***"Lagi apa, Lu?"Aludra yang sejak tadi sibuk di dapur, lantas menoleh ketika Arka datang menghampirinya lalu menarik kursi dan duduk di depan meja makan.Beberapa menit lalu, Arka yang baru saja pulang jogging bersama Aludra memang berpamitan untuk mengangkat telepon dari Dirga yang ternyata membicarakan tentang pekerjaan."Lagi buat sarapan," kata Aludra. "Mau tau enggak apa yang aku buat hari ini?""Apa?" tanya Arka.Aludra menoleh lalu tersenyum. "Nasi goreng cinta," ucapnya."Bisa aja kamu," kata Arka. "Emang bahan apa yang kamu masukkin sampe bilang kalau nasi goreng yang kamu buat itu nasi goreng cinta?""Ya karena aku buatnya pake cinta," ujar Aludra."Enggak pake tangan?" tanya Arka."Ya pake dong, Mas," ucap Aludra. Nasi goreng yang dia buat jadi, Aludra mematikan kompor lalu berjalan menghampiri Arka. "Oh ya, tadi Papa telepon ada apa?""Ah iya, aku lupa. Fokus sama kamu aku jadi lupa mau izin nih," kata Arka."Izin apa?" tanya Aludra. "Izin nikah lagi?""Heh kalau ngomo
***"Yuhuuu, Indonesia!"Sampai di bandara pukul tujuh pagi, Alula terlihat begitu antusias. Berjalan lalu berdiri di depan, dia tak ragu merentangkan kedua tangannya karena setelah empat bulan pergi, dia kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahiran."Gak usah nora," celetuk Damar.Masih sebal dengan niat tak baik Alula pada Aludra, sejak pertengkaran kemarin Damar memang selalu ketus bahkan sinis pada putri sulung Dewa Pratama itu.Penilaiannya pada Alula dari dulu sampai sekarang tak pernah berubah. Perempuan egois. Sampai kapanpun julukan itu akan disematkan Damar pada Alula karena begitulah dia. Egois."Apa sih, Dam? Sinis banget?" tanya Alula. "Oh ya, mana mobilnya? Udah datang belum?""Udah," jawab Damar."Mana?" tanya Alula. "Udah enggak sabar nih, pengen ke Bandung.""Ck, enggak tahu diri," celetuk Damar yang langsung melangkahkan kakinya pergi begitu saja meninggalkan Alula juga kopernya yang besar."Damar! Ini koper aku enggak mau dibawain gitu?!" tanya Alula.Damar yang
***"Minum dulu."Aludra yang beberapa menit lalu berpamitan turun, kini kembali membawa dua botol minumab dingin juga camilan lain untuk diberikan pada Alula juga Damar yang kini duduk manis di ruangan keluarga yang berada di lantai dua."Makasih adik cantik," kata Alula. Tanpa memudarkan senyumnya, dia mengambil salah satu botol minuman itu lalu meneguknya, begitupun dengan Damar yang melakukan hal serupa."Makasih, Ra," kata Damar."Sama-sama," jawab Aludra."Ya ampun segar," kata Alula setelah dia menghabiskan setengah isi dari minuman itu. Menyandarkan tubuhnya di sofa, kedua matanya mulai mengedar—menjelajahi setiap sudut ruangan tempat mereka berada. "Nyaman ya rumahnya. Pasti aku bakalan betah.""Pede abis, siapa juga yang bakalang ngizinin kamu tinggal di sini, hm?" tanya Damar."Lah, aku enggak perlu izin, ini kan rumah aku," jawab Alula yang langsung memandang Aludra di depannya. "Iya, kan, Ra?""Hm.""Arka ke mana, Ra?" tanya Damar. "Ini minggu, kan? Kok dia enggak ada di
***"Aludra! Kenapa kali ini dia enggak mau ngalah sih?!"Untuk yang kesekian kalinya Alula kembali mengomel sendiri sambil memukul setir bahkan sengaja menekan klakson beberapa kali.Meninggalkan Damar begitu saja di rumah Aludra, Alula kini melajukan mobilnya menyusuri jalanan siang kota Bandung untuk mencari hotel untuk dia tinggal selama beberapa hari sampai Aludra mau menyerah dan mengembalikan Arka.Demi apapun, bagaimanapun caranya, Alula akan menbuat Aludra mengembalikan Arka juga kehidupannya karena semua itu adalah milik Alula Shaqueena, bukan Aludra Raveena."Pokoknya aku harus dapatin Arka lagi dan kehidupan aku sebagai istri dia," gumam Alula. "Arka punya aku, suami aku, bukan Aludra."Lima belas menit menyusuri jalanan Bandung, Alula akhirnya memarkirkan mobilnya di halaman besar sebuah hotel berbintang di kota Bandung. Tentu saja, untuk tinggal dua hari di kota kembang, Alula harus mencari tempat tinggal senyaman mungkin."Di sini kayanya nyaman," kata Alula. Membuka sa
***"Oke, cantik."Bersiap-siap selama kurang lebih setengah jam, Aludra terlihat cantik dengan dress biru muda di bawah lutut yang dia pakai siang ini. Menyetujui permintaan Arka, saat ini Aludra akan bergegas menuju alamat hotel yang dikirimkan pria itu.Tak hanya bersama Pak Maman, Aludra akan berangkat bersama Damar dari rumah karena memang sebelum ke hotel tempat Arka berada, Aludra akan mengantar Damar ke apartemennya."Dam, maaf ya nunggu lama," kata Aludra sambil berjalan menuruni satu-persatu anak tangga lalu melangkah—menghampiri Damar yang sejak tadi menunggu di sofa ruang tengah."Enggak apa-apa, Ra. Santai aja," ucap Damar. "Aku enggak buru-buru kok.""Takut kesel aja," ucap Aludra."Enggak kok, santai.""Oh ya, lihat Pak Maman?" tanya Aludra."Lagi bersihin mobil, katanya tadi sedikit kotor bekas dari pasar.""Oh oke," kata Aludra. Berbalik badan, dia kemudian memanggil Bi Minah yang datang dari arah dapur. "Bi, aku mau makan siang dulu sama Mas Arka, titip rumah ya.""S
***"Mas."Dewa yang sedang sibuk dengan laptopnya seketika mendongak ketika panggilan itu diucapkan Aurora yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan meja kerjanya.Hari minggu. Jika kebanyakan orang selalu menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan atau sebagainya, maka tidak dengan Dewa yang selalu mengurus pekerjaan yang belum dia selesaikan.Di umur yang hampir menginjak enam puluh ini keinginannya untuk pergi ke luar memang sudah berkurang—mengingat betapa melelahkannya itu. Alhasil beginilah dia, bergelut dengan laptop."Kenapa, Sayang? Tumben banget kamu nyamperin aku ke sini?""Gak enak hati," ungkap Aurora yang langsung menarik kursi lalu duduk di depan Dewa."Enggak enak hati kenapa lagi? Aludra udah pulang tuh, udah di Indonesia. Apanya yang mau dibikin enggak enak?" tanya Dewa."Justru karena Rara di Indonesia, aku enggak enak.""Lho?" Dewa yang semula terus mengetik kini menghentikkan kegiatannya lalu meminggirkan laptop agar dia bisa memandang Aurora. "Kenapa? Ada a
***[My Twin : Sampai kapan mau jadi perebut?]Aludra menghela napas pelan ketika membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya itu. Alih-alih membalas, dia justru memilih untuk menghapus pesan tersebut sebelum Arka tahu."Kak Lula," gumam Aludra pelan. "Maaf, Kak, tapi aku capek ngalah terus."Menyimpan ponselnya di atas meja, Aludra beranjak dari pinggir kasur untuk mencari pakaian, karena memang sore ini dia baru saja selesai mandi, sementara Arka sedang sibuk di dapur setelah Aludra meminta pria itu untuk membuatkannya pancake, karena tak tahu kenapa dia tiba-tiba saja menginginkannya.Memakai piyama satin berwarna peach, Aludra menyisir rambutnya yang basah setelah keramas, sementara pikirannya terus tertuju pada Alula.Entahlah, Aludra bimbang. Meskipun, kini dia bersikap tegas dengan tetap mempertahankan Arka, hati kecilnya tetap berkata; kembalikan Arka pada Alula, Ra."Aku cinta Mas Arka, aku enggak bisa ninggalin dia," ucap Aludra sambil memandangi pantulan wajahnya di cer
***"Kak Lula itu bonekanya Rara! Jangan diambil dong!""Enggak ini punya Kakak, buat Kakak aja!""Kak Lula jangan dong! Mama Kak Lula jahat!"Anak kecil berambut coklat itu berlari ketika seorang perempuan menghampirinya lalu berjongkok untuk mengimbangi tinggi anak tersebut."Kenapa, Sayang?""Kak Lula ambil bonekanya Rara, Ma. Padahal, Kak Lula punya juga."Perempuan itu menghela napas lalu memandang putrinya yang satu lagi. "Lula sayang, itu bonekanya Rara, Nak. Kembaliin ya.""Tapi bonekanya bagus! Lula suka!""Iya, tapi itu bukan punya kamu, Sayang. Itu punya Rara. Kembaliin ya. Ingat lho, Mama kan selalu ajarin buat enggak ambil punya orang lain."Video tersebut terhenti begitu saja tepat setelah Aurora mengucapkan kata tersebut. Ya, duduk di pinggir kasur, Aludra memutuskan untuk menonton video yang dikirim Aludra.Bukan video aneh video tersebut adalah video masa kecilnya dengan Alula yang entah didapat darimana oleh sang kakak. Namun, Aludra cukup paham maksud dari video t
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu