Rey terbangun saat aroma aneh menyeruak di indra penciumannya. Hidung dan keningnya berkerut. Perlahan wanita itu bangun seraya melihat sekeliling. Dia sudah berada di rumah. Tertidur di atas sofa. Entah sudah berapa lama dia pingsan.
Rey mencoba berdiri dan mencari sumber aroma yang semakin menyengat itu. Pandangannya jatuh ke arah dapur. Padahal kesadaran Rey masih belum terkumpul sepenuhnya namun dia harus melangkah dengan cepat ke sana."Yak! Apa yang kau lakukan?!" pekik Rey melihat keadaan dapurnya yang sudah berantakan.Dan pelakunya adalah seorang pria yang tengah tersenyum tanpa dosa ke arah Rey."Aku sedang membuatkan bubur untukmu. Apa ada yang salah?"Rey sontak saja langsung memijit pelipisnya seraya mendengus kasar. Jika ini kartun mungkin akan terlihat asap yang keluar dari kedua telinganya. Bagaimana tidak, dapurnya yang biasanya selalu rapih itu kini terlihat seperti habis terkena angin topan saking berantakannya.<Suasana dalam ruangan itu benar-benar canggung. Lebih tepatnya Julian yang merasa canggung pada Rey. Bagaimana tidak, dia sama sekali tidak ada niat apa-apa namun tanpa disangka-sangka Rey justru menunjukkan sisi agresifnya. Sungguh Julian sangat kaget. Dia tidak siap akan situasi seperti ini. Bahkan dia sampai mendorong tubuh Rey cukup kuat.Sementara Rey hanya terkekeh kecil. Ekspresi Julian tadi sungguh sangat menghibur. Tapi ada sesuatu yang menjanggal dan membuat Rey bingung. Kenapa setiap kali begitu dekat dengan Julian, jantung Rey akan berdebar kencang? Hal yang tidak pernah Rey rasakan saat bersama pria lain selama ini.Namun Rey segera menepis semua pemikiran tidak mendasar itu. Tugas yang berada di hadapannya saja sudah cukup membuatnya pusing."Bagaimana ini?" lirih Rey membaca file yang diberikan oleh dosennya tadi. Baru kali ini dia benar-benar kehabisan akal.Keduanya larut dalam pikiran dan kegiatan masing-masing. Julian kembali me
"Aku membutuhkan lebih dari sekedar terima kasih Rey.""Eh?" Ekspresi Rey yang semula bingung berubah datar. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya kemudian.Rey merasa bodoh. Seharusnya dia tahu segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang gratis dan sekarang sepertinya Julian mulai menunjukkan dirinya yang sebenarnya."Keluar denganku malam ini," jawab Julian menampilkan senyum manis.Sebelah alis Rey menukik tajam. "Kau mengajakku berkencan?" Hanya itu yang terbesik dalam benak Rey saat ini.Julian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jalan-jalan atau berkencan ... terserah kau saja ingin menganggapnya apa. Yang jelas aku ingin kau ikut bersamaku malam ini. Jadi bagaimana?" tanyanya menuntut jawaban.Rey merotasikan matanya malas. Dia sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Julian tadi namun melihat senyum di wajah tampannya, Rey seharusnya tidak menaruh curiga lagi. Julian pria yang baik. Ya, dan Rey harus mulai percaya.Hanya jalan-jalan saja 'kan?Rey menghela napas pelan lalu menar
Untuk pertama kalinya Rey tersenyum lebar setelah kematian orang tuanya. Dia menuruni tangga seraya bersenandung kecil. Langkahnya pun dibuat melompat-lompat pelan bak seorang anak kecil. Tentu saja dia berharap seseorang di sana akan menyambutnya seperti beberapa hari sebelumnya. Dengan balutan pakaian casual, sosok itu akan menyapa seraya tersenyum hingga menampilkan lesung pipinya yang sangat menawan. Membayangkan wajah pria itu saja sudah membuat hati Rey terasa berbunga-bunga.Namun saat sampai di ruang keluarga, ruangan itu sunyi. Tidak ada seorangpun di sana. Ekspresi Rey seketika berubah muram. Dia melirik ke arah jam. Sudah pukul 8 pagi."Ke mana Julian? Tumben dia belum datang," gumam Rey.Dia menggeleng kepalanya cepat. "Mungkin dia akan datang sebentar lagi." Setelahnya, Rey beranjak untuk minum lalu membersihkan dirinya. Hingga dia telah siap berangkat ke kampus, eksistensi Julian masih belum terlihat. Rey sedikit gusar. Ingin menghubungi Julian juga dia tidak punya nom
Happy reading....Rey melirik tajam Sinta yang kini duduk di sampingnya. Wanita itu terlihat acuh tak menampilkan wajah bersalah. Hal yang membuat Rey semakin geram. Belum lagi saat mendengar ucapan pria di hadapannya. Rahang Rey terasa akan jatuh dari tempatnya."Kau hanya perlu mengisi surat ini, Sinta. Setelah itu kau boleh keluar," kata pria paruh baya itu terdengar begitu ramah."Baik, Pak," jawab Sinta menoleh ke arah Rey sambil tersenyum miring. Atau tepatnya tengah mengejek Rey."Bagaimana dengan saya, Pak?" Rey juga ingin cepat pergi dari sana namun lelaki itu justru terlihat mengabaikannya. Bahkan hingga Sinta keluar dari ruangan itu dia tak kunjung juga menyuruh Rey melakukan apapun. "Pak, ini sudah tiga puluh menit sejak Sinta keluar. Bapak tidak melupakan saya, bukan?" Dosen lelaki yang tadinya sibuk sendiri saja kini menatapnya. "Saya tidak lupa, hanya saja saya sedang menunggu seseorang saat ini." Rey lantas menatap tidak percaya pada dosen tersebut. Apa-apaan ini?
Mobil Julian telah terparkir dengan sempurna di basemen hotel di mana acara pernikahan Anggun berlangsung."Ayo!" ujar Julian setelah membuka pintu untuk Rey. Diraihnya tangan wanita itu lalu melingkarkannya di lengan. Hal yang membuat Rey sedikit kaget seraya tersenyum malu-malu menatap Julian."Haruskah?" Namun ia tetap melempar pertanyaan bodoh."Kenapa? Kau tidak nyaman jika bergandengan tangan denganku?" tanya Julian.Rey langsung menggeleng. "Tidak. Hanya saja---" Wanita itu sampai kikuk sendiri."Ayolah, Rey. Kau tidak perlu malu." Julian mengeratkan tangan Rey di lengannya lalu membawa wanita itu untuk masuk menuju tempat pesta pernikahan.Sepanjang koridor sebelum sampai di aula Rey tak hentinya tersenyum. Matanya terus saja melirik ke arah tangannya yang berada di lengan Julian. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang kini mengitari mereka berdua. Hingga Rey tidak menyadari jika mereka sudah memasuki aula di mana pesta Anggun digelar.Rey melebarkan matanya. Sungguh sebuah pesta p
Rey harus menelan salivanya berkali-kali. Saat Julian mengatakan dia harus segera melukisnya, dia pikir Julian akan menemaninya melukis. Yah ... walau sekarang juga Julian menemaninya seperti yang dia katakan tapi bukan seperti ini maksud Rey."Kenapa? Apakah poseku tidak sama dengan yang kemarin?" Ya. Julian bersih keras ingin menjadi model seperti kemarin saat pertama kali Rey melukisnya. Bahkan pria itu dengan sengaja membawa cardigan yang ia pakai kemarin. Sungguh gila. Rey sampai kehabisan kata-kata dibuatnya."Tidak. Posemu sangat bagus," jawab Rey mengalihkan pandangannya ke arah kanvas seraya terus menggerutu dalam hati. Ayo, fokus, Rey! Jangan melihat ke arah sana!Kata-kata itu bagaikan matra yang terus dirapalkan Rey. Namun sekuat apapun Rey berusaha, kali ini otak dan hatinya tidak mau bekerja sama. Sungguh sialan pria tampan itu."Lalu kenapa kau diam saja. Aku mulai pegal di sini," kata Julian sedikit menggerakkan tubuhnya.Rey memutar bola matanya malas. "Itu salahmu
Rey tidak pernah sesemangat ini dalam menyelesaikan tugasnya. Dia tak hentinya tersenyum sembari menyapukan cat berwarna ke atas canvas lukisnya setelah sebelumnya mencampurkan beberapa cat menggunakan kuasnya dengan lembut. Fokus sekali.Hingga terdengar bunyi bel rumah, Rey langsung bangkit dari tempat duduknya. Berlari kecil seperti anak kecil yang mengetahui orangtuanya datang. Namun yang berbeda di sini sosok yang Rey sambut bukan orangtuanya tapi pria yang membuatnya jatuh hati. Walau wanita itu belum menyadarinya. Tepatnya memang dia adalah wanita yang kurang peka dengan hal yang seperti itu."Selamat pagi," sapa Julian."Ayo masuk!" ajaknya membuka pintu lebih lebar.Sembari mengobrol ringan, Julian dan Rey masuk ke dalam rumah. Pandangan Julian berfokus pada ruang tamu Rey yang sangat berantakan. Cat, tisu, dan beberapa kuas cat yang diletakkan begitu saja. Seperti arena peperangan walau ini dalam versi mininya. Tapi Julian tidak terlalu khawatir karena Rey sudah memasang ker
Happy reading.... Rey meremas sendiri tangannya sendiri. Waktu terasa berhenti di sana. Tidak ada suara. Saking sunyinya ruangan itu Rey sampai bisa mendengar deru napasnya dan juga sosok di depannya. Dosen yang dua minggu lalu menghukumnya, kini berdiri membelakanginya seraya menatap lukisan yang Rey buat. Kenapa dia lama sekali? Apakah lukisanku tidak bagus? Pertanyaan itu bergulir dalam kepala Rey. Karena sejak lima belas menit lalu sang dosen tak kunjung membuka suara. Rey menghela napas berat namun seketika tertahan saat pria itu berbalik menatapnya. Rey membeku. Wajah pria itu datar tidak menampilkan ekspresi yang berarti. Sepertinya aku gagal. "Kerja bagus, Rey." "Eh?" "Lukisan ini sangat bagus. Bahkan lebih dari yang saya bayangkan," kata pria itu kini menampilkan senyum tipis. Rey mengerjapkan matanya. Dia tidak salah dengarkan? Dosen yang biasanya selalu mengkritik karyanya selama ini, kini memujinya. "Benarkah, Pak?" Mata Rey berbinar senang. "Tentu saja. Kau tid
Sampai Rey meninggalkannya sendirian di sana Anita terus berpikir. Apakah sungguh sikapnya kekanak-kanakan karena cemburu pada Julian? Bagi Anita itu bukan cemburu, dia hanya sedikit posesif terhadap apa yang dimilikinya.Anita hanya punya Julian. Tidak ada yang lain lagi. Bukankah wajar Anita bersikap demikian? Namun dia juga tidak menampik apa yang dikatakan Rey benar.Anita menginginkan anak itu dan tidak seharusnya dia egois seperti ini. Sekarang sudah tidak ada penghalang lagi. Janin--calon anak Anggun--yang sempat menjadi rasa takut terbesar Anita kini telah tiada. Kini Anita bisa memimpin permainan jika Rey benar-benar bisa hamil secepatnya.Wanita itu tersenyum manis sebelum memutuskan untuk bangkit dari sana menuju kamarnya. Kali ini dia tidak akan membiarkan kesempatannya terbuang sia-sia.***Pukul delapan malam Julian tiba di rumah. Anita yang sejak tadi sudah menunggunya menyambut pria itu dengan senyuman hangat. Di sana juga ada Rey yang sedang menikmati cemilan seraya m
Selalu berada di pihak Anita. Hal itu sudah Julian janjikan sejak dulu. Lalu sekarang hanya karena seorang Reyna Anindira, Julian akan mengingkari janjinya?Tidak. Julian tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Anita benar. Rey hanya seorang wanita yang dia jadikan istri untuk melahirkan anak mereka. Tidak lebih dari itu. Julian tidak perlu memperlakukan wanita itu istimewa.Setelah itu Julian benar-benar berubah pada Rey. Jika setiap pagi sebelum berangkat ke kantor Julian akan menawari tumpangan maka mulai hari ini dia membiarkan Rey berangkat sendirian dengan berbagai alasan yang dia pikirkan dari semalam."Aku ada rapat pagi ini. Maaf tidak bisa mengantarmu."Atau...."Anita ingin berkunjung ke kantor jadi aku harus menunggunya dan mungkin itu bisa membuatmu terlambat."Dan masih banyak lagi alasan yang lain yang membuat Rey tak tahu harus berbuat apa. Dan hal itu terjadi berulang kali membuat Rey semakin kesal. Wanita itu tahu jika Julian sedang berusaha menghindarinya. Siapa lag
Julian tersenyum tipis mengingat kenangan pertama kali dia datang di keluarga Artemio. Ajakan Anita untuk bermain dengannya malam itu berakhir dia menjadi teman baik wanita itu. Tak hanya menjadi teman baik, bahkan Julian diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan bersama Anita. Tuan Artemio itu sangat baik. Sungguh. Karena sudi menolong anak seperti Julian. Sebenarnya Tuan Artemio pun punya alasan sendiri kenapa dia menolong Julian. Pertama, karena Julian memiliki bakat yang besar yang sayang jika tidak dikembangkan. Kedua, karena Tuan Artemio punya permintaan khusus yang hanya Julian yang bisa melakukannya.Saat itu Julian merasa sangat beruntung seperti dewa Portuna sedang bersamanya. Namun hal itu tak ingin Julian dapatkan dengan cuma-cuma. Pria kecil itu bersih beras ingin diberi pekerjaan oleh Tuan Artemio."Aku ingin kau menjaga Anita," kata Tuan Artemio membuat kedua alis Julian saling bertaut. Dan itulah alasan kedua Tuan Artemio menolong Julian."Menjaga Anita?" Julian
"Dia anak yang baik dan cerdas," ujar pria itu sambil menatap seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahun yang berjarak lumayan jauh darinya. Anak itu sedang bekerja seperti orang dewasa kebanyakan di pabrik itu. Pria itu kembali menatap lawan bicaranya. "Hanya saja kurang beruntung. Dia lahir dari sepasang pria dan wanita yang tak menginginkannya membuat ia tumbuh besar di panti asuhan.""Lalu kenapa dia bisa berakhir di sini?" tanya lawan bicara pria tadi merasa penasaran."Dia ingin mendapatkan uang dari hasil kerja kerasnya. Itulah yang anak itu katakan padaku saat pertama kali datang kemari."Pria dengan potongan rambut yang hampir gundul itu menghela napas berat sebelum melanjutkan kembali ucapannya. "Sebenarnya aku tidak ingin mempekerjakan dia di sini. Jika sampai ada orang yang tahu aku mempekerjakan anak di bawah umur, aku pasti akan dihukum namun aku juga kasihan pada anak itu."Masih teringat jelas olehnya saat anak laki-la
Rey terbangun saat hari sudah mulai sore. Efek obat yang dia minum sungguh luar biasa. Mampu membuatnya tertidur seharian. Rasa sakit pada kepala wanita itu juga sudah mulai mendingan. Wanita itu memperhatikan keadaan sekitar dengan mata yang masih sayu. Dia sendirian di sana, lalu kemana Julian? Bukankah pria itu mengatakan ingin menjaga Rey? Ada sedikit perasaan kecewa karena Rey tak melihat Julian saat pertama kali membuka matanya. Namun hal itu tidak berlangsung lama."Rey, kau mau ke mana?" tanya Julian yang baru saja datang dengan nampan di tangannya. Perasaan Rey membuncah gembira. Wanita itu menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur. Menunggu Julian duduk di depannya."Aku baru saja ingin mencarimu." Jawaban untuk pertanyaan Julian tadi.Pria itu tersenyum kecil lalu menyodorkan nampan yang dia bawa tadi pada Rey. "Makanlah! Kau pasti lapar."Rey menganggukkan kepala. Kemudian mulai menyantap bubur ayam yang dibawa Julian untu
Saat kembali ke rumah Rey memilih mengurung diri di dalam kamarnya. Lagi pula di rumah besar itu tidak ada siapa-siapa saat dia datang. Bisa dia tebak suaminya sedang bersenang-senang bersama istri pertamanya meninggalkan Rey sendirian dalam kekacauan."Sial!" Mengingat itu Rey merasa kesal dan marah sendiri.Wanita itu beranjak dari tempat tidur. Ingin membersihkan diri dan pikirannya. Rey merendam tubuhnya yang telanjang ke dalam bathtub yang berisi air hangat. Rasanya nyaman sekali. Ditambah aroma terapi yang menyeruak dari lilin yang dia bakar tadi. Segalanya sempurna. Kenyamanan yang membuat Rey sedikit melupakan kegundahan hatinya.Di tengah Rey menikmati kegiatan itu, samar terdengar pintu kamarnya diketuk. Rey tidak memperdulikan hal itu dan kembali larut menikmati sensasi air hangat yang menyelimuti tubuhnya. Hingga pintu kamar mandi yang memang Rey sengaja tidak menguncinya terbuka. Wanita itu terlonjak kaget menatap sosok yang juga tengah menata
Rasanya Rey ingin menghilang saat ini juga. Bagaimana tidak, sejak dia datang ke meja makan untuk sarapan pemandangan yang membuat hatinya panas sudah terpampang."Beberapa karyawan kita memberikan desain baru. Bagaimana menurutmu?" tanya Julian seraya menunjukkan ponselnya pada Anita."Menurutku ini bagus," jawab Anita menunjuk salah satu desain yang mencuri perhatiannya. Mungkin benar mereka sedang membicarakan hal tentang pekerjaan. Namun cara mereka berbicara serta tubuh yang begitu lengket satu sama lain membuat hal itu menjadi lain.Sesekali Anita melirik Rey. Tatapan mata wanita itu seakan menegaskan kata-katanya kemarin. Di mana Rey harus tahu batasannya.Mungkin mereka memiliki status yang sama sebagai istri Julian. Namun hak dan kewajiban mereka berbeda. Anita jauh lebih memiliki hak terhadap Julian sedangkan Rey hanya pada harta yang diberikan oleh pasangan itu saja."Aku sudah selesai," ujar Rey sudah mulai muak deng
"Kau sudah membeli apa yang kau inginkan?" tanya Anita datang menghampiri Rey. Wanita itu menjawab seraya mengangkat paper bag belanjaannya yang mungkin berjumlah sekitar enam paper bag.Mungkin Rey sedikit terganggu dengan kata-kata Anita tadi, namun hal itu tidak akan mempengaruhi kesenangannya dalam berbelanja. Dia butuh sedikit hiburan setelah dari pemakaman tadi. Rey bukan merasa sangat kehilangan Sinta melainkan dia teringat kembali pada kedua orangtuanya.Setelah puas berbelanja Anita mengajak Rey untuk makan terlebih dahulu. Bukan makan biasa, Anita sampai menyewa ruang VIP restoran itu."Wah! Kau sampai menyewa ruang VIP untuk kita?" tanya Rey dengan matanya yang berbinar."Aku tidak suka jika terlalu banyak orang," jawab Anita yang sedang sibuk memilih menu untuk mereka nikmati."Ya. Aku setuju untuk itu," kata Rey. Pramusaji menawarkan minuman pada mereka. Anita dan Rey kompak mengangguk. Gelas tinggi itu terisi penuh oleh minu
Mobil Julian berhenti tepat di depan kampus Rey. Hari ini wanita itu kembali ke kampus setelah beberapa hari izin dengan alasan urusan keluarga."Aku banyak pekerjaan hari ini, tidak apa-apakan jika kau pulang sendiri?" tanya Julian sebelum Rey keluar dari mobil."Tidak apa-apa," jawab Rey menampilkan senyuman manis membuat Julian tak kuasa menahan diri untuk tidak mencuri satu kecupan singkat di bibir Rey. Mata wanita itu membulat sempurna. "Semangat belajarnya," ujar Julian dalam jarak yang begitu dekat. Bahkan Rey bisa merasakan terpaan napas hangat Julian di kulit wajahnya."Tentu ... suamiku." Rey seakan tidak mau kalah. Dia ikut mencuri satu ciuman singkat di bibir Julian sebelum keluar dari mobil. Aksi yang membuat Julian tidak bisa menyembunyikan senyuman tipisnya. Tersipu."Dasar Reyna," gumamnya lalu menginjak pedal gas, meninggalkan kampus Rey.Rey berjalan dengan santai masuk ke dalam pekarangan kampus. Ingatan terak