**"M-Mas ...." Kiran tertawa dengan gugup. Sungguh, ia tidak tahu harus mengutarakan jawaban macam apa kepada lelaki ini. "Ya mana mungkin sih, aku ngelakuin hal seperti itu. Kita bener-bener suami istri. Kamu bisa tanya Ayah sama Ibu kalau nggak percaya."Tapi raut wajah Karan tetap saja menyiratkan keragu-raguan. Kembali ia layangkan pandang mengitari kamar lamanya itu. Memang tak ada bingkai foto apapun di sana. Pun poster, gambar, atau semacamnya. Dinding ruangan bercat putih itu bersih dari ornamen apapun."Aku mau lihat foto pernikahan kita, Ki."Ugh! Kiran menelan saliva. Amnesia ternyata tidak membuat Karan berhenti menjadi orang yang kritis."Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu nggak percaya kalau aku ini istrimu?""Percaya," sahut Karan tegas. "Aku sangat percaya. Kamu rawat aku sepenuh hati selama aku sakit. Kamu bener-bener perhatian dan sayang sama aku.""Ya, lalu?""Aku cuma penasaran, kenapa nggak ada foto pernikahan atau cincin.""Ada, Nak ...."Sepasang insan itu
**Kiran hanya mampu menutup kedua matanya rapat-rapat. Telapak tangannya kini dicekal erat oleh Karan."Mas, lepasin tanganku, astaga!""Ih, kenapa, sih? Aku kan suami kamu."Benar sekali. Karan memang suaminya, tapi Kiran tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Oh, bodoh sekali. Seharusnya ini pasti terjadi, kan?"Kiran, ayolah!""Oke, oke, sebentar. Aku ambilkan celana, tapi tolong kamu menyingkir sebentar. Aku akan jalan ke kamar kamu buat ambil bajunya."Meski yang terdengar hanyalah decak kesal, namun Kiran melangkah juga. Tersaruk-saruk keluar dari kamarnya sendiri untuk menuju kamar Karan di ujung koridor. Perempuan itu memilih atasan lengan panjang dan celana katun yang nyaman. Juga sebuah underwear, yang belakangan mulai familiar ia sentuh. Sebelum ini, bahkan Kiran tidak pernah melihat benda itu seujung pun. Karan mencucinya sendiri dan langsung membawanya masuk kamar begitu keluar dari mesin dryer."M-Mas, ini baju kamu." Dengan gugup, ia kembali ke kamarnya. Menelusup
**"Ayo kita balik ke atas.""Hah?"Kiran termangu di depan wastafel dapur. Ia sudah selesai mencuci piring sejak tadi, namun masih tetap diam di sana. Tak bergerak seincipun. Rasa gugup luar biasa melingkupi seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki.Karan sedang menunggunya di kamar.Dan mengapa pikiran Kiran sudah berkelana ke sana kemari, membayangkan bahwa suaminya itu tengah menunggunya untuk sesuatu yang lain?Haruskah terjadi hari ini?"Kenapa, sih? Bukannya ini wajar? Mas Karan kan memang suamiku. Jadi kenapa?" gerutunya lirih. Ia mendelik kepada pancuran wastafel yang tidak berdosa. Berharap benda itu membalas kata-kata frustasinya tadi."Oke, baiklah. Ayo tarik napas dan bersikap seakan-akan ini udah sering terjadi. Jangan malu-maluin, Kiran!" Ia tepuk-tepuk dengan keras kedua pipinya sendiri seraya melangkah menuju lantai atas di mana kamarnya berada."Kamu nggak apa-apa, Ki? Kenapa lama banget?"Dan seketika disambut dengan pertanyaan demikian oleh sang suami yang telah me
**Karan terpana. Pria dua puluh tujuh tahun itu membatu selama sepersekian detik saat bibir Kiran menyentuh bibirnya."Kiran?""Oh, astaga! Ya ampun, maaf. Maaf, Mas, aku kebawa suasana." Kiran otomatis menarik diri menjauh dari suaminya. Tak terelakkan, wajahnya membara merah padam. Ia lemparkan seribu kutukan kepada dirinya sendiri. Bagaimana bisa sampai berbuat di luar kendali seperti itu? Ah, jangan salahkan, karena Karan begitu menawan terutama saat berada dalam jangkauan."Ka-kamu harus tidur sekarang, Mas. Aku ke bawah du–""Mau ke mana?""Laptopku ketinggalan. Aku ambil–""Nggak."Giliran Kiran yang mematung. Napasnya seperti tercekat saat sang suami menariknya kembali mendekat. Jantungnya bergelora sehingga ia menahan dada Karan dengan kedua tangan agar tidak terlalu menempel dengannya."M-Mas?""Kamu nggak boleh ke mana-mana. Tetap di sini sama aku.""Aku cuma mau ambil laptop buat meriksa kerjaan. Aku akan temenin kamu tidur sementara ngerjain beberapa projek."Karan mengg
**Kiran terdiam. Yang ia takutkan akhirnya terjadi. Bagaimanapun, ia memang harus menceritakan tentang Nevia suatu saat. Dan sekarang ternyata saat itu tiba."Kiran, apa pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman? Aku minta maaf kalau begitu." Karan berkata dengan serius. Wajahnya mendung kelabu. "Tapi aku bener-bener penasaran.""Kenapa? Mau membandingkan aku sama dia? Oh, udah pasti aku kalah jauh, Mas. Dia cantik seperti bidadari."Karan buru-buru menggeleng keras. "Bukan, bukan begitu. Aku cuma penasaran. Lagi pun, meski kamu bilang dia secantik bidadari, tapi buat aku, kamu yang paling cantik."Segera saja, kedua pipi Kiran kembali merona. Ia mengalihkan pandang dan tidak bisa menahan senyum. Karan menyebutnya cantik."Aku nggak bohong," sambung pria itu seraya mendekatkan posisinya ke arah Kiran. Ia pandangi wajah perempuan itu lekat. Ia mendekat untuk kembali mendaratkan ciuman mesra di atas bibirnya. "Kamu yang paling cantik. Dan lebih-lebih lagi malam ini. Maaf kalau mungkin aku t
**"Loh, Pak Karan nggak apa-apa?"Karan menghela napas berkali-kali. Berusaha menahan pening yang tiba-tiba menghampiri kepalanya. Tidak, ia harus mengendalikan diri dan tidak boleh menyusahkan istrinya di tempat ini."Pak, Karan, saya–""Maaf, saya harus ke toilet. Permisi." Ia berucap sembari bangkit dari kursinya. Meninggalkan si gadis yang kebingungan ke arah sudut ruangan di mana papan bertuliskan toilet berada. Ia di sana, membasuh muka dan menghela napas berkali-kali. Meredakan gemuruh misterius yang seperti memenuhi gendang telinga meski nyatanya ruangan itu sunyi senyap."Aku nggak apa-apa," bisiknya kepada diri sendiri. " Please, aku nggak apa-apa. Aku nggak boleh terus begini. Aku harus lawan.""Ah, Pak Karan!" Oh, sial sekali. Ternyata gadis itu masih ada di sana. Ia mencegat Karan yang kembali ke mejanya untuk mengambil buku yang tadi ia pinjam."Ini saya baru nelepon Kak Nevia. Katanya dia kok nggak tau kalo Pak Karan ada di sini?""Ah?""Tapi katanya dia juga mau langs
**"Bener, Ki? Aku cinta sama dia?"Kiran menelan saliva. Sungguh, ini terasa menyesakkan. Bukankah ia sudah bertekad untuk tidak mengatakan kebohongan kepada Karan? Tapi lihatlah itu, betapa pria rupawan itu sudah terlihat agak bimbang hanya dengan Kiran mengatakan bahwa Karan mencintai Nevia?Haruskah Kiran menjadi egois dan berdusta saja?Tapi aku adalah istrimu yang sah, Mas. Apakah aku salah jika aku berdusta? Aku hanya ingin mempertahankan kamu. Mempertahankan rumah tangga kita."Sebenarnya, Mas. Nevia memaksa mendekatimu meski kita sudah menikah. Laki-laki mana yang nggak tertarik sama gadis secantik dia, sementara seperti yang aku bilang, kamu nggak cinta sama aku. Nevia bisa menggunakan kesempatan itu buat ngambil alih keadaan. Dia ngerebut kamu dari aku."Tidak, tidak, tidak. Kiran memejamkan mata dengan rasa bersalah membakar habis dirinya dari dalam. Sebesar itu dusta yang ia sudah ucapkan. Namun sekali lagi, Kiran melakukannya sebab ia harus mempertahankan rumah tangga y
**Matahari sudah berpijar dengan terang di luar sana, namun Kiran enggan untuk beranjak. Ia terlalu nyaman, bergelung dalam pelukan lelaki yang telah bertahun-tahun memiliki hatinya. Hangat terasa, membuat Kiran bagai melayang di antara awan-awan kapas."Kenap nggak mau bangun, hm?"Kiran terkesiap. Ternyata suaminya tahu bahwa dirinya tadi sempat membuka mata sebentar."Aku nggak keberatan kamu pandangin kayak tadi. Justru seneng. Kenapa malah pura-pura pejamin mata?" Lelaki itu tersenyum menggoda, membuat wajah Kiran bersemu tanpa ampun. Ternyata Karan tahu bahwa ia sedang terkagum-kagum memperhatikan wajahnya."Kamu ganteng, Mas." Akhirnya, Kiran bertutur dengan jujur."Iya, aku tau.""Aku suka banget.""Kalau nggak ganteng, masihkah tetep suka?"Kiran mengangkat alis. Pertanyaan macam apa itu? Nah, meski demikian, ia kembali tersenyum. Ia tangkup kedua pipi tirus Karan dengan kedua tangan. "Kalau itu adalah kamu, mau gimanapun adanya, aku tetap akan suka.""Masih pagi, Ki.""Kena