Ruka kecil hidup dalam naungan kasih sayang yang luar biasa dari Mentari.
Tentu saja. Ruka itu anak kandungnya sendiri. Tidak mungkin Mentari tidak mengasihinya.Bukan. Maksudku bukan seperti itu. Ruka memang anak kandung Mentari. Tapi hal seperti itu tidak menjamin apa-apa. Nyatanya di dunia ini ada begitu banyak ibu yang tidak mengasihi buah hatinya sendiri.Tapi Mentari beda. Ia tidak seperti beberapa orang tua gila yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Namun ia juga tidak seperti kebanyakan orang tua normal yang mengasihi anaknya sebagaimana mestinya. Ngg, bagaimana cara menjelaskannya .... Mungkin bisa dikatakan seperti ini: Jika orang tua normal mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, maka Mentari mengasihi Ruka dengan sepenuh hati, jantung, paru-paru, otak, seluruh tubuh, hingga seluruh keberadaan dirinya.Mentari mengasihi Ruka secara berlebihan. Itu bukan kasih yang normal. Itu buruk. Sebagai contoh, Mentari tak pernah memarahi Ruka. Atau memukulnya. Atau menghukumnya. Tidak, tidak pernah. Ia terlalu takut untuk itu. Mentari takut Ruka menderita. Rasa takut yang sungguh tidak normal, bahkan dalam lingkup fobia sekalipun.Hebatnya, sepertinya Ruka sendiri memang tidak pernah menderita. Ia seperti mengamalkan penuh sumpah yang diukir ibunya dalam dirinya. Faktanya, Ruka tidak pernah menangis. Sejak lahir ia tak pernah menangis. Bahkan saat lahir pun ia tidak menangis. Ia seperti ditakdirkan oleh alam untuk hidup bahagia.Orang yang ditakdirkan untuk hidup bahagia, orang yang tidak pernah menderita, pada akhirnya mendapati seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan.Aneh memang.Itulah Scylaac.***Selain kasih sayang, hal lain yang diberikan Mentari kepada Ruka secara berlebihan adalah perlindungan. Sebenarnya pada dasarnya itu juga adalah bagian dari kasih sayang. Namun karena porsinya begitu besar dalam hidup Ruka, maka hal itu pantas untuk mendapat perhatian khusus. Perlindungan.Ruka kecil menjalani hidupnya dalam perlindungan yang berlebihan dari Mentari. Semua berangkat dari fobia Mentari terhadap penderitaan Ruka. Kondisi kejiwaan Mentari yang sudah seperti itu semakin diperparah dengan fobia baru: takut kepada manusia.Mungkin hal itu belum dapat disebut sebagai fobia. Trauma, lebih tepatnya. Mentari trauma berhubungan dengan orang lain. Bukan hanya takut kepada kemungkinan bahwa orang lain akan mencelakakannya; rasa takut yang wajar karena memang ada sekelompok orang yang ingin membunuhnya. Mentari juga takut kepada orang biasa; orang yang tidak berbahaya. Dalam hal ini, ia takut dikhianati.Akumulasi pengalaman pahit di masa lalu menggiring Mentari menjadi sosok yang seperti itu. Semua itu membuatnya menjadi pribadi yang sangat tertutup. Mentari tak mau berhubungan dengan siapa pun. Ia bahkan memilih untuk hidup berpindah-pindah. Selain supaya dapat selalu melarikan diri dari orang-orang yang ingin membunuhnya, dengan hidup nomaden ia juga dapat menghindari relasi mendalam dengan orang lain. Mentari sudah terlalu banyak menderita oleh karena rasa percaya yang terlalu besar kepada orang yang dicintainya. Ia tak ingin lagi mengalami hal yang sama.Saat itu - ya, saat itu - Ruka menjadi "korban" Mentari. Ia hidup terkekang. Tak punya sahabat, tak punya teman, tak punya kenalan. Ruka terjebak dalam rutinitas kaku tanpa makna selama bertahun-tahun. Semua yang ia lakukan, tidak satu pun yang ia pahami. Dalam kehidupan yang datar seperti itu, yang ia ketahui hanyalah cara untuk terus melanjutkannya, sambil tetap mencoba bertahan di dalamnya.Namun tetap saja. Sebetapa pun Mentari membelenggu Ruka dalam "kasih" dan "perlindungan", permasalahan hidup tetap tak akan pernah bisa ditolak. Ruka tetap tak bisa terhindar dari kerasnya dunia. Tampaknya itu sudah menjadi hakikat kehidupan. Dan Mentari tidak akan pernah bisa menolaknya.Dunia bukanlah surga. Permasalahan akan selalu ada di dunia. Apalagi dunia Ruka. Yang seperti itu sama sekali jauh dari surga. Pinggiran kota besar, miskin, terkucilkan. Di dunia yang seperti itu yang berlaku adalah hukum alam. Dan jangan lupa bahwa Ruka adalah seorang anak "aneh". Raksasa. King Kong, kata mereka. Sudah menjadi kodratnya, di mana pun itu, untuk seorang anak "aneh" mendapat perlakuan khusus dari sekitarnya.Ruka akrab dengan bully. Status aneh, miskin, dan tidak punya teman membuatnya menjadi sasaran bully. Melanjutkan hidup pun menjadi sebuah perjuangan bagi Ruka. Jika ia tidak berjuang, atau hanya berjuang setengah-setengah, ia akan kehilangan nyawanya. Ya, nyawa.Sepertinya aku salah ketik. Untuk yang seperti itu, bully bukanlah kata yang tepat.Yah, sudahlah.Ruka dibenci sesamanya. Ia tidak pernah mau berbaur dengan siapa pun. Orang-orang di sekitarnya jadi sangat membencinya karena hal itu. Meski begitu, Ruka tak pernah mengeluh. Ia tak pernah meratapi nasibnya. Ia bahkan selalu tertawa. Tak peduli seberat apa pun pergumulan hidup yang dijalaninya, ia selalu tertawa. Dan ia akan selalu menang atas semua masalah yang dihadapinya.Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Ruka tak pernah menderita.Ruka memang selalu menang terhadap orang-orang yang menganiayanya. Namun bukan berarti ia selalu selamat dalam kondisi baik-baik saja. Walau bagaimana pun juga, perjuangannya adalah untuk mempertahankan nyawa. Orang-orang di sekitarnya datang bukan untuk mem-bully-nya. Mereka datang untuk menyiksanya. Jika kebablasan, Ruka bisa mati. Ini memang tentang nyawa. Ruka pernah hampir mati. Ia dikeroyok orang dalam jumlah besar. Dua puluh orang, kurang lebih. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka ingin menghabisi Ruka. Saat itu Ruka berusia 13 tahun. “RUKAAA …,” jerit Mentari seraya berlari menghampiri puteranya. "Kamu baik-baik saja kan, Nak? Ruka baik-baik saja, kan?" "Ruka baik-baik saja, Bu. Dia selamat." "Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" "Saya juga kurang tahu, Bu. Saya cuma kebetulan lewat waktu Ruka dikeroyok orang." "Dikeroyok? Ruka? Ruka dikeroyok orang?" "Iya. Dia dikeroyok preman-preman di gereja. Ruka
Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.Saat itu ia tidak tertawa.Ia tersenyum.***Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam.
"Ternyata benar. Aku sudah menduga akan seperti itu jadinya," sela Lovelyn."Hei, aku belum selesai bercerita," keluh Vith."Tak usah kau lanjutkan. Aku sudah paham. Pantas saja kau menyebutnya lebih buruk daripada Iblis. Ternyata memang benar begitu adanya."Vith menghela napas singkat. Ia memandangi Lovelyn dengan saksama. Setelah beberapa detik, ia pun berkata, "Begitu adanya?""Ya. Begitu adanya," jawab Lovelyn. "Tak ada yang lebih buruk dari orang yang memperlakukan ibu kandungnya sendiri seperti itu.""Seperti itu?""Ya. Seperti itu. Aku sudah bisa menebaknya. Ruka pasti membunuh ibunya. Iya, kan?""Ya, Ruka membunuh Mentari. Lalu?"Lovelyn terdiam sejenak."Ya ... lalu dia menjadi Iblis. Ah, maksudku, menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada Iblis. Setelah itu dia menjadi pembunuh yang berkeliaran membantai banyak nyawa. Dan sekarang dia sampai di Scylaac. Iya, kan?""Aku tidak bertanya sampai sejauh i
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Salam kenal, ya.""Lalu, apa yang kau inginkan dariku?""Eh?""Aku tanya, apa yang kau inginkan dariku?" Lovelyn mendesak lelaki itu."Eh? Umm ... maaf, aku tidak mengerti." Lelaki itu kebingungan.Lovelyn berdiri dari tempat duduknya. "Kau datang kepadaku. Kau mengajakku bicara. Kau, yang tadi ada di sana, sekarang ada di sini dan mengajakku bicara. Kau masih berani mengatakan bahwa kau tidak punya maksud apa pun?" Lovelyn semakin mendesak lelaki itu."Umm ... aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata lelaki itu. "Aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya ingin berkenalan denganmu.""Berkenalan? Denganku?""Ya. Berkenalan. Denganmu.""Hanya untuk itu kau menyita waktuku?""Eeh ... uum ...." Lelaki itu semakin kebingungan."Pergilah kau, dasar sampah." Lovelyn mengakhiri.Dulu dia tidak seperti itu.Dulu dia tidak seperti itu. Dulu dia anak
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Seindah pemiliknya.""Baiklah, Lovelyn. Mulai sekarang, kamu anak ka ....""Lovelyn! Ah, ternyata kamu ada di sini," seru ayah Lovelyn, membuyarkan kenangan di kepala Lovelyn."Lovelyn! Mengapa kamu lari dari Mama dan Papa seperti itu?" sambung ibu Lovelyn."Semua berkumpul, semua tersenyum, semua bahagia. Aku penasaran, apakah foto ini benar-benar jujur?" kata Lovelyn."Foto? Apa maksudmu? Foto apa itu?"Orang tua Lovelyn berjalan menghampiri puteri mereka yang sedang duduk di meja riasnya."Lovelyn ... itu ....""Foto terakhirku bersama teman-temanku di panti asuhan sebelum kalian mengambilku.""Oh, Lovelyn ... Mama mohon kepadamu. Mama mohon dengan sangat kepadamu. Jangan pernah memikirkan itu." Ibu Lovelyn mulai meneteskan air mata."Lovelyn. Jika Papa dan Mama telah menyakiti hatimu, Papa dan Mama minta maaf. Papa dan Mama akan berubah. Papa dan Mama akan menjad
"Sa-saya ... Lo-Lovelyn. Sa-salam kenal, Pak ... Pak Ruka," sapa Lovelyn dengan bibir bergetar. Ruka mengerutkan dahinya. "Siapa lu? Anggota girlband? Ngapain lu di sini?" "Sa-saya penghuni baru di sini. Na-nama saya Lovelyn." "Lovely?" "Lo-Lovelyn," kata Lovelyn mengoreksi. "Lovelyn? Apaan, tuh? Merk lolipop? Pergi sana! Ini Scylaac, bukan Disney Land!" sembur Ruka. Lovelyn tak menanggapi. Ia gemetar hebat. Tak berkutik. Ia tak punya nyali di hadapan sosok raksasa yang mengerikan itu. "Kok bisa-bisanya kutu kupret begini jadi penghuni? Apa yang terjadi dengan Scylaac selama aku pergi?" "Dia bukan penghuni. Dia baru saja datang hari ini dan ingin menjadi penghuni," kata Vith menjawab. Ia lalu melirik ke arah Lovelyn. "Dia tidak pantas berada di sini." "A-aku pantas berada di sini!" sambar Lovelyn. Vith dan Ruka menatap Lovelyn. "Aku muak dengan dunia di luar sana. Dunia yang penuh dengan kepa
Dan inilah Scylaac. Scylaac adalah sebuah gagasan kehidupan. Sebuah idealisme yang melawan kenyataan yang diakui dunia. Ia bukan bagian dari kehidupan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Scylaac adalah dunia yang sesungguhnya. Bagiku, Scylaac adalah dunia yang lain. Scylaac adalah lawan kata dari dunia. Segala aturan, norma, kebiasaan, atau apa pun itu, yang berlaku di dunia nyata, tidak berlaku di Scylaac. Scylaac adalah penolakan atas semua itu. Para penghuni menolak gagasan bahwa Scylaac adalah penolakan. Bagi mereka, Scylaac adalah kenyataan yang sesungguhnya. Sedangkan dunia di luar sana, adalah dunia yang sudah tidak suci lagi. Dunia yang terkontaminasi aturan-aturan kasat mata dan tidak kasat mata yang membelenggu hakikat kehidupan. Dunia yang sesungguhnya - dunia yang lain itu - adalah dunia yang nyata. Itu bukan dunia fantasi. Para penghuni percaya, bahwa pada suatu masa di zaman lampau, pernah ada peradaban nyata yang berisi dunia
Schoistuedie, Yuhita, Lala, Acsac. Kalau boleh jujur, tidak semua dari keempat pencetus ini paham betul akan gagasan Scylaac di masa lampau. Yang mereka tahu, dunia tempat mereka tinggal adalah dunia yang sudah tidak suci lagi. Dunia di mana mereka harus bersandiwara untuk dapat bertahan hidup di dalamnya. Mereka sudah muak dengan itu. Mereka hanya ingin hidup bebas dalam kejujuran yang apa adanya. Para pencetus ingin mengubah dunia ini. Karena itu mereka memulai semuanya dengan menciptakan dunia mereka sendiri terlebih dahulu. Tempat mereka bertemu. Itu adalah sebuah tanah yang sangat kaya dan masih suci. Tempat itu hanya dihuni oleh hewan dan tumbuhan. Tidak ada seorang manusia pun di dalamnya dan tidak ada pihak mana pun yang memilikinya. Tempat yang benar-benar sempurna untuk membangun kembali dunia yang telah lama tertidur. Para pencetus merasa perlu untuk menamai dunia itu. Mereka mulai mencari nama yang tepat. Schoistuedie, Yuhita, Lala, dan Acsac. Akhirnya te
Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.
Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia
“Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat
“Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r
Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”
“Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat
“Apa itu?”Baskara menengok ke arah Ayu. “Ada apa?”Ayu tidak menjawab. Ia tidak memerhatikan pertanyaan Baskara. Tidak begitu pun, Ayu tetap tidak akan bisa menjawab pertanyaan Baskara. Yang ada di sana itu bukan sesuatu yang pernah dilihatnya sebelumnya. Scylaac tak pernah memperlihatkan yang seperti itu sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang baru.“Aku tidak mengerti. Apa maksud semua ini? Mengapa seperti ini?” kata Ayu lagi. Perkataannya kali ini mengindikasikan bahwa ia sudah mulai bisa mencerna apa yang ada di pandangan matanya itu. Walaupun pada akhirnya itu hanya memunculkan tanda tanya baru.Baskara sangat ingin melihat apa yang disaksikan oleh Ayu. Tapi ia takut fokusnya teralihkan dari tugasnya untuk mengawasi sekeliling. Ayu terlihat begitu terkejut. Ia tahu bahwa apa yang disaksikan pacarnya itu bukanlah sesuatu yang normal. Ia yakin dirinya pun juga akan
“Kakak sudah siap?”“Ya.”“Baik. Ayo kita lakukan.”Ayu dan Baskara pun berjalan menuju kaki gunung Tanah Langit.Ayu dan Baskara berjalan berdua di tengah terpaan salju tebal. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan, bintang, dan aurora untuk menerangi jalan mereka. Selama mereka berjalan, Ayu bertugas mengawasi area di depan dan di sebelah kiri mereka. Sementara itu Baskara bertugas mengawasi area di belakang dan di sebelah kanan. Mereka tidak boleh sampai ketahuan oleh penghuni Scylaac lainnya. Ayu tak percaya pada seorang pun penghuni Scylaac selain Baskara. Ia tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanyalah seorang pecundang.Perjalanan yang memang sudah semestinya memakan waktu cukup lama itu, semakin terasa lebih lama karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Salju lebat turun semakin hebat. Ayu dan
“Sudah kuduga. Ternyata memang akan seperti ini jadinya.”Baskara menoleh ke arah Ayu. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Para penduduk asli itu. Aku memang sudah menduganya dari awal. Ternyata aku memang mendapatkannya. Kepura-puraan pada mereka.”Baskara terkejut mendengarnya.“Jadi mereka memang bersandiwara?”“Tidak semuanya. Hanya beberapa yang sudah bisa kupastikan begitu. Sisanya, mereka tetap belum bisa kupastikan.”Baskara mengerutkan dahi.“Aku memang sempat ragu awalnya. Sebab ternyata di antara mereka yang sudah kueliminasi pun, banyak juga yang tampil dengan tidak terlihat bersandiwara. Itu benar-benar nyata dan meyakinkan. Aku jadi bingung karenanya. Untungnya, setelah mencari lebih jauh lagi, pada akhirnya aku dapat menemukan juga orang-orang bodoh yang memang jelas-