Manusia. Makhluk paling rumit, makhluk paling kompleks, makhluk paling sulit dimengerti yang pernah ada. Maksudku, sebagian dari mereka bisa menjadi sosok yang sangat naif; terpampang isi pikiran maupun hatinya hanya dengan membaca air mukanya. Sebagian lainnya tidak. Sebagian dapat dikenali sifat dan karakternya melalui frekuensi pertemuan yang intens. Sebagian lainnya butuh waktu seumur hidup, bahkan mungkin lebih, hanya untuk sekadar mengetahui maksud sebenarnya dari setiap ucapannya.
Aku tidak begitu; dan aku tidak akan pernah - dan memang tidak pernah juga - bisa mengerti yang seperti itu.
Tapi tidak semuanya sesederhana itu. Tidak semuanya sesederhana psikopat paling sadis yang dapat kau temui dalam buku sejarah. Tidak semuanya sesederhana pedofil paling menjijikkan yang dapat kau baca dalam surat kabar online. Tidak semuanya sesederhana koruptor bermuka dua yang dapat dengan santainya menyuarakan pesan-pesan moral penggugah hati di saat anak buahnya mengerjakan pekerjaan kotornya di tempat terpisah. Tidak semuanya sesederhana itu.
Sebab apa yang ada di sini, di tempat ini, merupakan contoh paling nyata dari opini panjang lebar telah kukemukakan ini. Mereka yang ada di sini adalah sebagian kecil dari eksistensi kolektif yang jauh lebih besar. Mereka yang ada di sini ... yah, tidak sama dengan contoh-contoh manusia di dalam penjabaran panjang lebar yang telah kukemukakan di atas.
"Hahaha … bener banget! Gua setuju ama lu!" kata salah satu di antara mereka.
"Iya, kan? Gua bilang juga apa. Hidup itu nggak ada gunanya. Ngapain capek-capek ngenjalanin hidup, kalo ujung-ujungnya bakalan mati juga," tanggap lawan bicaranya.
"Bener! Bener banget! Makanya gua suka banget ngebunuh orang. Soalnya nggak ada gunanya mereka hidup," kata salah satu di antara mereka itu lagi.
"Lah? Tapi lu sendiri ngenjalanin hidup. Seharusnya lu juga mati aja, dong," tanggap lawan bicaranya itu lagi.
Begitu seterusnya.
"Wah, sori, deh. Kalo soal itu, gua nggak setuju ama lu. Yang hidupnya nggak berguna itu orang lain. Bukan gua."
"Ooh. Berarti kita sedikit beda pendapat soal ini. Kalo menurut gua, semua kehidupan itu nggak ada gunanya."
"Berarti hidup lu juga nggak ada gunanya, dong."
"Ya iya, lah."
"Kalo gitu, ngapain lu hidup? Kenapa nggak mati aja?"
"Ya nggak kenapa-napa. Emang belum mau mati aja. Tapi kalo lagi kepengen, gua bakalan bunuh diri, kok."
"Wah, kalo gitu, gua bunuh aja, ya?"
"Hmm. Gimana, ya?"
"Ayo, dong. Gua udah gatel banget nih pengen ngebunuh lu. Jujur aja, ya. Hari ini gua belum ngebunuh orang satu pun!"
"Hmm. Oke, deh. Berhubung gua juga udah bosen hidup."
"Hah? Beneran, nih? Gua boleh bunuh lu?"
"Boleh. Silakan aja. Lagian lu kan juga penghuni Scylaac. Kayaknya asik juga kalo dibunuh sama sesama penghuni."
"Waaahh ... nggak salah gua pulang hari ini. Ternyata! Akhirnya bisa juga gua ngebunuh penghuni Scylaac."
"Loh? Emangnya selama ini lu nggak pernah ngebunuh penghuni Scylaac?"
"Nggak pernah. Soalnya gua suka banget sama semua penghuni Scylaac. Jadi gua nggak mau ngebunuh mereka."
"Hahaha. Ababil lu! Masa pembunuh pilih-pilih korban."
"Hahaha. Iya, nih. Gua juga nggak nyangka. Ternyata gua ababil juga, ya. Hahaha."
"Hahaha."
"Eh, ngomong-ngomong, gua udah boleh ngebunuh lu belum, nih? Gua udah nggak sabar, nih."
"Hmm. Oke, silakan. Tapi jangan kasar-kasar, ya."
"Hah? Kok gitu, sih? Gua lagi pengen banget nih ngeremas-remas leher orang."
"Hah? Apa-apaan, tuh? Nggak mau, ah. Kalo cara lu kayak gitu, gua nggak mau."
"Yaah. Kok gitu, sih? Ayo, dong. Tadi kan lu udah oke. Gua pengen banget nih ngehancurin leher sama muka lu. Ayo, dong. Pliiiss ...."
"Iya, boleh-boleh aja kalo lu mau ngebunuh gua. Tapi jangan nyiksa gua, dong. Kalo lu mau bunuh gua, pastiin supaya gua langsung mati seketika."
"Aduuh. Gua paling nggak suka ngebunuh orang kayak gitu. Nggak ada gregetnya. Nggak ada gunanya ngebunuh orang kalo gua sendiri nggak bisa menikmati pembunuhannya."
“Yaah … jadi gimana, dong?"
“Hadehh ... aarghh ... ya udah, lah. Kalo gitu, gua patahin aja deh leher lu."
“Hah? Seriusan? Lu mau ngebunuh gua kayak gitu?”
“Sebenarnya nggak mau, sih. Tapi ya mau gimana lagi. Yah, hitung-hitung lu kan juga penghuni Scylaac. Jadi gua rela deh ngorbanin hasrat gua."
"Wah, kalo gitu makasih, ya. Oke, deh. Gua siap. Lu bisa bunuh gua kapan aja."
“Sip. Kalo gitu, gua bunuh lu sekarang," tutup Ruka.
Hal yang paling dibenci oleh semua orang? Entahlah. Tidak ada yang bisa mengetahui isi pikiran semua orang di dunia kecuali Tuhan. Tapi mungkin aku bisa memberi sedikit opini yang mungkin paling mendekati kebenaran. Penderitaan. Ya, pasti itu. Benar, kan? Adakah hal lain yang lebih buruk dari itu? Kurasa tidak. Semua hal buruk yang mungkin dapat dialami manusia pasti akan bermuara ke sana. Penderitaan. "Nama orang itu Ruka." Ini cerita mengenai salah seorang penghuni Scylaac. "Dia manusia paling buruk yang pernah ada." Ini cerita mengenai salah seorang penghuni Scylaac, yang bernama Ruka. "Namun dia bukan Iblis bertubuh manusia. Dan dia juga bukan manusia berhati Iblis." Ini cerita mengenai salah seorang penghuni Scylaac, yang bernama Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan. "Dia hanyalah manusia biasa. Dia hanyalah manusia biasa, yang lebih buruk daripada Iblis." Ini cerita mengenai Ruka.
Mentari hanyalah korban. Orang boleh menghujatnya sesuka hati. Namun ia tahu bahwa ia tidak salah. Sejak dari awal ia tak pernah salah. Dan Mentari tahu bahwa Tuhan tahu itu.Mentari adalah seorang pelacur.Awalnya semua baik-baik saja. Ayah yang menelantarkan keluarganya, ibu yang mati-matian memikul seluruh tanggung jawab, sanak saudara yang lenyap entah ke mana, hingga kehidupan sekadarnya yang membelenggunya. Semua baik-baik saja. Seperti sedang mengekor semua kisah klasik yang ada, Mentari tak mau dan tak akan pernah mau meratapi nasibnya. Semua baik-baik saja. "Kesejahteraan dalam kesederhanaan," kata Mentari.Mentari punya banyak harta berharga. Tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri, gubuk reyot yang sudah seperti istana kerajaan, boneka Minnie Mouse lusuh tak berpakaian yang sudah seperti perhiasan bertabur emas permata, hingga ... dan lain-lain. Sebenarnya masih banyak. Aku malas menyebutkannya satu per satu. Sisanya bayangkan saja sendiri.
"Nama kamu siapa?" ucapnya dalam senyuman yang hina dan menjijikkan."Mentari, Mas.""Bukan itu. Aku tanya nama asli kamu," sambungnya sambil tetap meremas buah dada Mentari."Mentari itu nama asli, Mas.""Loh? Kamu nggak pake nama samaran?" Perhatiannya mulai sedikit teralihkan ke wajah Mentari."Nggak. Nggak ada gunanya pake nama samaran. Nama samaran hanya dipakai oleh mereka yang menyembunyikan identitasnya dari kehidupan mereka yang sesungguhnya di luar sana. Aku nggak punya kehidupan lain selain di sini, Mas.""Kok bisa gitu? Kampung halamanmu gimana? Kamu punya kampung halaman, kan?" Kali ini perhatiannya telah sepenuhnya teralihkan kepada pembicaraan yang ia angkat."Aku udah nggak punya lagi yang namanya kampung halaman, Mas. Nggak pernah dan nggak akan pernah terhubung lagi dengan kampung halaman, sama aja artinya dengan nggak punya, kan?""Berarti kamu benar-benar sebatang kara?" Ekspresi hina dan menjijikkan mulai p
"Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti. Sebelum mulai bercerita, kau mengatakan bahwa lelaki mengerikan yang baru saja lewat itu bernama Ruka. Setelah bercerita, kau mengatakan bahwa Ruka sudah mati. Dan sekarang, kau mengatakan bahwa Ruka harus bahagia. Memang, aku masih belum begitu mengerti tentang Scylaac. Namun, untuk yang satu ini, aku benar-benar tidak mengerti." "Ruka itu nama anak Mentari. Ia menamai anaknya dengan nama suaminya." "Ooh, ternyata begitu. Seharusnya kau katakan itu dari awal." "Kalau kau tidak memotong ceritaku, tentu aku sudah mengatakannya dari tadi." Lovelyn menghela napas jenuh. "Sudahlah. Lanjutkan saja." 6.1. Baik. Akan Kulanjutkan. (1) Ruka - suami Mentari - adalah seorang penjahat kelas teri. Ia bekerja untuk sebuah organisasi mafia kelas kakap. Tidak banyak yang ia ketahui tentang organisasi tempatnya bekerja. Yang ia tahu hanya tiga hal. Satu, jika bos organisasi senang denga
Ruka kecil hidup dalam naungan kasih sayang yang luar biasa dari Mentari.Tentu saja. Ruka itu anak kandungnya sendiri. Tidak mungkin Mentari tidak mengasihinya.Bukan. Maksudku bukan seperti itu. Ruka memang anak kandung Mentari. Tapi hal seperti itu tidak menjamin apa-apa. Nyatanya di dunia ini ada begitu banyak ibu yang tidak mengasihi buah hatinya sendiri.Tapi Mentari beda. Ia tidak seperti beberapa orang tua gila yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Namun ia juga tidak seperti kebanyakan orang tua normal yang mengasihi anaknya sebagaimana mestinya. Ngg, bagaimana cara menjelaskannya .... Mungkin bisa dikatakan seperti ini: Jika orang tua normal mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, maka Mentari mengasihi Ruka dengan sepenuh hati, jantung, paru-paru, otak, seluruh tubuh, hingga seluruh keberadaan dirinya.Mentari mengasihi Ruka secara berlebihan. Itu bukan kasih yang normal. Itu buruk. Sebagai contoh, Mentari tak pernah memarahi Ruka. Atau memukuln
Ruka memang selalu menang terhadap orang-orang yang menganiayanya. Namun bukan berarti ia selalu selamat dalam kondisi baik-baik saja. Walau bagaimana pun juga, perjuangannya adalah untuk mempertahankan nyawa. Orang-orang di sekitarnya datang bukan untuk mem-bully-nya. Mereka datang untuk menyiksanya. Jika kebablasan, Ruka bisa mati. Ini memang tentang nyawa. Ruka pernah hampir mati. Ia dikeroyok orang dalam jumlah besar. Dua puluh orang, kurang lebih. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka ingin menghabisi Ruka. Saat itu Ruka berusia 13 tahun. “RUKAAA …,” jerit Mentari seraya berlari menghampiri puteranya. "Kamu baik-baik saja kan, Nak? Ruka baik-baik saja, kan?" "Ruka baik-baik saja, Bu. Dia selamat." "Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" "Saya juga kurang tahu, Bu. Saya cuma kebetulan lewat waktu Ruka dikeroyok orang." "Dikeroyok? Ruka? Ruka dikeroyok orang?" "Iya. Dia dikeroyok preman-preman di gereja. Ruka
Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.Saat itu ia tidak tertawa.Ia tersenyum.***Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam.
"Ternyata benar. Aku sudah menduga akan seperti itu jadinya," sela Lovelyn."Hei, aku belum selesai bercerita," keluh Vith."Tak usah kau lanjutkan. Aku sudah paham. Pantas saja kau menyebutnya lebih buruk daripada Iblis. Ternyata memang benar begitu adanya."Vith menghela napas singkat. Ia memandangi Lovelyn dengan saksama. Setelah beberapa detik, ia pun berkata, "Begitu adanya?""Ya. Begitu adanya," jawab Lovelyn. "Tak ada yang lebih buruk dari orang yang memperlakukan ibu kandungnya sendiri seperti itu.""Seperti itu?""Ya. Seperti itu. Aku sudah bisa menebaknya. Ruka pasti membunuh ibunya. Iya, kan?""Ya, Ruka membunuh Mentari. Lalu?"Lovelyn terdiam sejenak."Ya ... lalu dia menjadi Iblis. Ah, maksudku, menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada Iblis. Setelah itu dia menjadi pembunuh yang berkeliaran membantai banyak nyawa. Dan sekarang dia sampai di Scylaac. Iya, kan?""Aku tidak bertanya sampai sejauh i
Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.
Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia
“Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat
“Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r
Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”
“Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat
“Apa itu?”Baskara menengok ke arah Ayu. “Ada apa?”Ayu tidak menjawab. Ia tidak memerhatikan pertanyaan Baskara. Tidak begitu pun, Ayu tetap tidak akan bisa menjawab pertanyaan Baskara. Yang ada di sana itu bukan sesuatu yang pernah dilihatnya sebelumnya. Scylaac tak pernah memperlihatkan yang seperti itu sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang baru.“Aku tidak mengerti. Apa maksud semua ini? Mengapa seperti ini?” kata Ayu lagi. Perkataannya kali ini mengindikasikan bahwa ia sudah mulai bisa mencerna apa yang ada di pandangan matanya itu. Walaupun pada akhirnya itu hanya memunculkan tanda tanya baru.Baskara sangat ingin melihat apa yang disaksikan oleh Ayu. Tapi ia takut fokusnya teralihkan dari tugasnya untuk mengawasi sekeliling. Ayu terlihat begitu terkejut. Ia tahu bahwa apa yang disaksikan pacarnya itu bukanlah sesuatu yang normal. Ia yakin dirinya pun juga akan
“Kakak sudah siap?”“Ya.”“Baik. Ayo kita lakukan.”Ayu dan Baskara pun berjalan menuju kaki gunung Tanah Langit.Ayu dan Baskara berjalan berdua di tengah terpaan salju tebal. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan, bintang, dan aurora untuk menerangi jalan mereka. Selama mereka berjalan, Ayu bertugas mengawasi area di depan dan di sebelah kiri mereka. Sementara itu Baskara bertugas mengawasi area di belakang dan di sebelah kanan. Mereka tidak boleh sampai ketahuan oleh penghuni Scylaac lainnya. Ayu tak percaya pada seorang pun penghuni Scylaac selain Baskara. Ia tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanyalah seorang pecundang.Perjalanan yang memang sudah semestinya memakan waktu cukup lama itu, semakin terasa lebih lama karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Salju lebat turun semakin hebat. Ayu dan
“Sudah kuduga. Ternyata memang akan seperti ini jadinya.”Baskara menoleh ke arah Ayu. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Para penduduk asli itu. Aku memang sudah menduganya dari awal. Ternyata aku memang mendapatkannya. Kepura-puraan pada mereka.”Baskara terkejut mendengarnya.“Jadi mereka memang bersandiwara?”“Tidak semuanya. Hanya beberapa yang sudah bisa kupastikan begitu. Sisanya, mereka tetap belum bisa kupastikan.”Baskara mengerutkan dahi.“Aku memang sempat ragu awalnya. Sebab ternyata di antara mereka yang sudah kueliminasi pun, banyak juga yang tampil dengan tidak terlihat bersandiwara. Itu benar-benar nyata dan meyakinkan. Aku jadi bingung karenanya. Untungnya, setelah mencari lebih jauh lagi, pada akhirnya aku dapat menemukan juga orang-orang bodoh yang memang jelas-