Share

11. Kecelakaan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-04 20:38:15

**

"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"

Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya.

"Mbaknya kenal sama korban?"

"Keluarganya, ya?"

"Oh, syukurlah ada yang kenal."

"Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."

Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu.

"Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"

Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat berat untuk mengangkat rongsokan mobil yang terbalik itu.

"Mas Karan!" Lagi-lagi, Kiran menjerit histeris bagai orang lupa diri. "Mas Karan, bertahan, Mas! Tolong, jangan kenapa-kenapa! Tunggu polisi datang sebentar lagi, aku mohon! Aku mohon jangan kenapa-kenapa!"

Perempuan itu menjerit dan meraung. Berusaha menarik lengan yang terhimpit tak bergerak, namun orang-orang di sana menahan perbuatannya. Hingga beberapa saat kemudian ketika petugas kepolisian dan ambulans datang, Kiran sudah berada di ambang sadar dan tidak.

"Mbaknya ikut ke rumah sakit." Salah seorang petugas berkata dengan nada menuntut. Itu sebuah perintah mutlak, bukannya tawaran. Tanpa pikir panjang, Kiran melompat masuk ke dalam ambulans, di mana tubuh diam bersimbah darah itu telah dibaringkan.

"Ya Tuhan, Mas Karan ...." Kiran merintih pedih. Tangan gemetarnya mengusap kening lelaki tampan itu. "Mas Karan, bertahan sebentar ya, Mas. Aku di sini. Aku ada di sini, jangan khawatir."

Kiran genggam jemari pucat itu erat-erat. Segala doa ia ucapkan dalam hati. Memohon kepada Tuhan untuk mengulur waktu. Untuk memberi kesempatan kepada lelaki yang dicintainya ini. Kiran sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi pagi tadi. Tentang rencana perceraiannya dengan lelaki ini.

"S-sakit ...." rintih lemah itu terdengar dari sela-sela bibir Karan yang pucat. "T-tolong ... s-sakit ...."

"Sebentar lagi kita sampai." Kiran eratkan genggaman tangannya dengan air mata berderai, berjatuhan di atas wajah Karan. "Mas Karan, tolong bertahan buat aku. Buat Ayah dan Ibu."

Ambulans tiba di rumah sakit dan segera merapat ke depan gate UGD untuk mendapatkan perawatan dari dokter jaga di sana. Kiran merasa tubuhnya lunglai tak berdaya. Segalanya bagai mimpi buruk menjelang pagi.

"Anda keluarganya?" Dokter jaga bertanya kepada Kiran, yang hanya mampu dijawab dengan anggukan lemah dari gadis itu.

"Korban butuh transfusi segera. Tolong anda hubungi anggota keluarga lain yang memiliki golongan darah sama. Stok kami terbatas untuk golongan ini."

"Go-golongan darah?"

"A resus positif."

Jantung Kiran seperti mencelos saat mendengar hal ini. Keajaiban apa yang Tuhan kirimkan padanya? Ternyata golongan darahnya sama dengan Karan.

"S-saya A positif, Dok." Kiran berkata dengan napas tersengal. "Saya sehat, tidak memiliki penyakit atau kelainan apapun. Di mana ruang transfusinya?"

*

Segalanya terjadi seperti kelebatan mimpi buruk yang tidak bisa Kiran putar lagi dalam benak sebab terlalu mengerikan. Meski demikian, perempuan itu kali ini menghela napas dengan lega. Karan tidak terlambat mendapat pertolongan. Tubuhnya menerima dengan baik darah yang tadi Kiran transfusikan. Kini perempuan ayu itu duduk dengan lunglai di luar ruangan ICU. Menyesap sekotak susu yang diberikan petugas medis kepadanya.

"Oh, Ya Tuhan!" Ia melonjak kecil ketika baru saja menyadari sesuatu. "Ayah dan Ibu belum tau hal ini. Aku harus kasih tau segera." Ia meraba ponsel di saku celana jeans-nya. Ternyata sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang dimaksud. Jelas saja, Kiran tadi pagi berjanji akan kembali, namun hingga malam begini, ia baru sempat menelepon.

"Kiran!" Suara Soraya berseru dari seberang sana. "Kiran, kamu nggak apa-apa, Nak? Kok belum balik ke sini? Nggak angkat telepon Ibu? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Bagaimana Kiran menjelaskannya?

"I-Ibu ...." Suaranya kelewat serak dan bergetar. Tak mungkin Soraya tidak mengira jika ada yang terjadi. "Ibu, aku di rumah sakit."

"Rumah sakit?" Suara Soraya kembali berseru terkejut dari seberang sana. "Kiran! Ada apa? Kamu nggak apa-apa, kan? Kenapa ke rumah sakit? Bilang sama ibu, ada apa?"

Masih dengan menahan rasa pening di kepala, Kiran menarik napas panjang untuk mencoba menjelaskan. Ia berusaha memilih kata demi kata yang mungkin tidak akan terlalu mengejutkan bagi sang ibu mertua.

"Ibu sama Ayah bisa ke sini sekarang? Aku ada di rumah sakit Wisma Husada."

"Kiran, kamu kenapa, Nak?"

"Bukan aku, Bu. Tapi Mas Karan."

Seperti halnya Kiran, Soraya dan Herman pun datang dengan berlari-lari serta bersimbah air mata. Wanita paruh baya yang jelita itu segera melemparkan diri ke dalam pelukan sang menantu begitu tiba di tempat. Sepenuhnya lupa kepada pertengkarannya dengan sang putra pagi tadi.

"Karan gimana, Ki? Dia ada di mana sekarang? Ada apa sebenernya?" Herman yang bertanya sebab Soraya sudah kehilangan seluruh suaranya.

"M-Mas Karan masih di ruang ICU, Ayah. Belum boleh dijenguk sama siapapun."

"Ya Tuhan ...." Herman mendesah pelan. "Gimana bisa begini, Ki?"

"Aku nggak tau gimana kejadiannya, Yah. Aku dalam perjalanan balik ke rumah Ayah Ibu saat lihat mobilnya Mas Karan udah terbalik sampai hancur di tengah jalan tadi."

Kiran membersit ujung matanya. Bayangan mengerikan siang tadi kembali memenuhi benaknya. Sungguh Kiran bersyukur kepada Tuhan, Karan masih bisa diselamatkan. Padahal meninjau dari keadaan kendaraannya, sepertinya sudah tidak akan ada harapan.

"Dia bertengkar sama Ibu terakhir kali." Soraya terisak keras begitu kembali menemukan suaranya. "Ibu bentak Karan dan bilang nggak akan peduli lagi sama apapun yang terjadi sama hidupnya. Gimana kalo sampai Karan kenapa-kenapa, Ki? Ibu menyesal."

Itulah. Entah apa yang terbersit dalam benak Soraya ketika tengah dilamun emosi pagi tadi. Hingga Tuhan seketika menjatuhkan murka-Nya kepada sang putra. Tak ada yang bisa dilakukan Soraya kini selain menyesal.

"Kiran, apa Karan sama sekali nggak boleh dilihat? Ibu mau tau gimana keadaannya sekarang. Ibu mau lihat."

"Bisa dilihat dari balik kaca. Ibu yakin mau lihat?"

"Antar Ibu sekarang!"

Kiran menghela napas sebelum bergerak bangkit dan menuntun sang Ibu menuju ruangan ICU di mana Karan berada. Sesampainya di sana, Soraya kembali dikuasai tangis histeris. Menyaksikan sang putra yang terbaring lemah dengan mata memejam rapat serta berbagai benda penyambung kehidupan yang menempel di dadanya.

"Mas Karan ...." Kiran berbisik lirih seraya menyentuh permukaan kaca yang menghalanginya dengan lelaki itu. "Mas Karan ... buka matamu, Mas. Lihat kami di sini."

***

Bab terkait

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   12. Membuka Mata

    **"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-07
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   13. Tak Ingat Apapun

    **"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   14. Pulang ke Rumah

    **"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-11
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   15. Di Sini Saja

    **"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-13
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   16. Telepon Tengah Malam

    **Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-15
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   17. Morning Distraction

    **Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-21
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   18. Banyak Pertanyaan

    **"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-22
  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   19. Check-Up

    **"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24

Bab terbaru

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 4

    **Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 3

    **Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 2

    **“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 1

    **Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   102. Kembali Bersamamu

    **Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   101. Melamar

    **“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   100. Ayo Kita Menikah Lagi

    **Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   99. Langkah Maju

    **“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   98. Telepon Tengah Malam

    **Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,

DMCA.com Protection Status