Siapa yang ia sebut 'gadis liar'? Annanda? Niko menahan tawa. Setelah sedikit lebih mengenal Annanda, Niko tidak bisa menyangkal julukan itu. Meski ia tetap tidak sudi orang-orang seperti mereka merasa berhak mengata-ngatai Annanda.
"Benar kata Maya," ujar Amora. Ia mengedikkan dagu ke arah Annanda. "Kamu akan kena sial kalau bersamanya"
"Benar, benar," timpal Mila. "Kamu juga kena musibah gara-gara bersama dia, 'kan?"
Niko menyentak tangannya sedikit kasar dari Maya hingga gadis itu terdorong ke belakang. "Aku benar-benar akan membenci kalian kalau kalian meneruskan omong kosong ini."
Senyum yang biasa tersungging di bibir pemuda itu lenyap digantikan satu garis datar. Rahangnya terkatup rapat dan matanya dingin menusuk.
Sejak saat itu, Niko tidak lagi melihat ada yang berani mengerjai atau bahkan sekadar menyindir Annanda. Setiap kali gadis itu lewat de depan orang-orang yang dulu sering mengejeknya, mereka mengalihkan pandangan, pura-pura tidak melihat atau menunduk seakan mereka takut.Niko tidak tahu apa yang sudah dilakukan Annanda pada mereka, namun, ia merasa senang. Dulu, Annanda tidak akan melakukan apa-apa jika ia di-bully.Tidak peduli separah apa, ia akan diam saja menerima semua perlakuan mereka.Niko bahkan pernah melihat salah satu kakak kelas kurang ajar menjambak rambut pendek Annanda dan mengancam akan menggundulinya dengan gunting! Jika Niko tidak melihat mereka saat itu, Annanda pasti pulang dengan rambut yang telah dipotong tidak karuan.Sebagian besar teman-teman sekolah mereka hanya iri karena ia cantik, kaya, dan berasal dari kota besar. Niko tidak akan rela jika gadis yang ia anggap seorang sahabat diperlakukan seperti itu dengan alasan yan
Beberapa bulan kemudian, di sinilah mereka. Dengan Niko yang mengetuk pintu apartemen Annanda berkali-kali namun tidak ada jawaban.Niko dan Annanda memutuskan untuk pindah ke apartemen yang lebih dekat dengan sekolah mereka, sehingga mereka bisa berangkat dengan berjalan kaki. Beruntungnya, mereka bisa mendapat apartemen di gedung yang sama, meskipun berada di lantai yang berbeda. Apartemen Raven berada satu lantai di atas Annanda.Kesal karena tidak kunjung dibukakan pintu, Niko memutar kenop pintu apartemen sahabatnya, dan tercengang ketika pintu itu terbuka dengan mudah.Kenapa Annanda tidak mengunci pintu depannya?! Bagaimana kalau ada pencuri yang masuk?!Niko membuat catatan mental untuk mengingatkan Annanda mengunci pintu setiap malam untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh! Gadis ini terlalu teledor!Ruang depan yang juga merupakan ruang tamu apartemen itu masih berantakan. Kardus-kardus yang belum dibuka masih berserakan dan
Annanda menghela napas lega ketika akhirnya bisa berdiri dan meregangkan tubuhnya yang kaku karena terlalu lama duduk.Siapa yang menyangka penyambutan siswa baru bisa memakan waktu sampai tengah hari? Meski tempat duduknya empuk dan disediakancoffee breakberkelas karena sekolah ini termasuk sekolah elit, tetap saja Annanda bosan setengah mati.Remaja yang baru menginjak usia enam belas tahun itu melangkah menuju pintu keluar. Ia berniat untuk langsung pulang dan melanjutkan tyidurnya yang tadi pagi diganggu Niko.Sayang sekali langkahnya segera saja dihadang sang sahabat. Niko menatapnya dengan mata berbinar-binar."Anna, ayo-""Nggak mau," potong Annanda segera. "Aku mau langsung pulang dan tidur.""Tapi, Anna, Kita bisa lihat-lihat sambil keliling sekolah dulu. Sekalian, mencari kelas kita di gedung sebelah mana," protes Niko."Jadi, besok enggak repot lagi kalau-kalau kita nyaris terlambat gara-gara seseorang
Mata Annanda menyipit menatap remaja di depannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Tangan disilangkan di dada, dan bibir tipisnya merapat tidak senang.Pemuda di depannya memiliki kulittan,dan lumayan tinggi. Annanda harus mendongak jika ingin menatap langsung wajahnya. Ia juga cukup tampan. Mata hitamnya tajam dan jernih. Alisnya lebat dan tulang hidungnya tinggi. Bibirnya, yang tengah melengkung ke bawah karena kecewa, merah dan penuh. Rambut hitam yang dipotong rapi jatuh menutupi dahi.Orang seperti ini tidak akan sulit mendapatkan gadis yang diinginkannya. Annanda tahu karena telah melihat buktinya sendiri. Lihat saja Niko, memang siapa gadis di sekolah mereka dulu yang belum dipacarinya?Namun, Arga justru berdiri di sini, dan meminta Annanda untukmenonton bersamanya.Annanda ingin mendengkus.Pertama, ia tidak merasa cantik. Wajahnya biasa saja, walau ia memang lebih tinggi dari anak-anak perempuan lain seusi
"Maafkan aku," ujar Annanda masih dengan senyum mengerikan itu. "Tanganku licin, jadi tergelincir. Aku harap kuah sotonya sudah nggak terlalu panas.""Berani-beraninya..." geram si kakak kelas.Kuah soto dan isiannya menetes netes dari rambut ber-hair extention.Wajahnya merah padam. Kuah soto juga mengalir di pipi dan dahinya, membuat jejak kuning berminyak bumbu di atas kulit mulus ber-make up.Seluruh siswa di sana menonton mereka sambil menahan napas. Tidak ada yang beranjak untuk melerai maupun menegur. Beberapa bahkan sibuk merekam.Sang kakak kelas melayangkan telapak tangannya ingin menampar, namun Annanda telah lebih dulu menahannya.Ia menggenggam pergelangan tangan kakak kelas itu dan menariknya mendekat, membuat yang dipegang memekik takut. Niko menahan tawa melihat wajah siswi yang lebih tua itu memucat. Sekalipun tubuh Annanda lebih kecil darinya, jangan diremehkan. Tenaga gadis itu bisa menyaingi seorang preman
"Aku tidak memesan ini," kata Annanda sembari menyerahkan benda yang diberi Arga padanya pagi tadi."Memang. Tapi kamu sudah memegangnya. Barang yang dipegang tidak bisa dikembalikan.""Tidak mau.""Harus mau.""Aku tidak menerima benda yang disedekah dengan cuma-cuma." Annanda menggeleng. "Aku bukan pengemis.""Kalau begitu kamu harus bayar.""Aku tidak punya uang."Bohong. Annanda punya banyak uang. Uang ayahnya yang dikirim setiap bulan padanya. Uang yang tidak ingin ia gunakan."Hmm, kalau begitu bayar dengan pergi keluar sekali denganku."Annanda menyipitkan mata. "Itudealyang buruk. Waktuku jauh lebih berharga daripada ini."Arga tertawa renyah. "Bagaimana kalau satu jam istirahat saja?""Hmm..." Annanda menggumam sambil pura-pura berpikir. "Tidak.""Ayolah, aku memaksa. Kamu sendiri bilang kita bisa saling mengenal, iya, 'kan?""Aku tidak mau disogok.""Anna,
Annanda membasuh tangan di wastafel, lalu meraih tisu untuk mengeringkannya. Ia baru akan berbalik pergi untuk kembali ke kelas ketika tiga orang siswi seangkatan dengannya masuk dan menghadang langkahnya.Yang berdiri di tengah (warna lipstiknya merah sekali, membuat bibirnya terlihat seperti berlapis darah) maju satu langkah dan mencondongkan tubuh pada Annanda."Kukira ada bau apa, ternyata seorang gelandangan yang entah bagaimana lolos seleksi untuk masuk istana," ucapnya. Dua teman diu samping kiri dan kanannya tertawa-tawa.Annanda dan Niko memang tidak pernah mengungkapkan siapa mereka sebenarnya. Seluruh anak sekolahan yang mengenal mereka hanya tahu bahwa mereka berdua berasal dari sebuah SMP kecil terpencil yangndeso.Andai mereka tahu jika seragam yang mereka kenakan itu berasal dari perusahaan garmen milik ayah Annanda, orang yang mereka sebut gelandangan. Ironisnya, Annanda malah tidak ingin siapapun mengetahuinya.Niko
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully