VIOLA Kenzio menyambutku dengan dekapan hangat setelah aku naik ke tempat tidur lalu berbaring di sebelahnya. Bantal bulu angsa yang menyangga kepalaku terasa tidak ada lagi gunanya karena pergelangan tangan Kenzio jauh memberi kenyamanan."Nggak percaya rasanya aku bisa cium kamu kayak gini lagi, Nda." Kalimat Kenzio itu terucap di saat bibirnya berlabuh di pipiku. Dia menciumku lama. Hingga bermenit-menit lamanya bibirnya masih menempel di sana.Aku membalas dengan senyum tipis."Aku juga masih takjub atas semua ini, Zio. Rasanya masih nggak percaya kalau pada akhirnya aku yang menjadi istri kamu. Tadi saat aku berdiri di sebelahmu, menjadi pengantinmu, diam-diam kucubit tanganku sendiri buat meyakinkan kalau semua ini nyata.""Semua ini memang nyata, Sayang. Semua ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak kasih kesempatan buat aku.""You deserve it, Zio," jawabku sembari mengeratkan lingkaran tanganku ke tubuhnya. Dia berhak atas kesempatan itu. Dan aku yakin dia nggak akan pernah
VIOLA “Here we are!” Kenzio mengembangkan tangan sembari berseru pelan ketika kami menjejak di tanah seturunnya dari pesawat. Seperti rencana Kenzio dia mengajakku dan Lakeizia ke Jakarta untuk mengurus pekerjaan serta kepindahannya ke Bali. “Ini udah di Jakarta ya, Yanda?” “Udah, Nak. Kita udah di Jakarta. Kita ke kantor Yanda ya? Biar Kei tau Yanda kerja di mana.”Di dalam taksi yang membawa kami aku merenung sendiri. Bagaimana reaksi orang-orang kalau tahu Kenzio sudah memiliki anak yang telah berumur empat tahun? Sementara sepengetahuan mereka selama ini Kenzio belum pernah menikah dan baru saja menikah. Tahu-tahu datang membawa bocah perempuan. “Yanda,” panggilku pelan pada Kenzio yang duduk di tengah-tengah. Sedangkan aku dan Lakeizia masing-masing menempatkan diri di dekat pintu mobil. Saat sedang bertiga maka aku dan Kenzio akan saling menyebut dengan panggilan Yanda-Bunda. Lain halnya kalau kami sudah berdua. “Ya?” “Kamu yakin buat ngenalin aku dan Kei sama-sama orang ka
VIOLA Setelah memutuskan untuk pindah ke Bali, selama tiga bulan ini Kenzio tidak mengambil job apa-apa. Dia sibuk menyiapkan untuk membuka firma hukum. Kenzio tidak sendiri tapi join dengan dua temannya yang lain. Sebagai istri tentu saja aku men-support-nya habis-habisan. Lalu hari ini adalah hari peresmian kantornya itu. Terletak di pusat kota, firma hukum Kenzio berkantor di sebuah bangunan tiga lantai. Bangunan tersebut dicat menggunakan warna putih dengan gradasi biru yang merupakan warna favorit suamiku itu. Tepat di bagian depan bangunan terdapat plang bertuliskan 'Kenzio Mahanta & Partners'. Arya dan Bima—dua teman Kenzio, yang mengusulkan nama itu. Menurut mereka jam terbang Kenzio sudah tinggi. Selain itu namanya yang sudah dikenal di kalangan advokat menjadi jaminan untuk keberlangsungan usaha mereka. Mengutip ungkapan yang pernah aku dengar dari Yogi, being famous is number one. Nggak peduli lo mau jualan sampah atau racun sekalipun, orang-orang tetap bakal beli jual
KENZIO Berita mengenai kehamilan Viola sudah menyebar ke seluruh keluarga. Mereka semua menyambut dengan sukacita. Namun di antara semuanya jelas aku yang paling bahagia. Akhirnya usaha kami membuahkan hasil. Belakangan Viola memang terlihat lemah, letih dan lesu. Selera makannya pun menurun. Dia mengeluhkan mual yang kukira karena asam lambungnya naik akibat telat dan jarang makan nasi. Namun ternyata ada alasan di balik semua perubahan itu. Viola hamil. Dia mengandung anakku. I’m going to be a dad! Bukan hanya aku, tapi Lakeizia juga sangat bahagia. Setiap hari dia bertanya kapan perut Bunda besar? Kapan adek lahir? Dia begitu antusias. Lalu hari ini aku dan Viola berada di tempat dokter kandungan untuk memastikan kehamilan Viola. Aku ikut tegang menunggu saat Viola diperiksa. Meski dari tempat duduk pasien ada layar besar yang memperlihatkan hasil USG, namun aku memilih mendampingi Viola dengan berdiri di samping bed periksa. Ini adalah hal pertama buatku. Aku begitu excited m
[Mbak, sakit bunda makin parah. Aku mohon Mbak pulang.]Kutatap barisan pesan di layar ponsel. Ini bukanlah pesan yang pertama. Sudah tiga hari berturut-turut adikku mengirimnya dengan berbagai ragam kalimat yang intinya adalah meminta agar aku pulang ke rumah. Namun, tidak satu pun dari pesan-pesan tersebut yang kubalas.Bukan hanya pesan, tapi dia juga mencoba menghubungi melalui panggilan suara atau panggilan video. Responku tetap sama. Aku mengabaikannya.Bunda mengidap hipertensi sejak lama. Akhir-akhir ini kondisinya semakin mengkhawatirkan sehingga orang-orang di rumah memintaku pulang.Orang-orang yang tidak ingin kuingat-ingat lagi. Karena setiap mengingat mereka sama halnya dengan mengenang segala luka yang ada di rumah itu. Rumah masa kecilku. Rumah tempatku tumbuh hingga dewasa. Rumah yang awalnya nyaman dan kukira adalah tempatku menetap selamanya. Nyatanya rumah itu menjelma menjadi neraka.Ponselku berdering lagi. Kali ini bukan pesan singkat yang masuk, melainkan panggi
REMBULANTiga tahun kemudian.Aku mengayunkan kaki memasuki Your Comfort Zone. Langkahku begitu tergesa. Bukan apa-apa, tapi aku sudah dinantikan sejak tadi. Bukan oleh atasan ataupun nasabah potensial yang sedang kuprospek, karena ini bukan kantor, melainkan kelab malam favoritku.Musik menghentak-hentak menyapa telinga. Cahaya berwarna-warni menyapu wajah, seakan sedang mengucapkan selamat datang.Saat ini memang bukan malam Minggu, tapi paksaan Windy membuatku membelokkan mobil ke tempat ini.Mataku mencari-cari. Lalu menemukan Windy melambaikan tangan ke arahku. Dia nggak sendiri. Ada Mecca dan Tiara juga.Aku melempar senyum lalu berjalan ke arah mereka."Udah telat, tau ..." Windy memberengut saat aku menghenyakkan tubuh di dekatnya. Namun sama sekali nggak membuatnya terlihat jelek. Dress warna magenta berbelahan dada rendah yang membungkus tubuhnya menegaskan kerupawanannya."Tadi nyelesaiin sesuatu dulu." Aku beralasan lalu mengeluarkan kotak rokok dari dalam tas, menyelipkan
REMBULAN"Apa? Bos lo?" "Yang mana?""Yang cakep itu?"Windy dan Tiara mendadak heboh mendengar celetukan Mecca."Biasa aja kenapa sih? Kayak nggak pernah ngeliat orang cakep lo pada. Lo lagi, Win. Lupa kalo udah dilamar Irfan?" tawa Mecca melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Windy dan Tiara."Yeee ... cuci mata apa salahnya?" protes Windy.Para teman-temanku memang nggak bisa melihat yang bening dikit. Dan aku sudah hafal pada tingkah mereka."Lo kok diam aja, Lan?" Windy menatapku penuh tanda tanya."Lo sebenarnya suka cowok nggak sih?" Tiara ikut memandangku dengan aneh."Jadi gue harus gimana? Jingkrak-jingkrak gitu? Atau salto gegulingan?""Ih!" Windy merotasi bola matanya, sebal padaku.Bukan sekali dua kali Windy, Tiara atau Mecca menyodorkan laki-laki padaku. Mereka menyuruhku untuk kencan buta dan selalu mengatakan, "Dicoba aja dulu, Lan. Siapa tahu cocok. Cocok jalan, nggak cocok lo tinggal berhenti."Aku selalu menolak. Pernah Windy marah besar padaku. Kala itu dia s
Aku membuka mata dengan kepala berat seakan ada beban ribuan ton menindihku. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Tapi saat lensa mataku menangkap corak plafon yang sudah familier, aku merasa nggak perlu khawatir. Aku berada di apartemenku sendiri.Masalahnya, siapa lelaki yang tidur di sebelahku ini?Berusaha mengumpulkan ingatan, aku hanya bisa mengingat sepotong-sepotong. Kemarin ada pria tampan mengembalikan ponselku lalu mengantarku pulang ke apartemen. Sisanya aku nggak ingat apa-apa lagi.Apa mungkin lelaki yang tidur di sebelahku ini adalah orang yang sama?"Astagaaa!" Aku menjerit saat sadar tidak lagi mengenakan pakaian kerja yang kemarin. Aku sudah mengenakan baju harian.Kududukkan diri dengan cepat. Lalu kuguncang tubuh pria itu.“Bangun, hei, bangun!!!"Merasa terusik oleh suara keras dan guncangan kuat, pria itu membuka mata."Kamu apain aku semalam?" bentakku marah.Pria itu kebingungan sejenak lalu mulai menyadari situasi. Dia ikut duduk lalu menjelaskan, “Kamu mabuk b
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa