Almira mencoba untuk merayu Yusuf. Akan tetapi, semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya."Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya? Jika itu benar, aku tidak ikhlas, Mas. Aku tidak mau memiliki madu!""Kenapa tidak ikhlas? Toh kamu bisa berada di sini saja sebagai madu, bukan? Seharusnya kamu bisa menerimanya, seperti Shafira menerimamu di rumah ini. Setidaknya nanti kamu bisa merasakan, bagaimana posisi menjadi Shafira. Bukankah itu bagus?""apanya yang bagus? Maaf, aku ti
Dengan berjalan sedikit angkuh, Yusuf masuk ke ruangannya. Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Senyum mengembang dari kedua sudut bibirnya, kala mengingat kemesraannya bersama Shafira semalam. Yusuf duduk di ujung meja, seraya menghadap ke luar jendela. Rasanya masih terasa, bagaimana Shafira memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Yusuf akui, semua kriteria wanita idamannya memang ada di diri Shafira. Bodohnya, ia malah menghadirkan wanita lain di dalam rumah tangganya yang justru menjadi racun untuk hubungannya dengan Shafira.Lelaki itu menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia seperti tengah merasakan jatuh cinta kembali pada Shafira. Tatapan dan senyum manis wanita itu mampu menghilangkan segala kegundahannya. Bersama Shafira, seakan-akan semua masalah sirna sudah. Hati yang kalut dan gelisah pun, seketika menjadi tenang.Yusuf tak mengerti, mengapa ia bisa memutuskan untuk menduakan wanita yang sangat dicintainya itu. Padahal selama ini, Shafira mampu memberikan apa yang ia but
Tak ada yang bisa Shafira lakukan, selain memendam semua gundah gulana dalam hati. Perkataan Ibu mertuanya bagai pisau yang menghujam langsung relung kalbunya. Luka karena irisan pisau tidak seberapa sakit dibandingkan luka yang tertancap di hatinya akibat ucapan sang ibu mertua.Wanita mana yang tidak ingin memiliki anak! Tentunya semua wanita mengharapkan kehadiran sang buah hati untuk pelengkap kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Begitu pun dengan Shafira yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati di dalam hidupnya.Berbagai cara sudah Shafira lakukan, dari mulai ikut promil, alternatif, dll. Semua yang dianjurkan dokter dan keluarga sudah ia coba. Namun, semua kembali pada Sang Kuasa. Jika Dia belum menghendaki, tak ada yang bisa Shafira lakukan selain berpasrah diri. Mungkin Allah belum memercayainya untuk cepat memiliki momongan. Shafira percaya, Allah yang tahu mana yang terbaik untuknya.Di dunia ini, tak yang akan kuat hidup satu atap bersama madunya. Apalagi deng
Wajah Shafira bersemu merah, kala Yusuf memujinya seperti itu. "Umi tidak melakukan perawatan apa pun, Bi. Kalaupun Umi mau melakukannya, pasti meminta izin terlebih dulu pada Abi."Yusuf berdeham. "Tak perlu meminta izin, Sayang. Jika memang itu positif dan baik untuk hubungan kita, lakukanlah!""Apakah Abi sedang meminta Umi untuk melakukan perawatan? Apakah karena kulit Umi tidak sekencang dulu atau karena wajah Umi tidak secantik dulu lagi?" tanya Shafira penuh selidik.Yusuf terkekeh. Lelaki itu langsung mendekap Shafira, lalu mengecup lama puncak kepala sang istri."Cantikmu natural tanpa harus pergi ke salon kecantikan, Sayang.""Bohong!" balas Shafira seraya membelakangi Yusuf.Yusuf mengacak rambutnya frustrasi. "Salah lagi! Kenapa pria selalu salah di mata setiap wanita?"Shafira beranjak dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi. Sejenak, ia berdiri mematung di depan cermin, memperhatikan setiap inci dari wajahnya.Wanita itu berdecak kesal, saat melihat sedikit lemak di bag
Shafira tak habis pikir, mengapa ibu mertuanya bisa begitu akrab dengan Almira? Sementara dengan dirinya yang sudah lama menjadi menantu, acuh tak acuh seperti tidak butuh.Dulu, ibu mertuanya tidak seperti itu. Sikap dan sifatnya berubah setelah tahu dirinya tak kunjung memiliki anak. Sejujurnya, ia pun sangat menginginkan untuk segera memiliki keturunan. Namun, apa daya, jika yang di atas belum memercayainya. Bukankah manusia itu hanya bisa berikhtiar, sisanya Allah lah yang menentukan.Tak ada yang bisa Shafira lakukan selain pasrah menjalani semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka, jika kehadiran madu dalam rumah tangganya akan menjadi bom yang akan menghancurkan pernikahannya dengan suami.Shafira mengembuskan napas kasar. Biasanya sang ibu mertua juga hanya sepekan sekali mengunjungi rumahnya, tetapi mengapa sekarang menjadi setiap hari? Apakah mereka sengaja ingin membuatnya tidak kuat bertahan di rumah itu, sehingga nantinya berharap ia pergi dari s
Keesokan harinya, sesuai dengan yang sudah disepakati bersama. Bimo dan Aldo meluncur menuju sebuah pedesaan terpencil. Mereka akan menuju desa tempat kelahiran Almira.Pagi itu cuaca sangat dingin, ditambah lagi jalan yang curam dan bercampur tanah. Membuat Bimo sangat berhati-hati dalam menyetir mobil."Yusuf memang tak memiliki hati, masa kita ditugaskan ke tempat seperti ini. Gue tidak ingin mati sia-sia di sini. Ingat dan catat, ya! Gue belum merit, jadi kalau mau mati, Lu mati sendiri aja. Kagak usah ngajak-ngajak. Gue ikhlas!" ucap Aldo seraya berpegang erat pada sandaran jok mobil."Siapa juga yang pengen mati di tempat seperti ini. Gue juga kagak mau. Pengen nyicipi dulu rasanya punya bini.""Apa Lu bilang nyicipi? Kayak makanan aja dicicipi!" timpal Aldo."Kalau kita tidak menuruti keinginan Yusuf, tentu gaji kita yang akan jadi korbannya. Bayangkan aja dari mana gue bayar kontrakan, biaya hidup satu bulan, setoran mobil, nabung buat nikah, belum lagi buat ngirimi emak di ka
Yusuf terkejut, kala mendapati Shafira tengah menangis di kamar. Lelaki itu mendekat, lalu menarik tubuh Shafira ke dalam dekapannya."Mengapa Umi menangis? Apakah ada sikap Abi yang menyakiti perasaan Umi?"Shafira menggeleng, lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang suaminya. Mengapa tidak dirinya saja yang hamil? Mengapa harus Almira yang memberikan suaminya keturunan? Apakah ia harus menyerah dan pergi dari kehidupan Yusuf? Pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk hebat dalam diri. Menghadirkan kesedihan yang begitu mendalam dan menyayat hati. Mengapa semua itu harus terjadi padanya? Mengapa Allah tak kunjung mempercayainya untuk memiliki momongan? Mandul ... apakah benar kalau dirinya mandul dan tidak akan pernah memiliki anak? Ingin rasanya Shafira berteriak sekeras mungkin untuk sedikit menghilangkan rasa sesak di dada. Betapa besar keinginannya untuk memiliki anak. Rindunya begitu menggebu-gebu untuk menyambut hadirnya sang buah hati di dalam rahimnya."Jawab, Umi.
"Apakah kalian sudah mendapatkan hasil dari penyelidikan yang kalian lakukan? Bagaimana kabar anak itu? Kapan aku bisa membawanya pulang ke rumah?" tanya Yusuf.Bimo dan Aldo beradu tatap. Baru saja mereka masuk ke ruangan, langsung disuguhi Yusuf dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Kenapa kalian tidak menjawab? Kalian tidak lupa kan, separo dari gaji kalian akan aku potong kalau sampai kalian gagal mendapatkan informasi tentang anak sambungku."Aldo berdeham. "Tenang saja, Bro. Tunggu informasi selanjutnya dari kami.""Kenapa tidak kalian jelaskan sekarang? Jangan-jangan kalian tidak melakukan apa yang kuperintahkan!""Semua sudah beres, kamu tenang saja. Tahu-tahu anak itu nanti ada di hadapanmu. Mana bayaran kami!" pinta Bimo."Etdah ... kalau udah masalah uang aja, kalian semangat. Ngutang dulu.""Tidak bisa! Uang akan turun, setelah tugas kalian selesai. Jangan ada yang membantah, kecuali kalau kalian ingin diberhentikan dari perusahaan ini.""Selalu saja ancaman itu yang kelu
Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita
Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela
Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu
"Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t
"Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka