Tanaya menatap ponselnya dengan marah, hatinya sedang tidak baik-baik saja semenjak dia mendengar kabar kalau Jaima sudah melahirkan seorang bayi laki-laki. Wanita itu sudah memenuhi keinginan Hasbi, ditambah lagi anak laki-laki. Sialan. Beberapa hari sebelumnya, Noah menghubunginya. Tanaya tidak pernah berpikir pria itu mau menuruti keinginannya. Dia sudah memikirkan proyek mana yang bisa membuat Noah mau membantunya untuk menyingkirkan Jaima, namun hal itu tidak sesuai dugaannya.“Aku ingin Jaima.”Tanaya mengerenyitkan dahinya mendengar ucapan itu keluar dari ujung telepon, Noah bicara dengan suara yang tenang.“Apa maksudmu?”“Yang aku inginkan adalah Jaima. Persetan dengan proyek yang kamu tawarkan, aku tidak butuh. Aku hanya ingin Jaima. Kalau kamu menginginkan Hasbi kembali, maka aku akan membawa Jaima bersamaku.”“Hei, sejak kapan kau mengenal wanita itu?” Tanaya bertanya penuh keheranan. Ini benar-benar diluar ekspektasinya.“Kau tidak perlu tahu, tapi yang pasti aku ingin w
Suasana rumah begitu sepi, memang begitulah biasanya. Tanpa mertuanya ada di rumah, tidak ada orang membentak Jaima tanpa sebab, tidak ada orang yang berteriak melengking memanggil namanya hanya untuk dimarahi. Tidak ada yang mengomelinya karena berlalu-lalang di dalam rumah dan berjalan di taman.Ibu mertuanya masih menikmati liburannya, Imas bilang dia akan kembali kemungkinan dalam dua bulan lagi. Sampai saat itu tiba, Jaima ingin menikmati masa dimana ia mengasuh Rama tanpa ada gangguan.Setiap malam, Jaima terbangun dua jam sekali untuk menyusui Rama dan biasanya ia kembali ke kamarnya sendiri. Setelah apa yang terjadi antara dia dan Hasbi, mereka tidur terpisah. Hasbi tidak lagi menginjakkan kaki ke kamarnya sejak saat itu. Percakapan mereka hanya berputar di sekitar Rama.“Bagaimana tidurnya Rama?”“Bagaimana harinya Rama?”Semuanya terkesan biasa saja.Ini sudah satu bulan semenjak Rama lahir, hari ini waktunya dia untuk kembali ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan serta vaksin. D
Tanpa sadar Hasbi melepaskan genggaman tangan itu untuk kedua kalinya, dia berlari memeluk tubuh kecil Tanaya. Dia bisa merasakan bagaimana tubuh ramping itu masuk dalam sekali dekapan, harum yang begitu familiar menguar di hidungnya.“Tanaya..” Bisiknya pelan, pikirannya mengabur sesaat.Perasaannya melihat Tanaya begitu campur aduk. Terhitung sudah satu bulan lebih wanita itu mendiamkannya, menjauhinya.“Hasbi..”Tubuhnya terperanjat tatkala dia mendengar suara Tanaya berada di telinganya, dia menangkup wajah tirus itu dan memandang wanita itu dalam-dalam.“Saya masuk duluan..” Dan suara Jaima yang berasal dari belakang punggungnya menyadarkan Hasbi, dia menoleh dan mendapati Jaima menunduk di dalam pelukan wanita itu si bayi tertidur pulas.Hasbi menatap punggung Jaima yang menjauh namun tubuhnya tidak mampu bergerak untuk mengejar wanita itu, tatapan Tanaya menghentikan akal sehatnya. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya yang campur aduk dan mengalihkannya pada Tanaya.“Kamu ak
Jaima masuk ke dalam rumah tanpa sekalipun berbalik ke belakang, Imas menyambutnya. Membawakan tas berisi keperluan Rama. Tanpa suara wanita itu hanya menaiki tangga demi tangga menuju lantai tiga.“Nyonya biar saya bantu..” Imas mencoba membuka topik pembicaraan, berusaha melepaskan gendongan Rama namun Jaima menolaknya.“Sudah sejak tadi dia disini?”Imas mengalihkan pandangannya, menatap nyonya mudanya yang kini menidurkan Rama dalam boks bayi. Anak itu tertidur setelah menangis karena vaksin.“Ya.. Nona Tanaya menunggu tuan muda pulang di taman.”Jaima tidak langsung menanggapi jawaban Imas, dia lebih memilih menatap Rama dalam diam. Imas meninggalkan nyonya mudanya, memberikan ruang se
Imas menatap nyonya mudanya, pemandangan yang beberapa hari terakhir selalu dia lihat di pagi hari. Wajah yang kusam, tubuh yang lesu, lengkungan mata mencekung dan menghitam. Belum lagi terkadang mata itu terlihat sembab.Nyonya muda pasti menangis, pikirnya.Hal itu terus berulang sejak pembicaraan nyonya mudanya dengan si tuan muda. Imas tidak mencuri dengar namun dia yakin percakapan itulah yang membuat si nyonya muda terlihat begitu kusut.“Nyonya..” Imas memanggil si nyonya muda yang tengah terkantuk-kantuk di kursi goyang dengan tangan yang memeluk si kecil Rama. Rambut panjangnya yang tergerai itu jatuh tepat diatas wajah si kecil, yang untungnya, tengah tertidur dengan pulas.“Ah, Imas, sudah data
Segala rentetan kecantikan yang berlangsung begitu lama dan memakan waktu sudah Jaima selesaikan. Beruntungnya, Rama adalah bayi paling baik sedunia. Dia tidak menangis dan rewel meskipun tidur di ruang tunggu salon, dia juga tidak menangis ketika Imas maupun orang lain menggantikan Jaima memberikan susu. Tangisannya tidak lama dari sepuluh menit, jika dia mendapatkan apa yang dia inginkan, tangisnya mereda.Semua pegawai memuji betapa Rama menjadi bayi paling berbudi yang pernah mereka temui.Jaima tersenyum mendengarnya, Rama seperti mengerti apa yang tengah ia hadapi dan memakluminya. Dokter melarang Rama ikut bepergian terlalu sering, jadi untuk seminggu ke depan Jaima tidak akan membawanya pergi ke acara-acara. Lagipula, Rama masih terlalu kecil.“Nyonya, sudah selesai?” Imas mendekati Jaima yang te
Jaima sudah berjalan mengelilingi ruang pesta yang begitu besar, Hasbi memperkenalkannya ke beberapa petinggi Mahatma Group. Banyak yang memuji betapa cantiknya dia meskipun baru saja melahirkan. Ucapan selamat dan pujian yang tidak henti menghujani Jaima membuatnya sedikit tidak nyaman.Pandangan mereka dengan ucapan baik yang keluar dari mulut terasa begitu berbeda dan tidak nyata. Mereka hanya tengah menarik simpati Hasbi.“Ini..” Hasbi menyerahkan segelas air pada Jaima yang kini sedang berdiri agak jauh dari hiruk pikuk pesta, kakinya terasa pegal. Meskipun hari ini dia tidak mengenakkan heels yang tinggi, tetap saja kakinya belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini.Jaima meneguk air mineral yang diberikan Hasbi padanya, pandangannya berkeliling pada setiap sudut ruang pesta. Orang-orang yang
Tangan Hasbi bergetar di pergelangan tangan Jaima, tangan besar itu tidak lagi mencengkramnya dengan kuat. Pria itu membawanya masuk ke dalam kamar, menelepon petugas hotel untuk membawakan antiseptik dan lain-lain.Jaima masih terdiam mengamati perilaku Hasbi. Pria itu mengecek kaki Jaima, kelingking wanita itu terlihat berdarah karena ketika salah satu heelsnya copot Hasbi terus menariknya keluar dari dalam ruang pesta.Pintu kamar terdengar diketuk, dengan segera pria itu membuka pintu. Salah satu petugas hotel memberikan dia kotak P3K dengan wajah khawatir, petugas itu menawarkan diri untuk membantu namun Hasbi menolak dengan segera.Dia kembali menghampiri Jaima yang masih menatapnya, mengikuti setiap gerak langkah pria itu.“Mungkin agak sedikit sakit..&rdquo
Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti
Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau
Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
“Tidak, dia bukan anakmu..”Tanaya menoleh bersamaan dengan Hasbi, Jaima menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia membuang muka dengan cepat sedangkan Imas meminta kedua orang itu keluar karena tangisan Rama yang begitu nyaring.Dada Jaima begitu kencang berdetak. Tangannya gemetar ketika dia memeluk Rama, menenangkan anak itu meskipun dirinya sendiri tidak merasa tenang.Kedua orang itu dengan jelas mendengarnya.Kalimat itu keluar begitu saja tanpa dia sadari ketika dia melihat Tanaya masuk ke dalam ruangan dan memanggil Rama, mengklaim bocah itu sebagai anaknya.“Nyonya..”“Mereka mendengarnya ‘kan? Mereka mendengar aku mengatakan hal itu?&r
Ini hari ketiga Rama ada di Rumah Sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik. Anak-anak memang cepat pulih, dia sudah berteriak-teriak lagi dan tertawa lagi, sudah mulai mau makan namun susu lebih utama.Jaima menundukkan kepalanya, tenggorokannya terasa tercekat, dia bisa mendengar Rama berceloteh riang diatas tempat tidur. Anak itu mengeluarkan suara dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, dia terdengar begitu senang.Namun dilain sisi, Jaima begitu tegang. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.“Apa yang dokter bilang?” Suara si ibu mertua terdengar dari samping tempat tidur Rama, membuat bulu kuduk Jaima meremang.Dia tidak pernah berpikir kalau Lisa Sarkara akan mengunjungi Rama. Sejauh ini, tidak pernah sekalipun dia berpikir kalau ibu mertuanya menyuka
Hasbi mengambil selimut yang ada di dalam lemari di ruangan kamar VVIP rawat inap yang mereka tempati. Dia membawa selimut itu untuk menutupi badan Jaima, wanita itu tertidur setelah menangis cukup lama. Hasbi duduk di samping Jaima, menatap wajahnya.Wajah itulah yang membuatnya penasaran ketika pertama kali melihat di hotel, wajah yang masih terlihat sama meskipun dia sudah menjadi miliknya. Matanya terlihat begitu sembab dan memerah. Jari jemari Hasbi menyusuri wajah itu tanpa menyentuhnya, dia takut Jaima terbangun.“Maafkan aku..” Bisiknya perlahan.Dia meminta maaf untuk banyak hal, termasuk karena sudah tidak pulang ke rumah dan tidak memperhatikan wanita itu sama sekali. Perasaan Hasbi berantakan, namun dia tidak bisa meninggalkan Tanaya dan dia merasa sangat bersalah pada Jaima. Dia tidak ingin