**
"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng tanpa mampu menjawab. Rasa bersalah memenuhi dadanya. Ia pikir Karan dan Soraya berseteru hingga hubungan keduanya merenggang seperti ini, juga karena dirinya. Maka apakah bisa jika Kiran hanya diam?"Ibu, Kiran juga salah di sini. Nggak hanya Mas Karan."Percuma saja bagaimanapun Kiran membujuk. Soraya tetap bersikeras pada pendiriannya. Wanita itu memilih pergi ke dalam kamar sementara Karan mulai memasuki mobilnya dan hendak meninggalkan halaman rumah. Menyisakan Kiran berdua dengan Herman yang masih terpaku di tempat, menyaksikan segala keberantakan itu."Ayah, gimana ini?" Kiran bergumam pelan kepada sang ayah mertua."Kita biarin dulu aja." Herman membuang napas lelah. "Percuma dipaksakan, Ki. Dua orang itu sama-sama keras kepala. Biarkan Ibu istirahat dan sendirian dulu untuk saat ini. Nanti kalau sudah tenang, kamu temui Ibu lagi dan ajak bicara. Jujur aja, Ibu memang hanya bisa luluh sama kamu. Jadi Ayah minta tolong, ya."Tampaknya, jalan terbaik memang seperti ini. Sekali lagi Kiran menengok ke arah halaman rumah di mana debu-debu sisa ban mobil Karan masih bertebaran. Hatinya ngilu sekali saat mengingat kembali bahwa suaminya sudah berlalu bersama perempuan lain di dalam mobil itu."Kiran istirahat juga." Herman kembali bertutur. "Ibu tadi udah masak. Kamu belum makan, kan? Mau makan dulu?"Perempuan dua puluh empat tahun itu hanya menggeleng pelan. Jujur saja, bahkan sampai beberapa hari ke depan pun perutnya pasti menolak diisi oleh sesuatu. Ingatan tentang Karan dan Nevia selalu membuatnya mual."Aku akan balik ke rumah buat beres-beres, Yah.""Beres-beres?""Cepat atau lambat, kalau aku udah resmi cerai sama Mas Karan, harus pindah juga, kan? Maka sebaiknya harus dimulai dari sekarang aja."Kiran mencoba tersenyum, namun Herman menanggapi dengan wajah trenyuh. Lelaki separuh baya itu hanya mampu mengangguk lirih sembari menepuk lembut bahu sang menantu."Bawa barang-barangmu ke sini. Kamu udah janji akan tetap jadi anak Ayah sama Ibu, kan? Kamu tinggal di sini, temani Ibu, Ki."Jujur saja, Kiran tidak tahu apakah bisa melakukan hal itu atau tidak. Pulang ke rumah orangtua Karan, berarti ia masih harus sering bertemu suaminya —yang sebentar lagi akan menjadi mantan— itu lagi. Namun untuk sekarang, Kiran memang belum memiliki tujuan lain selain rumah mertuanya ini."Iya, Ayah. Nanti aku balik ke sini. Biar Ibu istirahat dan tenangin diri dulu."Perempuan itu beranjak pergi setelah berpamitan. Dan sepenuhnya berharap bahwa Karan serta Nevia tidak pulang ke rumah saat ini.*Kiran duduk termenung di tepi ranjang dalam kamarnya. Memasuki rumah ini dengan status baru sebagai istri seorang Karan Raditya Gathfan, adalah hal paling berat yang pernah dirasa oleh Kiran dalam hidupnya. Namun, ia tidak pernah menyangka, bahwa akan keluar dari rumah ini dengan melepas status itu, ternyata sama beratnya. Perempuan manis itu menepis air mata yang hendak turun lagi membasahi pipi. Ia meraih koper di mana seluruh barang-barangnya yang tak seberapa sudah terkemas di dalam sana. Menyeret benda itu keluar dari kamar, melintasi ruangan-ruangan rumah yang hening."Bahkan kamu nggak ijinin aku pamitan, Mas," gumamnya kala melewati pintu kamar Karan yang tertutup rapat. "Berbahagialah selalu sesudah ini. Aku nggak akan lagi jadi penghalang jalanmu. Bangun rumah tangga yang selalu kamu impi-impikan bersama Nevia dan anak-anak kalian kelak. Aku pamit, terimakasih untuk semuanya."Kiran melangkah keluar dengan menyeret kopernya. Untuk kali terakhir, memandang rumah yang sudah menjadi tempatnya berteduh selama beberapa waktu belakangan ini."Nggak apa-apa, ini bukan akhir dunia. Meski tanpa Mas Karan, hidup akan tetap berjalan sebagaimana mestinya." Berusaha menghibur dirinya sendiri, Kiran menaikkan kopernya ke bagian depan si motor matic kesayangan.Menyusuri jalan raya tengah kota yang ramai sore hari ini. Kiran setengahnya berpikir, sebaiknya ia membelikan Soraya sesuatu. Mungkin makanan kesukaan ibu mertuanya itu. Tadi pagi Kiran pulang tanpa pamit dan Soraya dalam keadaan tidak baik-baik saja."Mungkin Ibu seneng kalo aku beli kue kesukaannya. Aku mampir bakery dulu kalo gitu." Kiran mengulas senyum. Menarik gas motor sedikit lebih kencang untuk menuju bakery langganan Soraya. "Tapi kenapa jalanan lebih macet dari biasanya, ya? Padahal ini bukan weekend."Motor matic berwarna merah itu melaju perlahan. Sesekali meliuk di antara dua mobil besar. Motor memang efisien digunakan ketika jalan sedang macet begini. Nah, tapi sekali lagi, jalanan justru kian macet. Bahkan motor Kiran sama sekali tak bisa bergerak. Tampak kerumunan manusia di depan sana, membuat Kiran merasa agak aneh."Maaf, di depan ada apa, ya? Tumben, kok macet parah?" Perempuan itu mencoba bertanya dengan ramah kepada salah seorang lelaki pengguna jalan yang tengah melintas."Oh, ada kecelakaan, Mbak. Korbannya belum dievakuasi. Masih nunggu polisi," jawab lelaki itu sementara melangkah menjauh.Hati Kiran terasa mencelos. Kecelakaan katanya? Ah, apakah keadaannya seburuk itu hingga harus menunggu petugas? Kiran membelokkan motornya ke depan sebuah toko dan memarkirkannya di sana. Ia lantas melangkah menuju kerumunan massa karena didera rasa penasaran. Perlahan tertangkap oleh pandangannya melalui sela-sela kerumunan, bodi mobil yang tampaknya sudah remuk redam. Kiran bergidik membayangkan bagaimana keadaan si penumpang jika mobilnya saja seperti itu. Rasa kian penasaran membuat Kiran turut merangsek maju pula. Ia merasa darahnya berdesir kala menyadari jenis mobil yang remuk itu adalah sebuah SUV berwarna hitam. Persis mobil milik Karan.Lalu di bawah himpitan rongsokan baja yang terbalik, sepotong lengan terkulai lemas dengan bercak-bercak darah. Kepala Kiran mulai pening. Bahkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan itu, juga sama persis dengan milik Karan."Pe-permisi ...." Kiran kian merangsek mendekat. Jantungnya berpacu gila-gilaan saat ia menemukan serpihan ponsel di sela-sela pecahan kaca. Ia memungut ponsel yang separuh layarnya sudah hancur itu.Dan ...."Nggak!" Kiran menggeleng dengan tubuh tremor. Sebuah plat nomor kendaraan teronggok tak jauh dari lengan yang terkulai berdarah-darah tadi."MAS KARAN! YA TUHAN! MAS!"*****"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat
**"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki
**"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,