itu."Ya udah ... aaaa." Arka membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan segera Aludra memasukkan obat di tangannya ke dalam mulut Arka disusul segelas air yang dia pegang di tangan kanan."Minumnya."Tak susah meminum obat, hanya dalam hitungan detik beberapa jenis pil yang terdiri dari paracetamol juga vitamin tersebut masuk ke dalam perut Arka."Pintar," puji Aludra."Iyalah, aku buka
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu