Mata Annanda menyipit menatap remaja di depannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Tangan disilangkan di dada, dan bibir tipisnya merapat tidak senang.
Pemuda di depannya memiliki kulit tan, dan lumayan tinggi. Annanda harus mendongak jika ingin menatap langsung wajahnya. Ia juga cukup tampan. Mata hitamnya tajam dan jernih. Alisnya lebat dan tulang hidungnya tinggi. Bibirnya, yang tengah melengkung ke bawah karena kecewa, merah dan penuh. Rambut hitam yang dipotong rapi jatuh menutupi dahi.
Orang seperti ini tidak akan sulit mendapatkan gadis yang diinginkannya. Annanda tahu karena telah melihat buktinya sendiri. Lihat saja Niko, memang siapa gadis di sekolah mereka dulu yang belum dipacarinya?
Namun, Arga justru berdiri di sini, dan meminta Annanda untuk menonton bersamanya. Annanda ingin mendengkus.
Pertama, ia tidak merasa cantik. Wajahnya biasa saja, walau ia memang lebih tinggi dari anak-anak perempuan lain seusi
"Maafkan aku," ujar Annanda masih dengan senyum mengerikan itu. "Tanganku licin, jadi tergelincir. Aku harap kuah sotonya sudah nggak terlalu panas.""Berani-beraninya..." geram si kakak kelas.Kuah soto dan isiannya menetes netes dari rambut ber-hair extention.Wajahnya merah padam. Kuah soto juga mengalir di pipi dan dahinya, membuat jejak kuning berminyak bumbu di atas kulit mulus ber-make up.Seluruh siswa di sana menonton mereka sambil menahan napas. Tidak ada yang beranjak untuk melerai maupun menegur. Beberapa bahkan sibuk merekam.Sang kakak kelas melayangkan telapak tangannya ingin menampar, namun Annanda telah lebih dulu menahannya.Ia menggenggam pergelangan tangan kakak kelas itu dan menariknya mendekat, membuat yang dipegang memekik takut. Niko menahan tawa melihat wajah siswi yang lebih tua itu memucat. Sekalipun tubuh Annanda lebih kecil darinya, jangan diremehkan. Tenaga gadis itu bisa menyaingi seorang preman
"Aku tidak memesan ini," kata Annanda sembari menyerahkan benda yang diberi Arga padanya pagi tadi."Memang. Tapi kamu sudah memegangnya. Barang yang dipegang tidak bisa dikembalikan.""Tidak mau.""Harus mau.""Aku tidak menerima benda yang disedekah dengan cuma-cuma." Annanda menggeleng. "Aku bukan pengemis.""Kalau begitu kamu harus bayar.""Aku tidak punya uang."Bohong. Annanda punya banyak uang. Uang ayahnya yang dikirim setiap bulan padanya. Uang yang tidak ingin ia gunakan."Hmm, kalau begitu bayar dengan pergi keluar sekali denganku."Annanda menyipitkan mata. "Itudealyang buruk. Waktuku jauh lebih berharga daripada ini."Arga tertawa renyah. "Bagaimana kalau satu jam istirahat saja?""Hmm..." Annanda menggumam sambil pura-pura berpikir. "Tidak.""Ayolah, aku memaksa. Kamu sendiri bilang kita bisa saling mengenal, iya, 'kan?""Aku tidak mau disogok.""Anna,
Annanda membasuh tangan di wastafel, lalu meraih tisu untuk mengeringkannya. Ia baru akan berbalik pergi untuk kembali ke kelas ketika tiga orang siswi seangkatan dengannya masuk dan menghadang langkahnya.Yang berdiri di tengah (warna lipstiknya merah sekali, membuat bibirnya terlihat seperti berlapis darah) maju satu langkah dan mencondongkan tubuh pada Annanda."Kukira ada bau apa, ternyata seorang gelandangan yang entah bagaimana lolos seleksi untuk masuk istana," ucapnya. Dua teman diu samping kiri dan kanannya tertawa-tawa.Annanda dan Niko memang tidak pernah mengungkapkan siapa mereka sebenarnya. Seluruh anak sekolahan yang mengenal mereka hanya tahu bahwa mereka berdua berasal dari sebuah SMP kecil terpencil yangndeso.Andai mereka tahu jika seragam yang mereka kenakan itu berasal dari perusahaan garmen milik ayah Annanda, orang yang mereka sebut gelandangan. Ironisnya, Annanda malah tidak ingin siapapun mengetahuinya.Niko
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha