Levin mendesah pelan, pria itu baru saja berjalan 3 langkah saat otaknya teringat sesuatu. Detik itu juga tangannya terulur mencari ponsel di saku celananya dan menghubungi Johan, memberi tugas yang hampir terlupakan.
“Ada masalah lagi, Tuan?”Itulah ucapan pertama yang keluar dari bibir Johan seolah telepon dari Levin bagaikan mimpi buruk karena tidak jauh dari kata ‘masalah’. Levin mendengus mendengar pertanyaan Johan, tidak ada kesan mengejek, benar-benar hanya sekedar bertanya.“Tidak, tapi aku ingin minta bantuanmu. Tolong selidiki Mia, wanita yang kemarin kamu ancam dan laporkan padaku mengenai hasilnya secepat mungkin. Aku ingin mendengar semua informasi tentang wanita licik itu tanpa terkecuali. Paham?”“Baik, Tuan.”Sementara itu, Nick yang masih menunggu kedatangan Claire mencoba menebak jawaban apa yang akan Claire berikan padanya sebentar lagi.Jujur, Nick penasaran. Biasanya Claire tidak pernah berbohong seperti ini kepadanya, tapi kenapa kaliClaire baru saja bangun dari tidur siangnya saat ponselnya berdering. Dari Nick. “Ya, Nick?” “Tidur?” tanya Nick saat mendengar suara Claire yang serak. “Baru bangun, lagi kumpulin nyawa. Kenapa?”“Minggu depan apa kamu bisa temani aku datang ke pesta Shierly?” pinta Nick, menyebut nama sepupunya yang berulang tahun ke 17 alias sweet seventeen. “Oke. Ada dresscode?”“Casual, temanya black and white.”“Sipp.”Pembicaraan pun berakhir. Claire memutuskan turun ke ruang makan. Ya, inilah yang dilakukannya sesaat setelah bangun tidur, selalu mencari cemilan untuk disantap. Claire baru mengunyah kue saat Susan, asisten rumah tangga yang sudah mengasuhnya sejak kecil, muncul.“Non, tadi tuan besar titip pesan, katanya besok siang nona diminta datang ke kantornya. Ada hal penting yang mau dibahas katanya.”“Besok kan hari sabtu, kenapa tidak bicara di rumah saja? Apa daddy tetap kerja meski weekend?” gerutu Claire lirih. Pertanyaan yang dituj
Daddy Alex menghela nafas pelan saat mendengar jawaban putrinya yang terkesan dingin, namun daddy Alex tidak menyalahkan Claire karena hubungan mereka merenggang memang karena kesalahannya juga yang terlalu lama mengabaikan Claire dan sibuk berkubang dengan kesedihannya sendiri, padahal itu adalah masa sulit dimana Claire paling membutuhkan kehadirannya. “Setelah lulus apa rencana kamu?” “Belum tau, Dad. Aku masih belum memutuskan langkah selanjutnya,” aku Claire jujur. “Bagaimana kalau kamu membantu daddy di perusahaan? Rasanya kamu sudah cukup dewasa untuk belajar mengatur perusahaan. Kamu bisa belajar mengelola perusahaan dari nol agar lebih memahami tentang seluk beluk kantor ini. Daddy tidak akan mengistimewakan kamu meski kamu adalah putri kandung daddy, bagaimana?” Tawaran daddy Alex membuat Claire tergoda. Jujur, Claire pikir daddy Alex akan memintanya bekerja di kantor ini dengan status anak dari pemilik perusahaan, tapi ternyata tidak. Jika sama-sama be
Claire mengerang. Kenapa dirinya bisa bertemu dengan Levin lagi? Padahal ini adalah bar yang berbeda dari sebelumnya. “Ternyata benar kamu, aku pikir salah lihat,” ucap Levin sambil berjalan mendekati Claire. Tidak menduga kalau ada kebetulan seperti ini. Levin tidak tau kalau Claire juga suka datang ke bar ini. Mungkinkah ini yang dinamakan takdir? Makanya mereka sering bertemu meski di tempat yang berbeda! Claire hanya tersenyum tipis. Sejak pembicaraan terakhir mereka di café yang berujung tertangkap basah oleh Nick, sejak itu pula mereka belum pernah bertemu lagi karena Claire memang tidak datang ke kampus. “Mau pulang? Bukankah sekarang masih terlalu awal untuk pulang?” tanya Levin, tidak ada maksud mengejak, hanya heran karena waktu baru menunjukkan jam 9.40, bukankah bagi yang menyukai dunia malam itu masih terlalu dini untuk pulang? “Sepertinya aku lebih memilih tempat lain untuk bersantai seperti café,” balas Claire sambil mengangkat bahu, tanpa wan
Claire melambaikan tangan, hendak memanggil waitress, hingga alis Levin terangkat heran, mengira wanita itu ingin memesan makanan lagi. “Pesan lagi? Apa kamu masih belum kenyang?” tanya Levin, sedikit takjub dengan porsi makan Claire yang jauh dari kata minim. Claire bahkan tidak ragu menyantap makanannya dengan lahap, tidak seperti wanita lain yang sering berpura-pura anggun dan hanya menyantap sedikit makanan jika di hadapan lawan jenis, tapi Claire malah menikmati makanannya tanpa ragu. Pengetahuan itu membuat Claire terlihat semakin menarik di mata Levin. Setidaknya wanita yang disukainya bisa menikmati hidup dengan baik! “Tidak. Jika ada, aku ingin memesan minuman.”Levin mengangguk paham. Kata minuman yang dimaksud Claire pasti bukan sekedar air putih ataupun juice, tapi yang mengandung alkohol. “Tidak takut mabuk?”“Kali ini aku hanya akan minum sedikit. Segelas saja.”Levin mengangguk, tidak berniat melarang dan melihat gelagat Claire, wa
Claire menutup bibirnya dengan panik, berusaha menahan rasa mual yang menyerangnya secara tiba-tiba hanya karena mencium parfum dengan aroma yang menyengat. Aneh, kenapa reaksi tubuhnya separah ini hanya karena sebuah parfum? Harus dirinya akui kalau aroma parfum itu membuatnya muak, tapi biasanya respon tubuh Claire tidak pernah seburuk ini! Nick, yang menyadari sikap aneh Claire hanya bisa terdiam sambil mengernyitkan kening. Setitik kecurigaan mampir ke hatinya namun pria itu berusaha mengusirnya jauh-jauh, tidak ingin menuduh Claire tanpa bukti! Lagipula banyak faktor yang bisa mendasari rasa mual kan? Claire berjalan cepat hendak menuju toilet saat rasa mualnya tidak tertahankan lagi. Di dalam toilet, Claire sibuk meredakan rasa mualnya hingga matanya berair. Rasanya baru kali ini Claire merasa mual separah ini. “Kenapa tubuhku jadi aneh begini? Apa karena terlalu lama berada di luar menikmati angin malam?” lirih Claire. Claire menyeka bibirny
“Sekarang sudah akhir bulan, tapi kenapa aku belum datang bulan? Apakah karena stress pekerjaan? Padahal biasanya selalu teratur,” gumam Claire heran. Hingga satu pemikiran terlintas di benaknya. Claire menggeleng keras, berusaha mengenyahkan pikiran laknat itu dari pikirannya, tapi sulit. “Aku tidak mungkin hamil kan? Setelah berhubungan seks dengan Levin dulu, aku langsung minum pil pencegah kehamilan dan kami hanya melakukannya sekali,” lirih Claire dengan rasa cemas yang merasuk ke hatinya.Claire lupa kalau yang sebenarnya terjadi adalah Levin melakukan hal terkutuk itu berulang kali tanpa dirinya sadari karena berada di bawah pengaruh obat. Dan berulang kali pula Levin sibuk menabur benih ke dalam rahimnya.Rasa cemas di hati Claire kian meningkat saat dirinya menyadari hal lain yang tidak kalah penting. Rasa mual yang akhir-akhir ini dirinya rasakan. Rasa mual yang Claire pikir hanya sekedar masuk angin belaka tapi nyatanya sudah seminggu lebih enggan pergi
Levin menatap ponselnya saat tidak mendengar suara apapun, mengira sambungan telepon terputus. Tapi ternyata tidak, ponselnya masih tersambung dengan nomor Claire, lalu kenapa wanita itu tidak merespon? “Claire?” Panggilan Levin membuat Claire tergagap, sadar kalau pikirannya sedang berkelana.“Memang, tapi bukan berarti kita bisa menjadi teman. Dan sepertinya ada baiknya kalau kita tidak perlu bertemu lagi. Lagipula aku sudah selesai sidang jadi sepertinya tidak perlu datang ke kampus lagi. Sudahlah, aku ingin istirahat, jadi aku akan langsung menutup teleponnya. Setelah ini jangan telepon aku lagi, okay?” cerocos Claire dan langsung memutuskan panggilan membuat Levin memaki pelan. Heran, kenapa Claire begitu sulit ditaklukkan? Bukankah sebelumnya wanita itu sudah bersikap jinak? Tapi kenapa sekarang jadi galak lagi? Kemana sikap hangat yang wanita itu tunjukkan saat mereka berbincang di café waktu itu? Kenapa wanita yang disukainya bertingkah seperti bunglon yan
Claire menatap hasil testpack di tangannya dengan nanar. Dari 4 testpack yang dirinya beli dan gunakan, semuanya menampilkan hasil akhir yang sama. Garis dua. Positif. Claire hamil! Damn! Bagaimana bisa seperti ini? Padahal Claire yakin kalau dirinya langsung meminum pil pencegah kehamilan setelah berhubungan seks dengan Levin! Claire yakin kalau dirinya bergegas membeli pil pencegah kehamilan kurang dari 24 jam setelah mereka melakukan hal itu. Bukankah katanya pil itu efektif asalkan dikonsumsi tidak lebih dari 24 jam setelah berhubungan seks? Tapi kenapa Claire masih bisa hamil? Apa dirinya hanya termakan iklan belaka?Apakah hasil testpacknya salah? Tapi apa mungkin testpacknya salah berjamaah? Jika hanya satu atau dua testpack yang salah, mungkin masih masuk akal, tapi masalahnya semua testpack merujuk pada hasil yang sama. Sial! Sial! Sial! Dan mereka hanya melakukannya sekali. Hanya sekali! Ya Tuhan, kenapa benih Levin begitu subur hingga sulit dicegah dan disingkirk
Daddy Alex mengangkat alis saat mendengar permintaan Claire. “Nick juga tidak tau tentang kehamilan kamu? Bagaimana mungkin kamu menutupinya dari Nick yang adalah sahabat terdekatmu?”“Mungkin saja, Dad. Karena sampai detik ini hanya daddy yang tau dan aku juga tidak ingin orang lain tau mengenai kehamilanku, termasuk Nick.”“Daddy paham jika kamu tidak ingin orang lain tau mengenai kehamilanmu, tapi harusnya dengan Nick tidak masalah kan?” tanya daddy Alex, masih belum memahami jalan pikiran putri kandungnya. “Justru jika Nick tau mengenai kehamilanku, itu akan menjadi masalah besar, Dad. Daddy tau sendiri kalau Nick jauh lebih protektif daripada daddy. Selain protektif, Nick juga suka bertindak menyebalkan, dia pasti akan mengomeliku dan menceramahiku habis-habisan. Padahal daddy saja tidak melakukannya,” sungut Claire membuat daddy Alex terkekeh pelan. Tidak bisa memungkiri kebenaran dari ucapan putrinya. Ya, bagaimanapun juga daddy Alex melihat Nick tumbuh
Daddy Alex mengusap wajahnya yang terlihat semakin tua setelah mendengar pengakuan Claire. Pria paruh baya itu menghela nafas berat. “Jujur, daddy sangat kecewa dengan kamu. Selama ini daddy tidak pernah melarang kamu untuk melakukan apapun yang kamu suka, tapi daddy sudah berulang kali mengingatkan kamu agar tidak melewati batas, tapi malah akhirnya terjadi hal seperti ini. Namun di sisi lain, daddy menghargai kejujuran kamu. Mengakui hal sebesar ini pasti bukan hal yang mudah untuk kamu.” “Maaf, Dad.”“Tapi daddy juga merasa bangga karena kamu berani bertanggung jawab atas kesalahan yang telah kamu lakukan, meski tanpa sengaja. Kamu sudah dewasa dan sudah bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, jadi jika kamu merasa Melbourne adalah negara yang tepat untuk ditinggali, daddy tidak akan melarang kamu. Daddy akan mendukung apapun keputusan kamu, asalkan kamu yakin kalau itu memang yang terbaik untukmu dan si kecil.”Claire menatap daddy Alex dengan mata berkaca-kaca.
Lagi, daddy Alex mendesah berat. Melihat kekecewaan yang terpancar dari wajah sang daddy membuat rasa bersalah yang menyerbu hati Claire kian meningkat. Selama ini Claire bertekad untuk tidak mengecewakan orangtuanya, tapi lihatlah kini apa yang dirinya lakukan terhadap daddy Alex? Claire bukan hanya mengecewakan daddy Alex, tapi juga membuatnya malu dengan hamil di luar nikah, tanpa tau siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, setidaknya itulah yang Claire akui pada daddy Alex. “Apa kamu tidak berniat mengugurkan bayi itu?”“Tentu saja tidak, Dad! Bayi ini tidak berdosa, jadi aku tidak akan pernah membunuhnya. Apalagi meski bayi ini hadir karena kecerobohanku, tapi dia tetap darah dagingku, Dad!” sergah Claire, cukup kaget dengan pertanyaan daddy Alex.Tak urung hal itu membuat hati Claire bergetar takut. Takut daddy Alex memaksanya untuk melakukan aborsi, hal yang tidak mungkin Claire lakukan. Cukup sekali dirinya melakukan kesalahan, Claire tidak ingin melak
Keesokan harinya…Telapak tangan Claire saling bertaut. Hal yang selalu dilakukannya saat rasa gelisah melanda hatinya. Ini adalah hari pengakuan, wajar jika jantungnya berdebar kencang.Saking gelisahnya, suara ketukan pelan pun terdengar bagaikan bom di telinga Claire hingga wanita itu terlonjak kaget. “Nona, tuan besar sedang menunggu anda di ruang makan agar bisa makan malam bersama,” panggil Susan lembut. Oke, inilah saatnya. Tidak ada lagi kata mundur. Setiap weekend, daddy Alex memang lebih sering berada di rumah, kecuali jika ada urusan di luar kota atau luar negeri. Sedangkan hari-hari biasa dari Senin sampai Jumat, Claire malah tidak tau daddy Alex pulang ke rumah jam berapa saking sibuknya, maka dari itu Claire memilih weekend untuk mengaku dosa. Saat dimana daddy Alex bisa bersantai di rumah. “Oke. Sebentar lagi aku turun ke ruang makan.”Susan berlalu pergi, meninggalkan Claire yang sibuk menyiapkan hati. Wanita itu menghembuskan nafas panjang
Claire menelan saliva dengan gugup saat mendengar ucapan sang dokter. Tidak heran kalau suaranya sedikit terbata saat menjawab,“Ba… baik, Dok.”“Untuk point terakhir biasanya cukup sulit dilakukan karena suami anda belum terbiasa saat harus ‘puasa’ dadakan, ditambah lagi umumnya gairah ibu hamil bisa melonjak naik karena pengaruh hormon,” lanjut Rena, tidak memahami rasa canggung yang Claire rasakan. Atau bukan tidak paham tapi tidak peduli? Entahlah, yang pasti Claire hanya diam mendengar ucapan dokter yang membuat wajahnya memerah. Meski itu adalah hal yang wajar mengingat dokter kandungannya tidak mengetahui tentang kondisi Claire yang sebenarnya dengan pria yang menanam benih dirahimnya.“Baik, Dok.”Claire keluar dari ruangan, bergegas menebus resep yang ditulis dan pulang ke rumah.Usai makan malam, Claire merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sibuk memandangi foto bayinya, yang baru terlihat seperti seukuran kacang, tapi dirinya tetap merasa takjub de
Claire mendorong piringnya menjauh, meski hanya lima suapan, tapi setidaknya sudah ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Itu lebih baik daripada kosong sama sekali. Wanita itu menoleh ke arah Susan yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa sekotak sandwich, bekal yang selalu Claire bawa ke kantor karena perutnya selalu meronta kelaparan meski belum waktunya jam makan siang akibat si kecil. “Thank you, Susan,” ucap Claire dan bergegas ke kantor sebelum terlambat.Sore hari di RS Permata Bunda…Claire meremas kedua tangannya dengan gelisah. Sekarang dirinya sedang menunggu antrian untuk menemui dokter kandungan. Heran, waktu sudah sore, tapi kenapa antriannya masih cukup panjang? Apakah dokter yang ditemuinya ini memang bagus?Sejujurnya, Claire tidak tau menau tentang dokter kandungan sama sekali. Dirinya hanya mencari rumah sakit yang cukup jauh dari kantor maupun rumahnya agar kemungkinan untuk bertemu dengan orang yang dikenalnya semakin menipis. Namun ha
Claire menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Setelah mandi dan makan malam, kini Claire sedang berbaring di ranjang empuknya. Meski dirinya sudah dalam posisi siap beristirahat, namun matanya enggan terlelap. Pembicaraannya dengan Levin tadi masih terngiang jelas di benak Claire. Oh, Tuhan! Bagaimana bisa Claire mengiyakan ajakan Levin untuk berteman? Kenapa bibirnya malah mengucapkan hal yang bertolak belakang dengan otaknya? ‘Apakah aku benar-benar mengiyakan permintaannya? Tentu saja iya, jika tidak, lalu siapa tadi yang berbicara?’ gerutu Claire merutuki hatinya yang mudah goyah. Seharusnya Claire menolak permintaan Levin untuk berteman.Seharusnya Claire mengambil langkah seribu saat Levin mendekatinya.Seharusnya Claire mengusir Levin saat melihat pria itu muncul di ruang tamu rumahnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengatakan apapun. Dan masih banyak kata ‘seharusnya’ yang berkecamuk di dalam benak Claire hingga membuatnya sulit tidur mesk
Keterdiaman Claire membuat Levin gugup. Pria itu tidak menyadari kalau Claire sama gugupnya dengan Levin, hanya saja Claire dapat menutupi perasaannya dengan baik. Levin menatap Claire dalam-dalam, memutuskan untuk terus maju. Dirinya bukanlah pria pengecut, jadi meski rasa gugup menguasai hatinya, tapi Levin harus tetap mengatakan apa yang dirinya rasakan. Saat Levin memutuskan datang ke rumah Claire, dirinya sudah bertekad untuk mengakui isi hatinya dan ingin mengatakan apa yang hatinya inginkan, dan inilah saatnya. Inilah kesempatan bagi Levin untuk mengutarakannya. “Aku harus mengakui satu hal, yaitu tentang alasan kenapa aku terus mengejarmu meski kamu telah menolak kehadiranku berulang kali. Alasan kenapa aku mengabaikan permintaanmu agar kita bersikap tidak saling mengenal.”“Kenapa?” “Karena aku menyukaimu.”Claire mengerjap, lidahnya terasa kelu. Bibirnya seolah terkunci rapat. Pengakuan Levin memang singkat, tapi sanggup memporak porandakan hati
Claire melajukan mobilnya menuju rumah, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya merasa aman dan nyaman karena di rumah besarnya hanya ada Susan dan Claire bisa mengunci diri di kamar selepas makan malam hingga tidak ada yang curiga meski terdapat perubahan pada dirinya. Ya, tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini Claire baru menyadari kalau rasa mual yang sempat dirasakannya adalah karena pengaruh kehamilan, bukan sekedar masuk angin. Morning sickness itulah istilahnya meski harus Claire akui kalau rasa mualnya tidak hanya datang di pagi hari karena di saat-saat tertentu, rasa mual itu bisa saja datang. Terserah keinginan bayi kecilnya saja. Ditambah lagi indera penciumannya semakin sensitive membuatnya langsung mual jika mencium aroma yang terlalu menyengat, entah seperti ikan, gorengan, parfum, makanan tertentu atau hal lainnya. Namun betapa kagetnya Claire saat setibanya di rumah, dirinya malah menemukan Levin sudah duduk di ruang tamu rumahnya. Menunggu kepula