Mentari hanyalah korban. Orang boleh menghujatnya sesuka hati. Namun ia tahu bahwa ia tidak salah. Sejak dari awal ia tak pernah salah. Dan Mentari tahu bahwa Tuhan tahu itu.
Mentari adalah seorang pelacur.Awalnya semua baik-baik saja. Ayah yang menelantarkan keluarganya, ibu yang mati-matian memikul seluruh tanggung jawab, sanak saudara yang lenyap entah ke mana, hingga kehidupan sekadarnya yang membelenggunya. Semua baik-baik saja. Seperti sedang mengekor semua kisah klasik yang ada, Mentari tak mau dan tak akan pernah mau meratapi nasibnya. Semua baik-baik saja. "Kesejahteraan dalam kesederhanaan," kata Mentari.Mentari punya banyak harta berharga. Tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri, gubuk reyot yang sudah seperti istana kerajaan, boneka Minnie Mouse lusuh tak berpakaian yang sudah seperti perhiasan bertabur emas permata, hingga ... dan lain-lain. Sebenarnya masih banyak. Aku malas menyebutkannya satu per satu. Sisanya bayangkan saja sendiri.Yang jelas, dari semua harta berharga yang ia miliki, ada satu yang paling berharga baginya saat ini - maksudku saat itu. Sahabat. Ya, sahabat. Sebuah harta yang paling berharga. Penyelamat kehidupan manusia. Penolong dalam kesepian dan kesendirian. Sebuah harta yang paling berharga yang tak akan pernah bisa diganti oleh apa pun juga yang ada di dalam dunia ini. Klise.Jadi begini.Mentari memang miskin. Namun ia cerdas. Dan ia juga cukup beruntung. Karena itulah ia bisa bersekolah di sebuah SMP swasta yang mewah nan megah lewat bantuan program beasiswa.Saat itu ia duduk di bangku kelas 8. Ia punya banyak teman. Satu di antaranya merupakan sahabat sejatinya sejak SD. Jesia."Tari.""Kenapa, Je?""Mulai kelas 9 aku nggak sekolah di sini lagi. Aku pindah."Mentari terkejut."Hah? Kok kamu pindah, sih? Emangnya ada apa?""Papa aku tugas ke luar negeri. Kami sekeluarga terpaksa pindah ke luar negeri."Mentari tak dapat berkata-kata untuk beberapa saat lamanya."Tapi kita masih bisa berteman, kan? Kita berteman jarak jauh.""Aku nggak tau, Ta. Aku nggak tau.""Kok gitu, sih? Kita ini sahabat, Je. Sahabat sampai mati.""Iya, aku tau. Tapi maksudku bukan tentang itu.""Jadi tentang apa, dong?""Aku nggak tau kita masih bisa berhubungan atau nggak. Soalnya ....""Soalnya?""Soalnya ... soalnya ... soalnya aku sekeluarga mau pindah ke dasar Grand Canyon.""Hah?""Habis itu katanya mau dipindahin lagi ke puncak Himalaya.""Hah?""Selepas itu, katanya mau dipindahin lagi ke Kutub Selatan.""Hah?""Dan, setelah semua itu, terakhir Papa mau ditempatkan di Korea Utara.""...."***Mentari melanjutkan hidupnya tanpa semangat. Hari demi hari ia lalui tanpa hasrat. Untuk seorang anak yang tengah dalam masa peralihan - masa pencarian jati diri - usia labil - ABG - apa pun itu, yang penting cocok untuk kalimat ini - kehilangan harta yang paling berharga adalah sebuah bencana. Ia terlalu hijau untuk merasakan pahitnya kehilangan "hidup". Dan ia juga terlalu muda untuk memahami bahwa kehilangan "hidup" tidak sama dengan kehilangan hidup.Mentari belum siap."Mentari. Ayo dong, dimakan nasinya. Nanti nasinya nangis, loh," kata ibu Mentari."Hm," jawab Mentari seadanya."Hhh ..."***"Satu kata. Satu kata saja. Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan musik. Bagi seorang Gita, apakah arti musik?""Hmm ... satu kata, ya .... Musik itu ... hidup.""Konyol.""Hm? Konyol?""Ng? Oh, nggak kok, Bu. Ini, Mentari lagi nonton TV.""Ooh. Terus, yang konyol itu apa?""Ini, bisa-bisanya mensejajarkan musik dengan hidup. Konyol, kan? Jadi, kalau nggak ada musik, dia nggak bakalan mau melanjutkan hidup, dong.""Wah, Mentari sudah dewasa, ya.""Hah? Maksud Ibu?"Saat ini Mentari sudah lulus SMA - maksudku saat itu.Mentari tumbuh menjadi seorang gadis belia yang cantik bersinar. Tidak hanya itu, ia juga tumbuh menjadi seorang gadis muda yang tangguh. Sejak lulus SMP ia telah mulai mencari penghasilannya sendiri. Dan ia cukup hebat dalam hal itu. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa mengangkat derajat keluarga kecilnya. Dan pada akhirnya ia pun sanggup membiayai sendiri perkuliahan yang diambilnya.Saat itu Mentari sedang berjalan ke kampusnya seperti biasa."Mentari!"Mentari menengok."Jesia!"Mentari tersentak."Jesia! Kamu Jesia, kan?""Iya, Tari. Ini aku.""Waah ... waah ... waahh ...!"Mentari senang bukan kepalang. Ia tak dapat berkata-kata. Lebih dari itu, ia tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia pun berlari dan memeluk Jesia erat-erat, seperti yang selama ini selalu ia lakukan setiap malam dalam seluruh mimpinya.Mentari kembali menemukan "hidup"-nya yang hilang."Maaf, Ta. Maafin aku karena aku udah ninggalin kamu. Maafin aku karena selama ini aku udah membiarkan kamu sendirian. Maafin aku.""Nggak apa-apa, Je. Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Yang penting sekarang kita bisa sama-sama lagi.""Ya. Kita bisa sama-sama lagi. Dan, mulai dari sekarang, kita akan terus bersama sampai selama-lamanya.""Ya. Terus bersama sampai selama-lamanya.""Sampai selama-lamanya."***"TERKUTUK KAMU SAMPAI SELAMA-LAMANYA!"Dan Mentari pun menangis pilu."Dia kenapa, sih? Habis teriak-teriak nggak jelas kayak orang gila, sekarang dia malah nangis.""Yah, namanya juga anak baru. Dulu aku juga begitu, kok.""Kalo dia kayak begitu, gimana mau melayani pelanggan?""Ya nggak mungkin, lah. Mana mungkin dia bisa melayani pelanggan dalam kondisi seperti itu. Untuk sementara, dia belum boleh kerja dulu. Harus ditunggu, sampai mentalnya pulih seperti sedia kala.""Wah, ternyata kamu pengertian juga, ya.""Bukan pengertian. Mengerti. Aku mengerti situasinya. Soalnya aku juga korban perdagangan manusia. Beda sama kalian yang memang dari awal udah bercita-cita pengen jadi pelacur.""Sialan lu!""Hahahaha ...."Jesia menjual Mentari."Nama kamu siapa?" ucapnya dalam senyuman yang hina dan menjijikkan."Mentari, Mas.""Bukan itu. Aku tanya nama asli kamu," sambungnya sambil tetap meremas buah dada Mentari."Mentari itu nama asli, Mas.""Loh? Kamu nggak pake nama samaran?" Perhatiannya mulai sedikit teralihkan ke wajah Mentari."Nggak. Nggak ada gunanya pake nama samaran. Nama samaran hanya dipakai oleh mereka yang menyembunyikan identitasnya dari kehidupan mereka yang sesungguhnya di luar sana. Aku nggak punya kehidupan lain selain di sini, Mas.""Kok bisa gitu? Kampung halamanmu gimana? Kamu punya kampung halaman, kan?" Kali ini perhatiannya telah sepenuhnya teralihkan kepada pembicaraan yang ia angkat."Aku udah nggak punya lagi yang namanya kampung halaman, Mas. Nggak pernah dan nggak akan pernah terhubung lagi dengan kampung halaman, sama aja artinya dengan nggak punya, kan?""Berarti kamu benar-benar sebatang kara?" Ekspresi hina dan menjijikkan mulai p
"Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti. Sebelum mulai bercerita, kau mengatakan bahwa lelaki mengerikan yang baru saja lewat itu bernama Ruka. Setelah bercerita, kau mengatakan bahwa Ruka sudah mati. Dan sekarang, kau mengatakan bahwa Ruka harus bahagia. Memang, aku masih belum begitu mengerti tentang Scylaac. Namun, untuk yang satu ini, aku benar-benar tidak mengerti." "Ruka itu nama anak Mentari. Ia menamai anaknya dengan nama suaminya." "Ooh, ternyata begitu. Seharusnya kau katakan itu dari awal." "Kalau kau tidak memotong ceritaku, tentu aku sudah mengatakannya dari tadi." Lovelyn menghela napas jenuh. "Sudahlah. Lanjutkan saja." 6.1. Baik. Akan Kulanjutkan. (1) Ruka - suami Mentari - adalah seorang penjahat kelas teri. Ia bekerja untuk sebuah organisasi mafia kelas kakap. Tidak banyak yang ia ketahui tentang organisasi tempatnya bekerja. Yang ia tahu hanya tiga hal. Satu, jika bos organisasi senang denga
Ruka kecil hidup dalam naungan kasih sayang yang luar biasa dari Mentari.Tentu saja. Ruka itu anak kandungnya sendiri. Tidak mungkin Mentari tidak mengasihinya.Bukan. Maksudku bukan seperti itu. Ruka memang anak kandung Mentari. Tapi hal seperti itu tidak menjamin apa-apa. Nyatanya di dunia ini ada begitu banyak ibu yang tidak mengasihi buah hatinya sendiri.Tapi Mentari beda. Ia tidak seperti beberapa orang tua gila yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Namun ia juga tidak seperti kebanyakan orang tua normal yang mengasihi anaknya sebagaimana mestinya. Ngg, bagaimana cara menjelaskannya .... Mungkin bisa dikatakan seperti ini: Jika orang tua normal mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, maka Mentari mengasihi Ruka dengan sepenuh hati, jantung, paru-paru, otak, seluruh tubuh, hingga seluruh keberadaan dirinya.Mentari mengasihi Ruka secara berlebihan. Itu bukan kasih yang normal. Itu buruk. Sebagai contoh, Mentari tak pernah memarahi Ruka. Atau memukuln
Ruka memang selalu menang terhadap orang-orang yang menganiayanya. Namun bukan berarti ia selalu selamat dalam kondisi baik-baik saja. Walau bagaimana pun juga, perjuangannya adalah untuk mempertahankan nyawa. Orang-orang di sekitarnya datang bukan untuk mem-bully-nya. Mereka datang untuk menyiksanya. Jika kebablasan, Ruka bisa mati. Ini memang tentang nyawa. Ruka pernah hampir mati. Ia dikeroyok orang dalam jumlah besar. Dua puluh orang, kurang lebih. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka ingin menghabisi Ruka. Saat itu Ruka berusia 13 tahun. “RUKAAA …,” jerit Mentari seraya berlari menghampiri puteranya. "Kamu baik-baik saja kan, Nak? Ruka baik-baik saja, kan?" "Ruka baik-baik saja, Bu. Dia selamat." "Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" "Saya juga kurang tahu, Bu. Saya cuma kebetulan lewat waktu Ruka dikeroyok orang." "Dikeroyok? Ruka? Ruka dikeroyok orang?" "Iya. Dia dikeroyok preman-preman di gereja. Ruka
Ruka tertawa. Apa pun yang terjadi, Ruka akan selalu tertawa. Ia tak pernah menderita. Ia akan selalu bahagia.Ruka, yang seluruh hidupnya diisi oleh penderitaan, akan selalu tertawa dan bahagia.Mentari senang dengan hal itu. Awalnya. Perlahan hal itu semakin meresahkannya. Itu tidak normal. Mentari memang selalu mengupayakan yang terbaik demi kebahagiaan Ruka. Namun ia tak pernah berharap puteranya akan selalu tertawa. Menghadapi situasi seperti apa pun, Ruka selalu tertawa. Suka dan duka, senang dan sakit, Ruka selalu tertawa. Mungkin hanya sekali Ruka tidak menghadapi kehidupannya dengan tawa. Dan itu adalah saat ia hancur babak belur dikeroyok preman-preman di gereja.Ruka pingsan dan baru siuman beberapa jam setelahnya.Saat itu ia tidak tertawa.Ia tersenyum.***Tak perlu kujelaskan lagi. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang pernah dialami Mentari. Begitu buruknya kejadian itu hingga hampir membunuh Mentari dari dalam.
"Ternyata benar. Aku sudah menduga akan seperti itu jadinya," sela Lovelyn."Hei, aku belum selesai bercerita," keluh Vith."Tak usah kau lanjutkan. Aku sudah paham. Pantas saja kau menyebutnya lebih buruk daripada Iblis. Ternyata memang benar begitu adanya."Vith menghela napas singkat. Ia memandangi Lovelyn dengan saksama. Setelah beberapa detik, ia pun berkata, "Begitu adanya?""Ya. Begitu adanya," jawab Lovelyn. "Tak ada yang lebih buruk dari orang yang memperlakukan ibu kandungnya sendiri seperti itu.""Seperti itu?""Ya. Seperti itu. Aku sudah bisa menebaknya. Ruka pasti membunuh ibunya. Iya, kan?""Ya, Ruka membunuh Mentari. Lalu?"Lovelyn terdiam sejenak."Ya ... lalu dia menjadi Iblis. Ah, maksudku, menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada Iblis. Setelah itu dia menjadi pembunuh yang berkeliaran membantai banyak nyawa. Dan sekarang dia sampai di Scylaac. Iya, kan?""Aku tidak bertanya sampai sejauh i
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Salam kenal, ya.""Lalu, apa yang kau inginkan dariku?""Eh?""Aku tanya, apa yang kau inginkan dariku?" Lovelyn mendesak lelaki itu."Eh? Umm ... maaf, aku tidak mengerti." Lelaki itu kebingungan.Lovelyn berdiri dari tempat duduknya. "Kau datang kepadaku. Kau mengajakku bicara. Kau, yang tadi ada di sana, sekarang ada di sini dan mengajakku bicara. Kau masih berani mengatakan bahwa kau tidak punya maksud apa pun?" Lovelyn semakin mendesak lelaki itu."Umm ... aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata lelaki itu. "Aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya ingin berkenalan denganmu.""Berkenalan? Denganku?""Ya. Berkenalan. Denganmu.""Hanya untuk itu kau menyita waktuku?""Eeh ... uum ...." Lelaki itu semakin kebingungan."Pergilah kau, dasar sampah." Lovelyn mengakhiri.Dulu dia tidak seperti itu.Dulu dia tidak seperti itu. Dulu dia anak
"Lovelyn.""Wah, nama yang sangat indah. Seindah pemiliknya.""Baiklah, Lovelyn. Mulai sekarang, kamu anak ka ....""Lovelyn! Ah, ternyata kamu ada di sini," seru ayah Lovelyn, membuyarkan kenangan di kepala Lovelyn."Lovelyn! Mengapa kamu lari dari Mama dan Papa seperti itu?" sambung ibu Lovelyn."Semua berkumpul, semua tersenyum, semua bahagia. Aku penasaran, apakah foto ini benar-benar jujur?" kata Lovelyn."Foto? Apa maksudmu? Foto apa itu?"Orang tua Lovelyn berjalan menghampiri puteri mereka yang sedang duduk di meja riasnya."Lovelyn ... itu ....""Foto terakhirku bersama teman-temanku di panti asuhan sebelum kalian mengambilku.""Oh, Lovelyn ... Mama mohon kepadamu. Mama mohon dengan sangat kepadamu. Jangan pernah memikirkan itu." Ibu Lovelyn mulai meneteskan air mata."Lovelyn. Jika Papa dan Mama telah menyakiti hatimu, Papa dan Mama minta maaf. Papa dan Mama akan berubah. Papa dan Mama akan menjad
Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.
Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia
“Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat
“Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r
Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”
“Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat
“Apa itu?”Baskara menengok ke arah Ayu. “Ada apa?”Ayu tidak menjawab. Ia tidak memerhatikan pertanyaan Baskara. Tidak begitu pun, Ayu tetap tidak akan bisa menjawab pertanyaan Baskara. Yang ada di sana itu bukan sesuatu yang pernah dilihatnya sebelumnya. Scylaac tak pernah memperlihatkan yang seperti itu sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang baru.“Aku tidak mengerti. Apa maksud semua ini? Mengapa seperti ini?” kata Ayu lagi. Perkataannya kali ini mengindikasikan bahwa ia sudah mulai bisa mencerna apa yang ada di pandangan matanya itu. Walaupun pada akhirnya itu hanya memunculkan tanda tanya baru.Baskara sangat ingin melihat apa yang disaksikan oleh Ayu. Tapi ia takut fokusnya teralihkan dari tugasnya untuk mengawasi sekeliling. Ayu terlihat begitu terkejut. Ia tahu bahwa apa yang disaksikan pacarnya itu bukanlah sesuatu yang normal. Ia yakin dirinya pun juga akan
“Kakak sudah siap?”“Ya.”“Baik. Ayo kita lakukan.”Ayu dan Baskara pun berjalan menuju kaki gunung Tanah Langit.Ayu dan Baskara berjalan berdua di tengah terpaan salju tebal. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan, bintang, dan aurora untuk menerangi jalan mereka. Selama mereka berjalan, Ayu bertugas mengawasi area di depan dan di sebelah kiri mereka. Sementara itu Baskara bertugas mengawasi area di belakang dan di sebelah kanan. Mereka tidak boleh sampai ketahuan oleh penghuni Scylaac lainnya. Ayu tak percaya pada seorang pun penghuni Scylaac selain Baskara. Ia tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanyalah seorang pecundang.Perjalanan yang memang sudah semestinya memakan waktu cukup lama itu, semakin terasa lebih lama karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Salju lebat turun semakin hebat. Ayu dan
“Sudah kuduga. Ternyata memang akan seperti ini jadinya.”Baskara menoleh ke arah Ayu. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Para penduduk asli itu. Aku memang sudah menduganya dari awal. Ternyata aku memang mendapatkannya. Kepura-puraan pada mereka.”Baskara terkejut mendengarnya.“Jadi mereka memang bersandiwara?”“Tidak semuanya. Hanya beberapa yang sudah bisa kupastikan begitu. Sisanya, mereka tetap belum bisa kupastikan.”Baskara mengerutkan dahi.“Aku memang sempat ragu awalnya. Sebab ternyata di antara mereka yang sudah kueliminasi pun, banyak juga yang tampil dengan tidak terlihat bersandiwara. Itu benar-benar nyata dan meyakinkan. Aku jadi bingung karenanya. Untungnya, setelah mencari lebih jauh lagi, pada akhirnya aku dapat menemukan juga orang-orang bodoh yang memang jelas-