"Apakah kalian sudah mendapatkan hasil dari penyelidikan yang kalian lakukan? Bagaimana kabar anak itu? Kapan aku bisa membawanya pulang ke rumah?" tanya Yusuf.Bimo dan Aldo beradu tatap. Baru saja mereka masuk ke ruangan, langsung disuguhi Yusuf dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Kenapa kalian tidak menjawab? Kalian tidak lupa kan, separo dari gaji kalian akan aku potong kalau sampai kalian gagal mendapatkan informasi tentang anak sambungku."Aldo berdeham. "Tenang saja, Bro. Tunggu informasi selanjutnya dari kami.""Kenapa tidak kalian jelaskan sekarang? Jangan-jangan kalian tidak melakukan apa yang kuperintahkan!""Semua sudah beres, kamu tenang saja. Tahu-tahu anak itu nanti ada di hadapanmu. Mana bayaran kami!" pinta Bimo."Etdah ... kalau udah masalah uang aja, kalian semangat. Ngutang dulu.""Tidak bisa! Uang akan turun, setelah tugas kalian selesai. Jangan ada yang membantah, kecuali kalau kalian ingin diberhentikan dari perusahaan ini.""Selalu saja ancaman itu yang kelu
Yusuf yang sudah siap memeluk Galang, langsung menurunkan tangannya, saat melihat Galang bersembunyi di belakang tubuh besar Bimo."Kemari. Nak. Jangan takut, ini Papa!" ucap Yusuf. Akan tetapi, bukannya berlari menghampiri, Galang malah berlari dan bersembunyi di belakang mobil."Kenapa?" tanya Yusuf pada kedua sahabatnya."Sudah kubilang, sulit untuk membujuk anak itu percaya pada orang yang baru dikenalnya. Aku dan Aldo saja butuh waktu kurang lebih tiga hari untuk akrab dengannya.""Oh, Almira! Sebagai ibu kandungnya dia pasti bisa membujuk putranya sendiri," ucap Yusuf. Tanpa menunggu tanggapan kedua sahabatnya, Yusuf langsung berlari menaiki tangga untuk memanggil Almira.Aldo menggeleng singkat. "Apalagi wanita itu ... dia gak akan mungkin mau membujuk putranya sendiri.""Bisa saja dia melakukannya! Biar mendapat nilai plus dari Yusuf," timpal Bimo."Apa yang kalian bicarakan? Sebenarnya anak siapa yang kalian bawa ke sini?" tanya Shafira.Bimo menggaruk tengkuknya yang tidak g
"Apa yang terjadi? Siapa yang membuat Galang menangis?" Suara bariton seseorang yang tak asing lagi di telinga mereka, terdengar dari ambang pintu. Almira panik, wanita itu langsung menggendong Galang."Cup ... jangan menangis lagi, ya, Sayang," ucap Almira seraya mengelus-elus rambut Galang. Almira langsung menghampiri Yusuf. Terlintas ide jahat di pikirannya untuk membuat hubungan Yusuf dan Shafita retak."Tidak apa-apa, Mas. Tadi Galang tidak sengaja menumpahkan jus di lantai, terus Mbak Shafira memarahinya. Sampai-sampai mendorong Galang ke lantai. Mungkin Mbak Shafira juga tidak sengaja, aku paham kok kalau dia lelah mengerjakan pekerjaan rumah."Shafira terkejut, saat mendengar Almira memutarbalikkan fakta di depan Yusuf. Jelas-jelas dia sendiri yang mengatai anaknya dengan kasar. "Umi ...."Yusuf menatap tajam ke arah Shafira. "Aku tidak percaya, kamu bisa melakukan hal sejahat itu pada anak sekecil Galang. Kupikir kamu bisa belajar menyayangi Galang, dan menganggapnya seperti
Pagi-pagi sekali, Yusuf sudah berada di kantor. Lelaki itu menyandarkan kepala di sofa seraya memijat-mijat keningnya yang terasa sedikit pening. Sehari saja tak bertegur sapa dengan Shafira, berhasil membuat hati dan pikirannya menjadi tak menentu. Lelaki itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia tak habis pikir, mengapa Shafira tega melakukan semua itu pada Galang. Padahal setahunya, Shafira itu wanita penyayang dan begitu merindukan suara anak-anak untuk meramaikan rumah."Mengapa secepat itu dia berubah? Aaa ...!" teriak Yusuf seraya menjambak rambutnya frustrasi.Tiba-tiba pintu ruangan dibuka seseorang dari luar. "Woy ... masih pagi udah teriak-teriak kayak orang stres aja! Lagi kesambet, ya?"Yusuf berdecak kesal. "Kebiasaan! Masuk tanpa mengetuk pintu. Kembali keluar dan ketuk pintu terlebih dulu!" Lelaki bertubuh atletis itu tak mengindahkan ucapan Yusuf. Ia duduk di sofa, lalu menyandarkan kepalanya di sana. "Aku malas menuruti perintahmu! Aku udah duduk nyaman di sini.
Almira terkekeh. Wanita itu berjalan angkuh seraya memutari tubuh Shafira. "Kamu pikir, aku akan takut dengan ancamanmu, hah? Jelas-jelas aku lebih pintar segalanya darimu."Shafira tersenyum singkat. "Kasihan Mas Yusuf, ya. Setahunya kamu itu wanita salihah, makanya Mas Yusuf mau menikahimu. Sayangnya yang Mas Yusuf lihat hanya sebagian dari topengmu saja. Jangan lupa satu hal, Almira! Sepandai apa pun kamu bersandiwara untuk mendapatkan simpati Mas Yusuf, lama-lama akan terbongkar juga. Allah selalu punya banyak cara untuk menunjukkan mana yang salah dan benar, juga mana yang palsu dan tulus."Almira menarik kasar jilbab Shafira. Wanita itu mulai menunjukkan sifat bengisnya pada Shafira. "Kamu yang sudah memancingku untuk berbuat seperti ini. Jadi, jangan pernah macam-macam denganku, kalau ingin hidupmu selamat.""Kenapa kamu jahat dan liar seperti ini, Almira? Apakah masa lalu yang telah membuatmu seperti ini? Istigfar, Almira. Apakah kamu tidak kasihan melihat putramu yang setiap
"Shafira ... sini!"Shafira segera menghentikan pekerjaannya di dapur. Lalu, dengan setengah berlari menghampiri ibu mertuanya. "Ada apa, Bunda?""Shafira! Mengapa kamu membiarkan menantu kesayanganku mengerjakan pekerjaan rumah, hah?" "Aku tidak pernah menyuruh dia mengerjakan pekerjaan rumah, Bunda. Karena setiap hari pun, aku mampu menyelesaikannya sendiri. Mungkin itu kemauan bayinya sendiri, bukankah begitu Almira? Lagipula kalau hanya menyapu lantai tidak akan membuat Almira kelelahan kok. Justru itu bagus untuk si jabang bayi, biar sehat dan nanti lungsur langsar ketika melahirkan."Kata siapa? Kamu kan belum pernah hamil!" ucap ibu mertua Shafira dengan jutek."Ibu benar! Aku memang belum pernah hamil dan melahirkan, tetapi aku sering mendengar nasihat-nasihat itu dari para tetangga dan sanak saudara.""Dasar, pembohong ulung! Bilang saja kalau kamu itu iri, aku dimanja dan disayang oleh Bunda."Shafira terkekeh. Ia akui, Almira memang pintar berbicara dan mencari muka di d
Dengan setia Shafira mendengarkan cerita sang suami. Matanya berkaca, kala mengetahui kegalauan yang tengah melanda hati dan pikiran Yusuf. Meski hanya seorang ayah sambung, tetapi wanita itu tahu, kalau kasih sayang lelaki itu tulus untuk Galang."Apa yang harus kulakukan? Aku sudah telanjur menyayangi anak itu seperti putraku sendiri!" ucap Yusuf. "Bicarakan baik-baik dengan bunda, Bi!"Yusuf menggeleng. "Aku tahu siapa bunda. Dia keras kepala dan sulit untuk membujuknya. Bunda terlalu jauh ikut campur dalam kehidupan rumah tanggaku."Dalam hati, Shafira membenarkan kalau ibu dari suaminya itu terlalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Susah memang, menjalani rumah tangga yang di dalamnya ada campur tangan orang tua atau mertua.Shafira mengembuskan napas perlahan. Ia tak dapat mungkiri, kalau hatinya pun telah menyayangi Galang bak putranya sendiri. Perangainya yang pendiam dan baik, telah membuat Shafira jatuh hati padanya.Galang yang malang, sedari kecil tampaknya dia tida
Yusuf mengusap gusar wajahnya. Pilihan yang cukup sulit, tidak mungkin ia memilih salah satu dari mereka. Shafira dan Galang sama-sama sangat berharga di hidupnya.Lelaki itu duduk lemas di sofa seraya memijat pelan keningnya yang terasa pening. Andai yang di depannya itu bukan seorang wanita yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkannya, mungkin ia tak segan-segan memarahi dan berkata kasar padanya."Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti Shafira, Yusuf? Almira tak kalah cantik dan baik, apalagi sekarang dia tengah mengandung anakmu. Jangan sia-siakan hidupmu untuk wanita yang tidak bisa memberikan keturunan."Mendengar itu amarahnya semakin tak tertahan. Hati dan pikirannya mulai memanas. Jiwanya seakan-akan tergoncang hebat. Ia tidak terima dengan ucapan terakhir sang bunda. Tak ada yang sia-sia dengan kebersamaannya bersama Shafira. Justru, ia merasakan kenyamanan dan ketenangan saat sedang bersamanya.Shafira, wanita yang selalu mengerti dan memahami di setiap kead