Keesokan harinya, sesuai dengan yang sudah disepakati bersama. Bimo dan Aldo meluncur menuju sebuah pedesaan terpencil. Mereka akan menuju desa tempat kelahiran Almira.Pagi itu cuaca sangat dingin, ditambah lagi jalan yang curam dan bercampur tanah. Membuat Bimo sangat berhati-hati dalam menyetir mobil."Yusuf memang tak memiliki hati, masa kita ditugaskan ke tempat seperti ini. Gue tidak ingin mati sia-sia di sini. Ingat dan catat, ya! Gue belum merit, jadi kalau mau mati, Lu mati sendiri aja. Kagak usah ngajak-ngajak. Gue ikhlas!" ucap Aldo seraya berpegang erat pada sandaran jok mobil."Siapa juga yang pengen mati di tempat seperti ini. Gue juga kagak mau. Pengen nyicipi dulu rasanya punya bini.""Apa Lu bilang nyicipi? Kayak makanan aja dicicipi!" timpal Aldo."Kalau kita tidak menuruti keinginan Yusuf, tentu gaji kita yang akan jadi korbannya. Bayangkan aja dari mana gue bayar kontrakan, biaya hidup satu bulan, setoran mobil, nabung buat nikah, belum lagi buat ngirimi emak di ka
Yusuf terkejut, kala mendapati Shafira tengah menangis di kamar. Lelaki itu mendekat, lalu menarik tubuh Shafira ke dalam dekapannya."Mengapa Umi menangis? Apakah ada sikap Abi yang menyakiti perasaan Umi?"Shafira menggeleng, lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang suaminya. Mengapa tidak dirinya saja yang hamil? Mengapa harus Almira yang memberikan suaminya keturunan? Apakah ia harus menyerah dan pergi dari kehidupan Yusuf? Pertanyaan demi pertanyaan terus berkecamuk hebat dalam diri. Menghadirkan kesedihan yang begitu mendalam dan menyayat hati. Mengapa semua itu harus terjadi padanya? Mengapa Allah tak kunjung mempercayainya untuk memiliki momongan? Mandul ... apakah benar kalau dirinya mandul dan tidak akan pernah memiliki anak? Ingin rasanya Shafira berteriak sekeras mungkin untuk sedikit menghilangkan rasa sesak di dada. Betapa besar keinginannya untuk memiliki anak. Rindunya begitu menggebu-gebu untuk menyambut hadirnya sang buah hati di dalam rahimnya."Jawab, Umi.
"Apakah kalian sudah mendapatkan hasil dari penyelidikan yang kalian lakukan? Bagaimana kabar anak itu? Kapan aku bisa membawanya pulang ke rumah?" tanya Yusuf.Bimo dan Aldo beradu tatap. Baru saja mereka masuk ke ruangan, langsung disuguhi Yusuf dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Kenapa kalian tidak menjawab? Kalian tidak lupa kan, separo dari gaji kalian akan aku potong kalau sampai kalian gagal mendapatkan informasi tentang anak sambungku."Aldo berdeham. "Tenang saja, Bro. Tunggu informasi selanjutnya dari kami.""Kenapa tidak kalian jelaskan sekarang? Jangan-jangan kalian tidak melakukan apa yang kuperintahkan!""Semua sudah beres, kamu tenang saja. Tahu-tahu anak itu nanti ada di hadapanmu. Mana bayaran kami!" pinta Bimo."Etdah ... kalau udah masalah uang aja, kalian semangat. Ngutang dulu.""Tidak bisa! Uang akan turun, setelah tugas kalian selesai. Jangan ada yang membantah, kecuali kalau kalian ingin diberhentikan dari perusahaan ini.""Selalu saja ancaman itu yang kelu
Yusuf yang sudah siap memeluk Galang, langsung menurunkan tangannya, saat melihat Galang bersembunyi di belakang tubuh besar Bimo."Kemari. Nak. Jangan takut, ini Papa!" ucap Yusuf. Akan tetapi, bukannya berlari menghampiri, Galang malah berlari dan bersembunyi di belakang mobil."Kenapa?" tanya Yusuf pada kedua sahabatnya."Sudah kubilang, sulit untuk membujuk anak itu percaya pada orang yang baru dikenalnya. Aku dan Aldo saja butuh waktu kurang lebih tiga hari untuk akrab dengannya.""Oh, Almira! Sebagai ibu kandungnya dia pasti bisa membujuk putranya sendiri," ucap Yusuf. Tanpa menunggu tanggapan kedua sahabatnya, Yusuf langsung berlari menaiki tangga untuk memanggil Almira.Aldo menggeleng singkat. "Apalagi wanita itu ... dia gak akan mungkin mau membujuk putranya sendiri.""Bisa saja dia melakukannya! Biar mendapat nilai plus dari Yusuf," timpal Bimo."Apa yang kalian bicarakan? Sebenarnya anak siapa yang kalian bawa ke sini?" tanya Shafira.Bimo menggaruk tengkuknya yang tidak g
"Apa yang terjadi? Siapa yang membuat Galang menangis?" Suara bariton seseorang yang tak asing lagi di telinga mereka, terdengar dari ambang pintu. Almira panik, wanita itu langsung menggendong Galang."Cup ... jangan menangis lagi, ya, Sayang," ucap Almira seraya mengelus-elus rambut Galang. Almira langsung menghampiri Yusuf. Terlintas ide jahat di pikirannya untuk membuat hubungan Yusuf dan Shafita retak."Tidak apa-apa, Mas. Tadi Galang tidak sengaja menumpahkan jus di lantai, terus Mbak Shafira memarahinya. Sampai-sampai mendorong Galang ke lantai. Mungkin Mbak Shafira juga tidak sengaja, aku paham kok kalau dia lelah mengerjakan pekerjaan rumah."Shafira terkejut, saat mendengar Almira memutarbalikkan fakta di depan Yusuf. Jelas-jelas dia sendiri yang mengatai anaknya dengan kasar. "Umi ...."Yusuf menatap tajam ke arah Shafira. "Aku tidak percaya, kamu bisa melakukan hal sejahat itu pada anak sekecil Galang. Kupikir kamu bisa belajar menyayangi Galang, dan menganggapnya seperti
Pagi-pagi sekali, Yusuf sudah berada di kantor. Lelaki itu menyandarkan kepala di sofa seraya memijat-mijat keningnya yang terasa sedikit pening. Sehari saja tak bertegur sapa dengan Shafira, berhasil membuat hati dan pikirannya menjadi tak menentu. Lelaki itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia tak habis pikir, mengapa Shafira tega melakukan semua itu pada Galang. Padahal setahunya, Shafira itu wanita penyayang dan begitu merindukan suara anak-anak untuk meramaikan rumah."Mengapa secepat itu dia berubah? Aaa ...!" teriak Yusuf seraya menjambak rambutnya frustrasi.Tiba-tiba pintu ruangan dibuka seseorang dari luar. "Woy ... masih pagi udah teriak-teriak kayak orang stres aja! Lagi kesambet, ya?"Yusuf berdecak kesal. "Kebiasaan! Masuk tanpa mengetuk pintu. Kembali keluar dan ketuk pintu terlebih dulu!" Lelaki bertubuh atletis itu tak mengindahkan ucapan Yusuf. Ia duduk di sofa, lalu menyandarkan kepalanya di sana. "Aku malas menuruti perintahmu! Aku udah duduk nyaman di sini.
Almira terkekeh. Wanita itu berjalan angkuh seraya memutari tubuh Shafira. "Kamu pikir, aku akan takut dengan ancamanmu, hah? Jelas-jelas aku lebih pintar segalanya darimu."Shafira tersenyum singkat. "Kasihan Mas Yusuf, ya. Setahunya kamu itu wanita salihah, makanya Mas Yusuf mau menikahimu. Sayangnya yang Mas Yusuf lihat hanya sebagian dari topengmu saja. Jangan lupa satu hal, Almira! Sepandai apa pun kamu bersandiwara untuk mendapatkan simpati Mas Yusuf, lama-lama akan terbongkar juga. Allah selalu punya banyak cara untuk menunjukkan mana yang salah dan benar, juga mana yang palsu dan tulus."Almira menarik kasar jilbab Shafira. Wanita itu mulai menunjukkan sifat bengisnya pada Shafira. "Kamu yang sudah memancingku untuk berbuat seperti ini. Jadi, jangan pernah macam-macam denganku, kalau ingin hidupmu selamat.""Kenapa kamu jahat dan liar seperti ini, Almira? Apakah masa lalu yang telah membuatmu seperti ini? Istigfar, Almira. Apakah kamu tidak kasihan melihat putramu yang setiap
"Shafira ... sini!"Shafira segera menghentikan pekerjaannya di dapur. Lalu, dengan setengah berlari menghampiri ibu mertuanya. "Ada apa, Bunda?""Shafira! Mengapa kamu membiarkan menantu kesayanganku mengerjakan pekerjaan rumah, hah?" "Aku tidak pernah menyuruh dia mengerjakan pekerjaan rumah, Bunda. Karena setiap hari pun, aku mampu menyelesaikannya sendiri. Mungkin itu kemauan bayinya sendiri, bukankah begitu Almira? Lagipula kalau hanya menyapu lantai tidak akan membuat Almira kelelahan kok. Justru itu bagus untuk si jabang bayi, biar sehat dan nanti lungsur langsar ketika melahirkan."Kata siapa? Kamu kan belum pernah hamil!" ucap ibu mertua Shafira dengan jutek."Ibu benar! Aku memang belum pernah hamil dan melahirkan, tetapi aku sering mendengar nasihat-nasihat itu dari para tetangga dan sanak saudara.""Dasar, pembohong ulung! Bilang saja kalau kamu itu iri, aku dimanja dan disayang oleh Bunda."Shafira terkekeh. Ia akui, Almira memang pintar berbicara dan mencari muka di d