***"Minum dulu."Aludra yang beberapa menit lalu berpamitan turun, kini kembali membawa dua botol minumab dingin juga camilan lain untuk diberikan pada Alula juga Damar yang kini duduk manis di ruangan keluarga yang berada di lantai dua."Makasih adik cantik," kata Alula. Tanpa memudarkan senyumnya, dia mengambil salah satu botol minuman itu lalu meneguknya, begitupun dengan Damar yang melakukan hal serupa."Makasih, Ra," kata Damar."Sama-sama," jawab Aludra."Ya ampun segar," kata Alula setelah dia menghabiskan setengah isi dari minuman itu. Menyandarkan tubuhnya di sofa, kedua matanya mulai mengedar—menjelajahi setiap sudut ruangan tempat mereka berada. "Nyaman ya rumahnya. Pasti aku bakalan betah.""Pede abis, siapa juga yang bakalang ngizinin kamu tinggal di sini, hm?" tanya Damar."Lah, aku enggak perlu izin, ini kan rumah aku," jawab Alula yang langsung memandang Aludra di depannya. "Iya, kan, Ra?""Hm.""Arka ke mana, Ra?" tanya Damar. "Ini minggu, kan? Kok dia enggak ada di
***"Aludra! Kenapa kali ini dia enggak mau ngalah sih?!"Untuk yang kesekian kalinya Alula kembali mengomel sendiri sambil memukul setir bahkan sengaja menekan klakson beberapa kali.Meninggalkan Damar begitu saja di rumah Aludra, Alula kini melajukan mobilnya menyusuri jalanan siang kota Bandung untuk mencari hotel untuk dia tinggal selama beberapa hari sampai Aludra mau menyerah dan mengembalikan Arka.Demi apapun, bagaimanapun caranya, Alula akan menbuat Aludra mengembalikan Arka juga kehidupannya karena semua itu adalah milik Alula Shaqueena, bukan Aludra Raveena."Pokoknya aku harus dapatin Arka lagi dan kehidupan aku sebagai istri dia," gumam Alula. "Arka punya aku, suami aku, bukan Aludra."Lima belas menit menyusuri jalanan Bandung, Alula akhirnya memarkirkan mobilnya di halaman besar sebuah hotel berbintang di kota Bandung. Tentu saja, untuk tinggal dua hari di kota kembang, Alula harus mencari tempat tinggal senyaman mungkin."Di sini kayanya nyaman," kata Alula. Membuka sa
***"Oke, cantik."Bersiap-siap selama kurang lebih setengah jam, Aludra terlihat cantik dengan dress biru muda di bawah lutut yang dia pakai siang ini. Menyetujui permintaan Arka, saat ini Aludra akan bergegas menuju alamat hotel yang dikirimkan pria itu.Tak hanya bersama Pak Maman, Aludra akan berangkat bersama Damar dari rumah karena memang sebelum ke hotel tempat Arka berada, Aludra akan mengantar Damar ke apartemennya."Dam, maaf ya nunggu lama," kata Aludra sambil berjalan menuruni satu-persatu anak tangga lalu melangkah—menghampiri Damar yang sejak tadi menunggu di sofa ruang tengah."Enggak apa-apa, Ra. Santai aja," ucap Damar. "Aku enggak buru-buru kok.""Takut kesel aja," ucap Aludra."Enggak kok, santai.""Oh ya, lihat Pak Maman?" tanya Aludra."Lagi bersihin mobil, katanya tadi sedikit kotor bekas dari pasar.""Oh oke," kata Aludra. Berbalik badan, dia kemudian memanggil Bi Minah yang datang dari arah dapur. "Bi, aku mau makan siang dulu sama Mas Arka, titip rumah ya.""S
***"Mas."Dewa yang sedang sibuk dengan laptopnya seketika mendongak ketika panggilan itu diucapkan Aurora yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan meja kerjanya.Hari minggu. Jika kebanyakan orang selalu menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan atau sebagainya, maka tidak dengan Dewa yang selalu mengurus pekerjaan yang belum dia selesaikan.Di umur yang hampir menginjak enam puluh ini keinginannya untuk pergi ke luar memang sudah berkurang—mengingat betapa melelahkannya itu. Alhasil beginilah dia, bergelut dengan laptop."Kenapa, Sayang? Tumben banget kamu nyamperin aku ke sini?""Gak enak hati," ungkap Aurora yang langsung menarik kursi lalu duduk di depan Dewa."Enggak enak hati kenapa lagi? Aludra udah pulang tuh, udah di Indonesia. Apanya yang mau dibikin enggak enak?" tanya Dewa."Justru karena Rara di Indonesia, aku enggak enak.""Lho?" Dewa yang semula terus mengetik kini menghentikkan kegiatannya lalu meminggirkan laptop agar dia bisa memandang Aurora. "Kenapa? Ada a
***[My Twin : Sampai kapan mau jadi perebut?]Aludra menghela napas pelan ketika membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya itu. Alih-alih membalas, dia justru memilih untuk menghapus pesan tersebut sebelum Arka tahu."Kak Lula," gumam Aludra pelan. "Maaf, Kak, tapi aku capek ngalah terus."Menyimpan ponselnya di atas meja, Aludra beranjak dari pinggir kasur untuk mencari pakaian, karena memang sore ini dia baru saja selesai mandi, sementara Arka sedang sibuk di dapur setelah Aludra meminta pria itu untuk membuatkannya pancake, karena tak tahu kenapa dia tiba-tiba saja menginginkannya.Memakai piyama satin berwarna peach, Aludra menyisir rambutnya yang basah setelah keramas, sementara pikirannya terus tertuju pada Alula.Entahlah, Aludra bimbang. Meskipun, kini dia bersikap tegas dengan tetap mempertahankan Arka, hati kecilnya tetap berkata; kembalikan Arka pada Alula, Ra."Aku cinta Mas Arka, aku enggak bisa ninggalin dia," ucap Aludra sambil memandangi pantulan wajahnya di cer
***"Kak Lula itu bonekanya Rara! Jangan diambil dong!""Enggak ini punya Kakak, buat Kakak aja!""Kak Lula jangan dong! Mama Kak Lula jahat!"Anak kecil berambut coklat itu berlari ketika seorang perempuan menghampirinya lalu berjongkok untuk mengimbangi tinggi anak tersebut."Kenapa, Sayang?""Kak Lula ambil bonekanya Rara, Ma. Padahal, Kak Lula punya juga."Perempuan itu menghela napas lalu memandang putrinya yang satu lagi. "Lula sayang, itu bonekanya Rara, Nak. Kembaliin ya.""Tapi bonekanya bagus! Lula suka!""Iya, tapi itu bukan punya kamu, Sayang. Itu punya Rara. Kembaliin ya. Ingat lho, Mama kan selalu ajarin buat enggak ambil punya orang lain."Video tersebut terhenti begitu saja tepat setelah Aurora mengucapkan kata tersebut. Ya, duduk di pinggir kasur, Aludra memutuskan untuk menonton video yang dikirim Aludra.Bukan video aneh video tersebut adalah video masa kecilnya dengan Alula yang entah didapat darimana oleh sang kakak. Namun, Aludra cukup paham maksud dari video t
***"Hati-hati di jalan, Mas.""Kamu juga di rumah hati-hati.""Kenapa?"Aludra menaikkan sebelah alisnya ketika ucapan tersebut dilontarkan Arka. Padahal dirinya merasa tak ada bahaya di rumah ataupun semacamnya. Kenapa harus hati-hati.""Apanya yang kenapa?" tanya Arka."Kamu kenapa nyuruh aku hati-hati. Aku kan enggak akan ke mana-mana," kata Aludra. "Seharian ini aku mau di rumah.""Kamu pikir aku enggak perhatiin?" tanya Arka. "Dari tadi pagi kayanya kamu banyak ngelamun. Makanya aku suruh kamu hati-hati. Kali aja batu dimakan karena ngelamun.""Enggak gitu juga, Mas.""Lagian kenapa sih?" tanya Arka. "Ada yang kamu pikirin? Kalau ada, bilang sama aku. Biar aku kasih solusinya. Jangan tertutup sama suami sendiri dan jangan lupa kalau aku suka orang yang jujur.""Enggak ada apa-apa," kata Aludra. Sambil memandang Arka, otaknya kembali memikirkan alasan penguat agar Arka tak curiga apapun. "Aku cuman lagi kepikiran ucapan Mama.""Yang mana?""Katanya kalau pernah pake kontrasepsi,
***"Untuk memperbaiki gizi Arka. Aku yakin selama hidup sama kamu, makananya enggak terlalu terjamin karena kemampuan masak kamu noob banget. Jadi aku sengaja buatin makanan buat dia.""Aku enggak mau suami aku kekurangan gizi karena kamu."Sekali lagi Aludra menghela napas ketika satu-persatu kotak makan susun berisi makanan dia buka.Semuanya dari Alula. Pagi tadi dengan angkuhnya perempuan itu berkunjung ke rumah Aludra sambil membawa makanan yang dia bilang dibuat sendiri spesial untuk Arka.Meskipun tinggal di hotel, Alula bisa memasak sendiri untuk Arka setelah meminta izin dan tentunya membayar lebih pada pihak restoran di hotel dan voila! Tiga menu sekaligus kini tersaji di depan Aludra."Non Aludranya udah pulang ya, Non?"Suara Bi Minah terdengar dari belakang, Aludra menoleh. Sejak kedatangan Alula pukul setengah sembilan tadi, Bi Minah memang sibuk di lantai dua—menyetrika semua cucian yang sudah kering sejak kemarin, sementara Pak Maman sepertinya jalan-jalan di sekitr k