**
"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki sudah berada di depannya. Ia buru-buru tersenyum dan membalas sapaan itu."Ah, selamat pagi, Dok.""Saya periksa dulu keadaan pasien, ya. Semoga ada kemajuan hari ini. Yah, seharusnya sudah ada kemajuan, mengingat tidak ada gejala lain selama beberapa hari ini."Kiran mengangguk, memaksakan mengulas senyum kering. Ia tidak memiliki ekspektasi apapun, mengingat nihilnya tiga hari ini. Namun, raut wajah dokter tampan itu setelah memeriksa, membuat harapan Kiran kembali terpantik."Denyut jantungnya stabil, tekanan darah juga normal. Beberapa luka luar sudah membaik, termasuk benturan di kepala. Hanya trauma pada tengkoraknya yang belum pasti. Kita harus menunggu pasien sadar dulu untuk bisa evaluasi."Kiran hanya mengangguk gugup mendengar penjelasan panjang itu. Entah apa artinya, namun ia bisa menangkap satu hal yang sepertinya pasti ; sudah ada banyak kemajuan."Tapi, kenapa belum sadar juga ya, Dok?" Perempuan itu lantas bertanya dengan gusar."Itulah. Seharusnya pasien sudah bisa sadar dalam tahap ini. Tapi bisa juga karena pengaruh obat dosis tinggi, atau shock akibat benturan keras, jadi tubuhnya masih recovery. Anda harus selalu mendampingi biar bisa memantau dan langsung menghubungi perawat jika ada pergerakan sekecil apapun, oke?""Baik, Dok.""Jangan khawatir, suami anda pasti baik-baik saja."Meski kurang puas dengan jawabannya, namun Kiran tetap memaksakan mengangguk. Ia mengucapkan terimakasih saat dokter akhirnya berpamitan. Kemudian tinggallah perempuan itu seorang diri di sana. Kembali menatap lekat wajah tampan yang meski sedang pucat pasi, namun tetap terlihat begitu menawan. Jangan salahkan bila Kiran harus jatuh cinta kepadanya meski sikapnya seringkali hanya membuat luka hati saja. Memangnya siapa yang bisa mencegah hadirnya rasa cinta?"Ah, Mas Karan, kita bersih-bersih dulu, ya. Tadi udah dibawain air hangat sama suster jaga. Dokter bilang semuanya baik-baik aja, jadi kita harus siap-siap kalau Mas Karan nanti bangun sewaktu-waktu." Kiran tersenyum lebar meski tahu dirinya konyol, mengajak mengobrol seseorang yang sedang tidak sadarkan diri. Namun, dokter justru menganjurkan hal ini. Dokter berkata Karan tetap bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski tubuhnya tidak sadar.Perempuan ayu itu menyiapkan kain lap lembut yang sudah dibasahi dengan air hangat guna menyeka tubuh sang suami. Mengusapnya pelan-pelan dengan penuh kasih sayang. "Biar badan kamu bersih dan wangi, nggak bau rumah sakit lagi. Biar kamu ngerasa segeran juga, Mas."Senyum itu terus merekah, menghiasi bibir Kiran. Ia masih pula berceloteh sepanjang melaksanakan tugasnya. Menceritakan ini dan itu, yang tidak mungkin ia lakukan jika Karan sedang bangun. "Aku tau kamu nggak akan pernah ijinin aku ngelakuin hal ini ketika kamu sadar, jadi aku minta maaf, oke? Maaf, aku buka bajunya, ya."Tangan Kiran gemetar hebat saat ia membuka sedikit pakaian pasien yang membalut tubuh Karan. Demi Tuhan, bahkan sebelumnya bermimpi tentang hal ini pun ia tak berani. Dan benar saja, memang sudah benar jika Karan tidak mengizinkan tubuhnya disentuh. Sebab lihatlah perempuan itu saat ini."Oh, Tuhan. Oh, Tuhanku ...."Kedua pipi Kiran bersemu merah tanpa ampun. Ini sesungguhnya bukanlah hal berdosa, sebab yang sedang ia sentuh adalah tubuh milik suaminya sendiri yang telah sah secara hukum dan agama menjadi haknya. Namun tak bisa dipungkiri, Kiran sama sekali tak memiliki pengetahuan apapun dalam hal ini."M-Mas ... maaf, ya. Maaf banget. Please, jangan marah. Aku janji ini cuma karena biar badan kamu nggak kotor aja. Sama sekali bukan karena apa-apa, kok. Percayalah, aku nggak ada tujuan lain." Kiran membuka fabrik yang menutupi bagian bawah tubuh suaminya. Menyeka bagian itu dengan kain basah yang hangat. Keringat dingin mengucur deras di balik punggungnya saat ia bisa melihat dengan begitu jelas hal luar biasa apa yang ada di sana."Ya Tuhan, maaf-maaf-maaf!" Kedua tangan Kiran bergetar hebat. Tremor tanpa bisa ia cegah. Perempuan itu berusaha menyelesaikan tugasnya secepat mungkin meski kepalanya mendadak terasa pening. Ia–"Uggh ...."Kedua bola mata Kiran melebar maksimal. Tangannya yang masih memegang kain lap sedang berada dalam posisi yang sangat tidak tepat. Dan hal menakutkan yang Kiran paling takutkan, akhirnya terjadi juga.Karan membuka matanya."M-Mas K-Karan?""Ugh ....""Ma-ma-maaf, Mas. Ak-aku cuma ... cuma ...."Tak bisa dipungkiri, Kiran benar-benar terkesima dengan apa yang sudah ia lihat. Disertai wajah terbakar merah membara juga tangan gemetar ketakutan, ia membetulkan celana suaminya. Menahan malu sebab pandangan mata Karan terpancang ke arah sana. Kiran merasa dirinya seperti pencuri yang baru saja ditangkap basah oleh massa."M-Mas Karan, aku harus panggil perawat, ya. Tunggu sebentar, tadi dokter bilang begitu. Sebentar, ya." Perempuan itu berkata terbata-bata seraya menekan tombol di atas headboard. Tubuhnya gemetaran sebab takut akan mendapat tumpahan kemarahan dari sang suami sebab ketahuan membuka-buka celananya.Namun aneh, sejauh ini Karan hanya terus menatap langit-langit ruang rawat dengan pandangan bingung. Membuat rasa takut Kiran, perlahan-lahan berubah menjadi takut yang lain."Ah, sial, kenapa perawatnya lama banget?" desis perempuan itu, sekali lagi menekan tombol di atas ranjang. "Mas Karan? Apakah ada yang sakit? Kepalanya sakit, ya? Tunggu sebentar, ya. Sebentar lagi perawatnya datang."Karan kemudian mengalihkan pandangan dari langit-langit ruang rawat kepada perempuan di sampingnya. Perempuan yang sedang tersenyum lembut meski wajahnya terlihat pias dan lelah."Mas Karan, kamu mau sesuatu? Bisa sampaikan sama aku? Nggak apa-apa, pelan-pelan aja bicaranya." Kiran mendekat saat raut wajah suaminya berubah semakin kebingungan. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan besar yang hangat itu."Kamu ...." Suara itu terdengar parau dan serak. Kiran mengernyit, bahkan hanya bersuara pun suaminya terlihat kesakitan."Iya, Mas? Ada apa?""Kamu ... kamu siapa?"*****"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,
**"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap
**"Kiran, ini ...."Jantung Kiran mencelos. Ia mematai ekspresi kebingungan kosong di wajah sang suami ketika mobil yang ia kemudikan tengah melaju memasuki halaman yang asri dengan taman kecil yang berhias aneka rupa bunga. Jalan beton berkelok berakhir pada depan teras rumah. Beberapa pot berisi berbagai jenis Anggrek menggantung di tepi-tepi atap teras."Mas? Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?" tanya Kiran dengan risau."Ah ... sepertinya iya, tapi aku nggak sepenuhnya ingat.""Ini rumah Ayah Ibu. Ini rumah kamu dari kecil."Karan berdiam diri, menyapukan pandang pada sekeliling. Sedan berwarna putih yang dikemudikan Kiran sudah berhenti di penghujung jalan beton itu."Rumah?""Yuk, kita turun. Barangkali keadaan kamu bisa membaik kalo kita refreshing ke rumah Ayah Ibu sebentar aja."Pria itu tampak ragu-ragu. Membuat ingatan Kiran kembali melintas pada waktu terakhir kali Karan berada di tempat ini. Ia sedang bersama dengan Nevia saat itu, kan? Sedang membuat keputusan yang akan men
**Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
**Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau
**“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib
**Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,