Saking marahnya ia, Alyasha sampai tertawa.
"Aku? Aku yang memulai? Aku meminta Mas Arya untuk memberhentikan wanita penggoda itu, tapi Mas Arya menolak! Kenapa?! Mas Arya tidak ingin kehilangan selingkuhan?! Dan Mas Arya masih punya kepercayaan diri untuk mengatakan aku yang memulai semua ini?!"
Aryadi meraih gelas dari atas meja dan melemparnya ke dinding hingga pecah berantakan. Suaranya demikian nyaring menggema dalam rumah itu.
"Kamu yang terlebih dahulu membohongiku! Kamu berkata sedang menginap di rumah Sashya, namun sebenarnya kamu sedang bersama pria itu di hotel! Kamu kira aku tidak tahu?! Berapa lama kamu sudah membohongiku seperti itu, Alyasha!"
Alyasha menatapnya dengan mata melebar terkejut. Kejadian beberapa bulan yang lalu ketika ia mabuk dalam gathering yang diadakan Agency-nya berputar di dalam benak. Mas Arya tahu bahwa ia berbohong? Tapi tidak ada apapun yang terjadi antara ia dan Juan hari itu!
"Itu tidak benar!"
Aryadi tiba di kantornya hari itu dengan wajah muram. Semua karyawan yang berpapasan dengannya menundukkan kepala dan menggumamkan salam mereka, yang sama sekali tidak ditanggapi olehnya. Hubungan gelap sang CEO perusahaan dengan asisten pribadinya telah menjadi rahasia umum di perusahaan itu. Karyawan yang baru bergabung selalu bergosip tentang itu di setiap kesempatan. Sementara karyawan lama yang masih bertahan hanya bisa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka ingat betapa harmonisnya keluarga Pak Arya dulu. Istri dari bos mereka sering kali datang berkunjung membawakan bekal. Semua orang mengenalnya karena selain sangat cantik dan terkenal sebagai mantan model, Alyasha sangat ramah kepada siapapun. Tidak ada yang mengerti kenapa Pak Arya mau mengkhianati sang istri demi wanita seperti Jesselyn. Tak seorangpun di perusahaan yang menyukai Jesselyn. Wanita itu terlalu angkuh, terlalu glamour, dan tidak segan-segan menggoda siapapun
Arion menatap keluar jendela bus yang meluncur mulus di jalanan beraspal yang akan mengantarnya ke sekolah pagi itu. Ada sebagian kecil hatinya yang merasa bersalah kalau teringat suara sedih Annanda saat bicara padanya pagi itu. Namun, perasaan bersalah itu segera saja digulung rasa marah dan jijik mengingat pembicaraannya dengan sang ayah dua minggu yang lalu. Beberapa hari setelah pertengkaran kedua orang tuanya, Arion menemui sang ayah. Ia ingin bicara dengan ayahnya mengenai keadaan kelurga mereka. Juga mengenai kata-kata ayah yang keterlaluan menyebut Annanda sebagai anak haram. Arion memutuskan untuk pergi ke kantor ayahnya karena semenjak pertengkaran itu, baik ayah maupun ibu belum sekalipun pulang ke rumah. Yang tidak diperkirakan Arion adalah, ayahnya yang tertidur kelelahan di atas meja kerja di kantornya. Arion wajah ayahnya yang jelas sekali tampak lebih kurus. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak sangat jelas. Dalam t
Ayah dan ibu mereka semakin jarang berada di rumah. Kadang-kadang, Arion bisa tidak bertemu dengan orang tuanya lebih dari sebulan. Ia tidak lagi memedulikannya. Ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri. Ia menjadi lebih aktif di sekolah maupun dengan kegiatan organisasi luar sekolah. Arion juga tidak ingin menghabiskan waktu di rumah yang hanya menyisakan rasa pahit di mulutnya. Keluarganya pernah bahagia. Mereka pernah hidup dengan saling menyayangi. Rasanya seperti sudah lama sekali. Lagipula ia tidak ingin bertemu dengan Annanda. Setiap kali mengingat Annanda, yang Arion rasakan hanya rasa marah akan pengkhianatan. Tiap kali melihat Annanda, Arion merasakan dorongan kuat untuk menyakitinya. Untuk membuatnya menyadari bahwa ia adalah hasil dari perbuatan kotor yang ibunya lakukan. Bahwa Annanda adalah salah satu hasil dari malapetaka keluarga mereka. Rasa sayang yang dulu ia miliki terhadap Annanda te
"Nama saya Allena. Allena Patricia." Wanita itu mengulurkan tangan untuk menjabat Aryadi. Senyum di bibirnya tersungging lembut seperti matahari pagi. Aryadi merasa wajah wanita yang tampak lemah lembut ini mengingatkannya pada seseorang. "Pak?" Ia berdeham. Berusaha mengembalikan ketenangan yang biasa ia miliki ketika menghadapi orang lain. Ia mengeluarkan senyum charming andalannya. "Oke, jadi," Aryadi membaca sekilas curriculum vitae milik wanita itu. "Allena. Apa motivasi kamu melamar pekerjaan sebagai asisten direktur?" Allena merona. Ia merasa malu akan alasan yang sebenarnya, namun ia juga tidak ingin berbohong. "Saya... sejujurnya, saya tertarik dengan pendapatan yang ditawarkan." Allena menunduk sebentar. Namun, kemudian ia tampak seperti memantapkan hati. "Saya tidak ingin bersikap munafik. Namun, saya sedang membutuhkan uang untuk pengobatan orang tua saya." Sangat lugas dan kejujurannya benar-benar m
Juan memerhatikan Alyasha yang tengah memberi arahan pada beberapa orang model di dalam studio. Sebagai seorang fashion designer, Juan bertanggung jawab untuk fitting pakaian para model yang akan melakukan running dalam Dean's and Din Fashion Showyang digelar minggu depan. Juan bisa melihat jejak-jejak kemerahan di mata Alyasha. Bukti ia telah menangis semalaman. Kalau boleh jujur, meski Alyasha hanya pulang sekali dalam sebulan atau dua bulan, Juan tetap tetap tidak merasa senang setiap Alyasha memutuskan untuk pulang karena ketika ia kembali, wanita itu terlihat sepuluh kali lebih menyedihkan. Alyasha terlihat menjadi lebih kurus dalam beberapa bulan belakangan. Juan berusaha sebaik-baiknya menyempatkan diri mengajaknya makan di sela-sela kesibukan mereka. Namun, Juan tahu, tubuh Alyasha yang mengurus bukan hanya karena ia yang menjadi sering tidak nafsu makan, tetapi juga tekanan batin dan stress yang ia alami denga
Sepulang sekolah, Arion mendapati dirinya berada di dalam mobil mewah milik Brandon bersama beberapa orang pelajar yang tidak dikenalnya. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan tampak lebih tua dari Arion maupun Brandon. Mungkin kakak kelas mereka dari kelas dua belas. Beberapa berasal dari sekolah lain. "Nanti akan ada lebih banyak yang datang. Tenang saja, Bro. Pokoknya nggak bakal bosenin." Arion mengangkat sebelah alis. Ia ingin bertanya apa sebenarnya hal asyik yang akan mereka lakukan, tapi memutuskan untuk menahan diri. Tujuan mereka ternyata adalah rumah besar bergaya modern milik keluarga Brandon. "Orang tuaku sedang di luar kota." Brandon memberitahunya dengan cengiran lebar. "Jadi aman." Mereka tiba di bagian belakang rumah. Sebuah paviliun didirikan terpisah di sebelah rumah utama. Suara musik yang berdentam-dentam keras memenuhi area langsung menyambutnya. Setengah bagian paviliun itu merupakan ruang terbuka yang menghadap ke
Ada satu suara kecil di benak Arion yang memberitahunya bahwa ia tidak seharusnya minum minuman beralkohol. Ia memperkirakan itu mungkin suara nuraninya yang selama ini selalu dididik dan digembleng orang tuanya untuk selalu mengikuti nilai moral. Ia mencemooh dalam hati. Memangnya orang tuanya mengikuti nilai moral yang selalu mereka ajarkan padanya? Dengan senyum pahit Arion mengulurkan tangan untuk mengisi gelas slokinya kembali. Namun, sebelah tangan halus memegang tangannya, menghentikan gerakan Arion. Ia mendongak, pandangannya berbenturan dengan wajah feminim yang tidak dikenalnya. "Jangan minum terlalu banyak," ujar gadis itu dengan suara halus. "Nanti mabuk." Arion tertawa rendah. "Aku kira kalian semua ingin aku mabuk?" "Tidak juga. Tidak semuanya." Sang gadis merapatkan tubuh pada Arion. "Contohnya aku. Daripada mabuk, aku lebih suka kalau kita memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan." Suarany
"Kamu menangis lagi," ucap Juan ketika mereka akhirnya memiliki waktu untuk breakmakan siang. Lelaki dengan mata sebiru laut dalam itu memerhatikan wanita yang duduk di depannya dengan seksama. Alyasha hanya melambaikan tangan, menyuruhnya untuk tidak usah khawatir. "Bukankah sudah biasa?" Alyasha tertawa pahit. "Kapan aku tidak menangis kalau aku menyempatkan diri pulang ke rumah?" "Kalau begitu jangan pulang," kata Juan tanpa bisa menahan diri. Alyasha tertawa lagi. Kali ini lebih tulus. Seakan Juan benar-benar mengatakan sesuatu yang lucu. "Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu? Juan, aku masih istri sah Mas Arya." "Queenie," Juan meraih tangan Alyasha di atas meja, meremasnya lembut. "Aku tidak tahu apa yang masih membuatmu bisa bertahan. Tapi, aku sungguh tidak ingin melihatmu seperti ini." "Apa pilihan yang kupunyai, Juan? Apa aku harus meninggalkan Mas Arya? Meninggalkan kedua anakku?" Alyasha