Claire mendesah dalam hati. Tidak berani mengucapkan apa yang ada di pikirannya.
Claire tidak mungkin menyuarakannya atau Nick bisa langsung naik pitam.Claire yakin kalau Nick tidak mungkin diam saja jika mengetahui apa yang telah Levin lakukan padanya di malam itu. Masalahnya, Claire tidak ingin membuat keributan, makanya dirinya memilih diam. Lagipula bisa dibilang malam itu tidak mempengaruhi kehidupan sosial Claire, jadi anggap saja tidak terjadi apapun.Dirinya memang dirugikan, tapi itu konsekuensi yang harus Claire hadapi sendiri.Claire tidak ingin melibatkan Nick dalam masalah pribadinya.Claire tidak ingin melibatkan Nick hanya karena kebodohan dan kecerobohannya.“Tenang saja, hal itu tidak akan terjadi,” tandas Claire sambil meminta maaf dalam hati, merasa bersalah karena telah membohongi Nick.Nick menoleh sesaat, entah kenapa dirinya merasa ada yang sengaja Claire sembunyikan darinya. Belasan tahun bersahabat membuat Nick bisa merasakan“Claire, kamu tidak lupa kan kalau malam ini acara ulang tahunnya Sasha?” tanya Mia saat mereka bertemu di kantin kampus yang ramai.Ya, setelah menyelesaikan sidang, praktis Claire bisa lebih santai, tidak seperti Mia yang masih harus mengikuti kelas. Dan daripada di rumah, Claire lebih memilih datang ke kampus agar bisa bertemu dengan Nick dan temannya yang lain. Bosan jika selalu sendirian di rumahnya yang besar namun sepi. Claire menepuk keningnya saat mendengar pertanyaan Mia. Jujur, dirinya lupa jika tidak diingatkan oleh Mia. Kehadiran Levin yang tiba-tiba dalam hidupnya ditambah kepusingannya menjelang sidang skripsi kemarin membuat Claire melupakan segalanya, termasuk undangan ulang tahun Sasha malam ini. Beruntung Mia mengingatkannya, jika tidak, Claire pasti lupa pada janjinya sendiri! “Untung kamu mengingatkanku. Jika tidak, aku pasti lupa. Thanks, Mia.” “Itu gunanya sahabat kan?” balas Mia yang ditanggapi senyum tipis milik Claire. Enggan me
Claire melangkah sempoyongan menuju toilet. Alkohol sudah menguasai tubuhnya membuat Claire tidak bisa melangkah dengan benar. Sekarang, dirinya hanya bisa menyesali kecerobohannya karena tidak berhenti menyesap alkohol sejak tadi. Ahh, sejak dulu Claire memang ceroboh. Jika sudah bertemu dengan yang namanya alkohol, bibirnya seolah enggan berhenti. Kebiasaan buruk! “Gawat. Aku harus pulang sekarang sebelum terkapar disini,” lirih Claire sambil memegang kepalanya yang mulai berputar dan terasa pusing, bahkan lantai yang dipijakinya juga terasa goyang seolah ada gempa bumi. Ditambah rasa kantuk yang begitu pekat membuat matanya enggan terbuka lebar. Kacau! Sementara itu di tempat lain…Mia menghubungi nomor seseorang yang bisa memuluskan rencananya. “Dia sedang menuju toilet. Segera lakukan apa yang telah kita sepakati. Jika kamu bisa melakukannya dengan baik, maka aku akan transfer uangnya saat ini juga! Ingat, kamu harus melakukannya dengan benar. Aku tidak
Nick mengumpat saat ponselnya mendadak sunyi. Suara Claire lenyap bagai ditelan bumi. Hanya ada hening, tidak ada kelanjutannya, padahal Nick yakin Claire masih ingin mengatakan sesuatu namun anehnya sambungan telepon terputus tanpa sebab. “Halo? Claire? Claire? Jawab aku, Claire!”Tidak ada jawaban. Rasa panik menguasai hati Nick. Pria itu berusaha menghubungi nomor Claire, tapi percuma karena ponselnya malah tidak aktif membuat kepanikan Nick semakin menjadi-jadi hingga rasa dingin merasuk ke tubuhnya. Takut terjadi hal buruk pada Claire. Ya Tuhan, semoga saja tidak! Nick mencoba tenang, mengingat-ingat lokasi pesta ulang tahun Sasha diadakan. Ya, sebenarnya dirinya juga diundang, tapi Nick enggan hadir. Sejak dulu dirinya memang tidak suka pada acara pesta seperti itu, hanya membuang-buang waktunya saja. Lebih baik tidur! Tapi kini Nick malah menyesali keputusannya.Andai dirinya ikut hadir, Claire pasti tidak akan meneleponnya seperti tadi. Andai
“Bereskan dia!” perintah Levin pada Johan, sambil mengendikkan dagunya ke arah Mia. Tidak ingin berhadapan langsung dengan wanita licik itu. Wanita yang lagi-lagi hendak menjebak Claire! Untung kali ini Levin berhasil menggagalkan rencana busuk Mia untuk yang kedua kalinya. Jika tidak, gossip buruk tentang Claire pasti langsung tersebar luas karena ulah wanita licik itu! Sekarang, belum saatnya bagi Mia untuk melihat dirinya. Belum saatnya Mia mengetahui jika ada Levin yang selalu mengawasi Claire meski hanya dari kejauhan. Belum saatnya Mia mengetahui jika Levin memiliki ‘hubungan khusus’ dengan Claire.Saking khususnya, hingga tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya! Jika Mia melihatnya sekarang, wanita itu pasti akan lebih berhati-hati dalam bertindak karena Levin yakin kalau Mia pasti mengenalnya. Tentu saja, rasanya di seluruh kampus tidak ada wanita yang tidak mengenal Levin! Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi memang itulah kenyataannya
Claire baru bisa bernafas lega saat pria itu tiba-tiba menjauh darinya membuat tubuhnya yang sudah limbung langsung jatuh tersungkur ke atas lantai marmer yang dingin karena tidak ada lagi yang menyangga tubuhnya. Jujur, Claire merasa nyeri saat lengannya berbenturan dengan lantai, tapi tidak masalah yang penting dirinya tidak lagi dicium dengan paksa! Levin menarik Anton ke tempat sepi, tidak ingin membuat keributan yang bisa disaksikan oleh banyak orang. Dirinya harus bisa meminimalisir masalah yang mungkin muncul. Levin tidak ingin wajahnya direkam dan disebarluaskan tanpa izin. Memang, menyeret pria seperti Anton bukan hal yang mudah, namun bagi Levin yang sedang dilanda amarah, perlawanan Anton seolah tidak ada apa-apanya. Setelah tiba di basement, tempat parkir mobil yang sepi dan dirasanya aman, Levin langsung melontarkan tinjunya ke wajah Anton hingga pria itu memekik kesakitan. Bukan hanya satu kali pukulan, namun berkali-kali bagaikan orang kalap.
Levin menghembuskan nafas lelah setelah membaringkan Claire di atas ranjang, bahkan wanita itu tidak terusik sama sekali. Tidur lelap bagaikan orang pingsan! Jika bukan Levin yang menolongnya, mungkin Claire sudah dimanfaatkan oleh pria lain!Beruntung kali ini Mia tidak mencekokinya dengan obat perangsang, jika tidak, sudah pasti mereka akan mengulang aktivitas panas yang pernah terjadi di malam itu. Bukannya Levin tidak mau, tapi jika dirinya melakukan hal itu lagi saat Claire tidak sadarkan diri, sudah pasti wanita itu akan mengamuk padanya dengan amukan yang pastinya jauh lebih dahsyat. Sedangkan Levin tidak ingin menerima amukan Claire. Levin tidak ingin wanita itu semakin membencinya karena jika begitu, maka niat Levin untuk meluluhkan hati Claire pasti gagal total! Jika boleh jujur, Levin ingin mengulang apa yang mereka lakukan malam itu. Sangat ingin, apalagi jika mengingat juniornya yang sekarang begitu rewel dan hanya menginginkan Claire, tapi akal sehat
Nick menginjak pedal gas semakin dalam, kemacetan memang sudah menjadi makanan sehari-hari meski malam telah cukup larut. Mengingat Bali adalah salah satu tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi turis, ditambah lagi dengan café atau bar yang terus bertambah membuat Bali kian padat. Kepadatan tidak bisa lagi dihindarkan karena malam adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk bersenang-senang di café ataupun bar yang ada, asyik bercengkerama dengan teman ataupun kenalan baru dengan niat nakal. Ya, kehidupan Bali yang terbilang bebas membuat banyak wanita nakal berseliweran di tempat yang berhubungan dengan dunia malam, siap untuk menggoda dan menggaet bule-bule kesepian yang berdompet tebal. Bule yang siap mengeluarkan banyak uang hanya untuk memuaskan hasrat mereka. Bule yang siap mengeluarkan uang hanya untuk kesenangan satu malam saja. Wajar jika kepadatan itu membuat Nick kesulitan untuk mempercepat laju kendaraannya ke batas maksimal. Menyadari betapa la
Levin memandang Claire yang terlelap. Tidak menyadari apa yang terjadi. Tidak menyadari sekelilingnya sama sekali. Bagaikan putri tidur. “Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan Mia? Kenapa wanita itu begitu gigih ingin mencelakaimu?” lirih Levin, ingin tau apa yang mendasari niat buruk Mia hingga wanita itu tega menyusun rencana seburuk ini pada Claire.“Dan kenapa kamu masih menganggapnya sebagai sahabat? Apa kamu benar-benar tidak tau kalau orang yang kamu anggap sahabat begitu membencimu? Senaif itukah kamu?” tambah Levin meski sadar kalau Claire tidak mungkin menjawab pertanyaannya karena wanita itu asyik dalam dunia mimpi.Levin masih asyik memandangi wajah Claire saat bel kamarnya kembali berbunyi dan wajah Johan lagi-lagi muncul di hadapannya. Tatapan mata pria itu terlihat menyelidik. Menatap Levin dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Tatapan yang membuat Levin merasa gusar sekaligus risih. “Ada apa lagi?” “Tidak. Saya hanya ingin memast
Daddy Alex mengangkat alis saat mendengar permintaan Claire. “Nick juga tidak tau tentang kehamilan kamu? Bagaimana mungkin kamu menutupinya dari Nick yang adalah sahabat terdekatmu?”“Mungkin saja, Dad. Karena sampai detik ini hanya daddy yang tau dan aku juga tidak ingin orang lain tau mengenai kehamilanku, termasuk Nick.”“Daddy paham jika kamu tidak ingin orang lain tau mengenai kehamilanmu, tapi harusnya dengan Nick tidak masalah kan?” tanya daddy Alex, masih belum memahami jalan pikiran putri kandungnya. “Justru jika Nick tau mengenai kehamilanku, itu akan menjadi masalah besar, Dad. Daddy tau sendiri kalau Nick jauh lebih protektif daripada daddy. Selain protektif, Nick juga suka bertindak menyebalkan, dia pasti akan mengomeliku dan menceramahiku habis-habisan. Padahal daddy saja tidak melakukannya,” sungut Claire membuat daddy Alex terkekeh pelan. Tidak bisa memungkiri kebenaran dari ucapan putrinya. Ya, bagaimanapun juga daddy Alex melihat Nick tumbuh
Daddy Alex mengusap wajahnya yang terlihat semakin tua setelah mendengar pengakuan Claire. Pria paruh baya itu menghela nafas berat. “Jujur, daddy sangat kecewa dengan kamu. Selama ini daddy tidak pernah melarang kamu untuk melakukan apapun yang kamu suka, tapi daddy sudah berulang kali mengingatkan kamu agar tidak melewati batas, tapi malah akhirnya terjadi hal seperti ini. Namun di sisi lain, daddy menghargai kejujuran kamu. Mengakui hal sebesar ini pasti bukan hal yang mudah untuk kamu.” “Maaf, Dad.”“Tapi daddy juga merasa bangga karena kamu berani bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kamu lakukan, meski tanpa sengaja. Kamu sudah dewasa dan sudah bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, jadi jika kamu merasa Melbourne adalah negara yang tepat untuk ditinggali, daddy tidak akan melarang kamu. Daddy akan mendukung apapun keputusan kamu, asalkan kamu yakin kalau itu memang yang terbaik untukmu dan si kecil.”Claire menatap daddy Alex dengan mata berkaca-kaca.
Lagi, daddy Alex mendesah berat. Melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah sang daddy membuat rasa bersalah yang menyerbu hati Claire kian meningkat. Selama ini Claire bertekad untuk tidak mengecewakan orangtuanya, tapi lihatlah kini apa yang dirinya lakukan terhadap daddy Alex? Claire bukan hanya mengecewakan daddy Alex, tapi juga membuatnya malu dengan hamil di luar nikah, tanpa tau siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, setidaknya itulah yang Claire akui pada daddy Alex. “Apa kamu tidak berniat mengugurkan bayi itu?”“Tentu saja tidak, Dad! Bayi ini tidak berdosa, jadi aku tidak akan pernah membunuhnya. Apalagi meski bayi ini hadir karena kecerobohanku, tapi dia tetap darah dagingku, Dad!” sergah Claire, cukup kaget dengan pertanyaan daddy Alex.Tak urung hal itu membuat hati Claire bergetar takut. Takut daddy Alex memaksanya untuk melakukan aborsi, hal yang tidak mungkin Claire lakukan. Cukup sekali dirinya melakukan kesalahan, Claire tidak ingin melak
Keesokan harinya…Telapak tangan Claire saling bertaut. Hal yang selalu dilakukannya saat rasa gelisah melanda hatinya. Ini adalah hari pengakuan, wajar jika jantungnya berdebar kencang.Saking gelisahnya, suara ketukan pelan pun terdengar bagaikan bom di telinga Claire hingga wanita itu terlonjak kaget. “Nona, tuan besar sedang menunggu anda di ruang makan agar bisa makan malam bersama,” panggil Susan lembut. Oke, inilah saatnya. Tidak ada lagi kata mundur. Setiap weekend, daddy Alex memang lebih sering berada di rumah, kecuali jika ada urusan di luar kota atau luar negeri. Sedangkan hari-hari biasa dari Senin sampai Jumat, Claire malah tidak tau daddy Alex pulang ke rumah jam berapa saking sibuknya, maka dari itu Claire memilih weekend untuk mengaku dosa. Saat dimana daddy Alex bisa bersantai di rumah. “Oke. Sebentar lagi aku turun ke ruang makan.”Susan berlalu pergi, meninggalkan Claire yang sibuk menyiapkan hati. Wanita itu menghembuskan nafas panjang
Claire menelan saliva dengan gugup saat mendengar ucapan sang dokter. Tidak heran kalau suaranya sedikit terbata saat menjawab,“Ba… baik, Dok.”“Untuk point terakhir biasanya cukup sulit dilakukan karena suami anda belum terbiasa saat harus ‘puasa’ dadakan, ditambah lagi umumnya gairah ibu hamil bisa melonjak naik karena pengaruh hormon,” lanjut Rena, tidak memahami rasa canggung yang Claire rasakan. Atau bukan tidak paham tapi tidak peduli? Entahlah, yang pasti Claire hanya diam mendengar ucapan dokter yang membuat wajahnya memerah. Meski itu adalah hal yang wajar mengingat dokter kandungannya tidak mengetahui tentang kondisi Claire yang sebenarnya dengan pria yang menanam benih dirahimnya.“Baik, Dok.”Claire keluar dari ruangan, bergegas menebus resep yang ditulis dan pulang ke rumah.Usai makan malam, Claire merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sibuk memandangi foto bayinya, yang baru terlihat seperti seukuran kacang, tapi dirinya tetap merasa takjub de
Claire mendorong piringnya menjauh, meski hanya lima suapan, tapi setidaknya sudah ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Itu lebih baik daripada kosong sama sekali. Wanita itu menoleh ke arah Susan yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa sekotak sandwich, bekal yang selalu Claire bawa ke kantor karena perutnya selalu meronta kelaparan meski belum waktunya jam makan siang akibat si kecil. “Thank you, Susan,” ucap Claire dan bergegas ke kantor sebelum terlambat.Sore hari di RS Permata Bunda…Claire meremas kedua tangannya dengan gelisah. Sekarang dirinya sedang menunggu antrian untuk menemui dokter kandungan. Heran, waktu sudah sore, tapi kenapa antriannya masih cukup panjang? Apakah dokter yang ditemuinya ini memang bagus?Sejujurnya, Claire tidak tau menau tentang dokter kandungan sama sekali. Dirinya hanya mencari rumah sakit yang cukup jauh dari kantor maupun rumahnya agar kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dikenalnya semakin menipis. Namun ha
Claire menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Setelah mandi dan makan malam, kini Claire sedang berbaring di ranjang empuknya. Meski dirinya sudah dalam posisi siap beristirahat, namun matanya enggan terlelap. Pembicaraannya dengan Levin tadi masih terngiang jelas di benak Claire. Oh, Tuhan! Bagaimana bisa Claire mengiyakan ajakan Levin untuk berteman? Kenapa bibirnya malah mengucapkan hal yang bertolak belakang dengan otaknya? ‘Apakah aku benar-benar mengiyakan permintaannya? Tentu saja iya, jika tidak, lalu siapa tadi yang berbicara?’ gerutu Claire merutuki hatinya yang mudah goyah. Seharusnya Claire menolak permintaan Levin untuk berteman.Seharusnya Claire mengambil langkah seribu saat Levin mendekatinya.Seharusnya Claire mengusir Levin saat melihat pria itu muncul di ruang tamu rumahnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengatakan apapun. Dan masih banyak kata ‘seharusnya’ yang berkecamuk di dalam benak Claire hingga membuatnya sulit tidur mesk
Keterdiaman Claire membuat Levin gugup. Pria itu tidak menyadari kalau Claire sama gugupnya dengan Levin, hanya saja Claire dapat menutupi perasaannya dengan baik. Levin menatap Claire dalam-dalam, memutuskan untuk terus maju. Dirinya bukanlah pria pengecut, jadi meski rasa gugup menguasai hatinya, tapi Levin harus tetap mengatakan apa yang dirinya rasakan. Saat Levin memutuskan datang ke rumah Claire, dirinya sudah bertekad untuk mengakui isi hatinya dan ingin mengatakan apa yang hatinya inginkan, dan inilah saatnya. Inilah kesempatan bagi Levin untuk mengutarakannya. “Aku harus mengakui satu hal, yaitu tentang alasan kenapa aku terus mengejarmu meski kamu telah menolak kehadiranku berulang kali. Alasan kenapa aku mengabaikan permintaanmu agar kita bersikap tidak saling mengenal.”“Kenapa?” “Karena aku menyukaimu.”Claire mengerjap, lidahnya terasa kelu. Bibirnya seolah terkunci rapat. Pengakuan Levin memang singkat, tapi sanggup memporak porandakan hati
Claire melajukan mobilnya menuju rumah, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya merasa aman dan nyaman karena di rumah besarnya hanya ada Susan dan Claire bisa mengunci diri di kamar selepas makan malam hingga tidak ada yang curiga meski terdapat perubahan pada dirinya. Ya, tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini Claire baru menyadari kalau rasa mual yang sempat dirasakannya adalah karena pengaruh kehamilan, bukan sekedar masuk angin. Morning sickness itulah istilahnya meski harus Claire akui kalau rasa mualnya tidak hanya datang di pagi hari karena di saat-saat tertentu, rasa mual itu bisa saja datang. Terserah keinginan bayi kecilnya saja. Ditambah lagi indera penciumannya semakin sensitive membuatnya langsung mual jika mencium aroma yang terlalu menyengat, entah seperti ikan, gorengan, parfum, makanan tertentu atau hal lainnya. Namun betapa kagetnya Claire saat setibanya di rumah, dirinya malah menemukan Levin sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Menunggu kepula