Apa yang menimpa Azka, dan Zia adalah rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari oleh Gea, dan Renata--ibunya Gea.
Zia di rumah besar itu berstatus sebagai anak kesayangan, dan kebanggan sang ayah. Meski terkadang otak Zia sedikit lemot dalam memahami sesuatu yang terjadi, tapi sebenarnya Zia adalah gadis yang cukup pintar dalam bidang akademik.Prestasinya dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi selalu membuat bangga sang ayah. Tak jarang Zoni--ayahnya Zia, selalu membicarakan tentang Zia kepada seluruh anggota keluarga besarnya, dan para rekan bisnisnya.Selain pintar, Zia juga gadis yang cantik, dan cukup periang. Ia bisa berteman dengan siapa saja, baik dari golongan yang sama dengannya, maupun orang biasa. Zia tidak pernah membeda-bedakan orang dari status sosialnya.Sikapnya yang humble ditambah lagi kecantikan wajahnya itu, membuat keluarga besar Zia pun menyukai Zia, dan sering memuji, serta menyanjung Zia. Hal itu menimbulkan kecemburuan di hati Gea--adik Zia beda ibu.Gea merasa iri dengan Zia yang selalu dikagumi oleh semua orang, sedangkan dirinya merasa terabaikan, dan tidak dianggap.Kepribadian Gea sangat berbeda jauh dengan Zia. Jika Zia adalah gadis yang baik hati, dan humble, maka Gea sebaliknya. Gea dikenal sebagai gadis yang cukup angkuh, dan sering membangga-banggakan kekayaan sang ayah untuk menindas kaum yang lemah. Wajah Gea pun tidak secantik Zia, dan otak Gea tidak sepintar kakak perempuannya itu.Jika di depan sang ayah, dan keluarga besar, maka Gea akan bersikap seolah-olah ia adalah gadis yang lemah lembut seperti Zia. Namun, meski demikian, ada beberapa anggota keluarga besar yang tahu bahwa Gea penuh kepura-puraan.Gea, dan Renata masih sama-sama tertawa penuh kemenangan, karena rencana mereka untuk menyingkirkan Zia dari rumah ini akan segera terealisasikan setelah Zia resmi menikah dengan Azka."Sayang, gimana caranya sampai kamu bisa membuat Zia, dan laki-laki itu berada di kamar yang sama?" Renata menanyakan detail apa yang dilakukan oleh Gea tadi malam dalam menjebak Zia.Gea pun lantas menceritakan semuanya.Semalam, Zoni mengajak istri, dan kedua anaknya untuk ikut ke acara pesta rekan bisnis Zoni yang bernama Bram. Zia yang sebenarnya tidak terlalu menyukai pesta, awalnya menolak ajakan itu. Namun, karena Gea yang terus memaksa, akhirnya Zia pun ikut.Dalam acara itu, tiba-tiba Zia melihat pacarnya yang sedang berciuman dengan seorang wanita. Hal itu tentu membuat hati Zia hancur. Laki-laki yang selama ini selalu menemaninya, dan selalu mengatakan cinta kepadanya, ternyata telah mengkhianatinya.Awalnya Zia akan melabrak kekasihnya yang tengah bersama wanita lain. Namun, langkah Zia dicegah oleh Gea, dan Gea mengatakan bahwa itu tidak perlu, karena hanya akan mempermalukan diri sendiri."Udahlah, Kak, jangan buang-buang waktu buat ngelabrak orang yang udah khianati Kakak. Mending kita nikmati acara pesta ini," kata Gea, lalu menggandeng tangan Zia untuk kembali ke tengah-tengah pesta.Gea membawa Zia ke stand makanan, dan minuman. Zia yang memang merasa lapar, segera mengisi piring dengan berbagai macam kue. Kadang, di saat sakit hati seperti sekarang, Zia selalu melampiaskannya dengan makan, lalu setelah itu, hatinya sudah merasa sedikit lebih baik.Setelah makanan di piringnya habis, ternyata hati Zia masih terasa hancur, karena bayangan sang kekasih dengan wanita lain itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Begitu Gea menyodorkan segelas wine, tanpa pikir panjang Zia pun menerima, dan meminumnya.Satu gelas saja tidak cukup bagi Zia, apalagi situasi hatinya saat ini sedang kacau. Ia pun meneguk bergelas-gelas minuman beralkohol itu, hingga akhirnya mabuk.Di saat Zia tengah sibuk dengan minumannya, Gea meninggalkan kakak perempuannya itu, dan menemui seseorang. Orang yang ditemui Gea kebetulan adalah teman lama Azka. Gea menyuruh orang itu untuk mencarikan seorang laki-laki secara random, untuk ditempatkan di kamar hotel yang sama dengan Zia.Karena teman lama Azka itu sudah lama menyimpan perasaan pada Gea, maka ia pun tanpa pikir panjang mengiyakan permintaan Gea, dan dengan tega menumbalkan Azka.Setelah kesepakatan dibuat, Gea kembali menghampiri Zia yang saat itu sudah mabuk berat. Gea pun memapah Zia, dan membawanya ke kamar hotel yang sudah dipesannya.Tak lama setelah itu, giliran teman Azka yang membawa Azka dalam keadaan tak sadarkan diri, ke kamar yang sama dengan Zia."Ini bayaran buat lo, karena lo udah mau kerjasama sama gue malam ini." Gea menyodorkan sebuah amplop cokelat pada teman Azka.Teman Azka itu tersenyum miring, sambil melirik sekilas pada amplop itu, tanpa berniat menerimanya. "Gue bukan orang yang kekurangan uang, Gea. Meskipun keluarga gue nggak sekaya keluarga lo, paling tidak, nama keluarga gue tercantum sebagai salah satu keluarga terhormat di kota ini."Gea memutarkan bola matanya, lalu memasukkan kembali amplop cokelat itu ke tasnya. "Terus, lo mau imbalan apa dari gue? Nggak mungkin kan, lo bantu gue secara sukarela?"Teman Azka itu menyeringai, sambil menatap Gea penuh arti. "Gue mau lo malam ini, Ge," bisik teman Azka, membuat Gea sontak melotot."Gi*a lo ya!" bentak Gea. "Ogah gue, ngelakuin kayak gitu sama lo.""Jangan sok jual mahal gitu, Ge. Gue tau, lo udah pernah ngelakuin hal kayak gitu kok.""Ya tapi kalau sama lo, ya gue ogah!""Oke, kalau lo nggak mau, nggak papa, tapi gue bakal bawa lagi temen gue, dan gue bakal aduin perbuatan lo ini sama keluarga lo, terutama bokap lo. Gimana?"Gea merasa dipermainkan oleh laki-laki di hadapannya ini. Ia memang tahu, bahwa laki-laki bernama Bobi ini sudah lama mempunyai perasaan kepadanya. Tapi Gea tidak habis pikir, Bobi akan meminta tubuhnya sebagai bentuk imbalan kerjasama. Tahu begitu, dari awal Gea tidak akan meminta bantuan Bobi, dan lebih memilih meminta bantuan orang lain untuk bekerjasama dengannya.Ancaman Bobi tidak main-main. Sebagai seorang laki-laki, ini adalah kesempatan yang bagus untuk mencicipi Gea, wanita yang sudah lama diidamkannya. Sebenarnya Bobi merasa bersalah karena sudah menjebak Azka, tapi rasa sukanya pada Gea, mampu menutupi semuanya."Oke, tapi lo harus janji, ini rahasia kita berdua. Lo nggak boleh bocorin kalau kita udah kerjasama jebak kakak gue, dan lo juga nggak boleh bilang ke siapa-siapa, malam ini kita menghabiskan waktu bersama," ucap Gea."Deal!" balas Bobi dengan semangat.Pada akhirnya, malam itu sebenarnya tidak terjadi apa-apa pada Azka, dan Zia, karena keduanya sama-sama terlelap sampai pagi. Yang justru melakukan tindakan asusila adalah Gea, dan Bobi di hotel itu.Sebelum menjelang subuh, Gea cepat-cepat meninggalkan kamar hotel yang ia tempati bersama Bobi, lalu pulang ke rumah.Saat sarapan, Zoni yang tidak melihat keberadaan Zia pun bertanya-tanya kepada semua orang, termasuk kepada Gea."Kak Zia semalem mabuk di pesta, Pah. Karena Papah, sama Mamah udah pulang dulu, aku bingung gimana bawa pulang kak Zia. Akhirnya aku pesenin kamar hotel buat kak Zia," kata Gea. "Tadinya aku mau nemenin kak Zia, Pah, tapi tiba-tiba aku inget, kalau ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan, karena harus dikumpulkan hari ini. Jadinya, setelah nganter kak Zia ke kamar hotel, aku langsung pulang."Zoni pun percaya begitu saja perkataan Gea, dan tidak menaruh curiga pada anak keduanya itu. Apalagi tidak ada laporan apa-apa dari orang-orang yang berjaga di rumahnya, karena sewaktu Gea pulang, mereka telah disuruh Gea untuk tutup mulut, dengan sedikit diancam oleh Gea, dan diberikan beberapa lembar uang.Setelah sarapan usai, Gea mengajak kedua orang tuanya untuk menjemput Zia di hotel, dengan alasan, Zia yang mungkin saja masih merasa pusing karena semalam mabuk berat, hingga belum pulang juga.Zoni pun setuju, lalu mereka menuju hotel tempat pesta semalam, sekaligus tempat Zia menginap. Karena Gea memiliki kartu akses untuk masuk ke kamar hotel yang ditempati Zia, Gea pun langsung menyuruh masuk kedua orang tuanya untuk melihat keadaan Zia.Seperti yang sudah dibayangkannya, sang ayah pun begitu terkejut ketika melihat Zia bersama seorang lelaki di ranjang yang sama. Gea sangat senang karena rencananya berhasil.Gea menceritakan pada ibunya, tentang awal mula dirinya bisa menjebak Zia, hingga akhirnya sang ayah memergoki Zia bersama Azka di ranjang yang sama di sebuah kamar hotel. Tentunya Gea tidak menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, dan Bobi semalam, karena itu pasti akan membuat sang ibu marah kepadanya. "Tapi aku agak kesel, Mah, kenapa yang mau nikahin kak Zia, cowok ganteng itu. Harusnya tadi malam aku nyuruh temen aku buat nyari cowok yang jelek aja," kata Gea. Sebenarnya, dalam hati, Gea juga mengagumi ketampanan Azka saat pertama kali melihatnya. Tadi malam ia ingin protes, kenapa Bobi malah mencarikan tumbal laki-laki tampan, yang akan diletakkan di ranjang yang sama dengan Zia. Namun, karena sudah terlanjur, Gea pun terima saja. "Halah, laki-laki yang ganteng seperti Azka itu banyak, Sayang. Temen-temen arisan mamah banyak yang punya anak laki-laki ganteng-ganteng. Lagian sepertinya Azka cuma menang gantengnya doang, tapi dompetnya kosong. Pasti setelah menikah, Zia a
Zia terus mencoba meyakinkan Azka agar mau kabur dari rumah ayahnya ini. Bagi Zia, ini semua tidak adil, jika ia, dan Azka harus menikah sebagai konsekuensi untuk sesuatu yang bahkan tidak mereka lakukan. Meski pada akhirnya Azka mau menikahinya, tapi Zia yakin, itu karena keterpaksaan, dan tekanan dari ayahnya. Zia tidak ingin hidup dalam pernikahan bersama suami yang tidak mencintainya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana menderitanya dirinya nanti, jika tidak ada cinta dalam pernikahan mereka, sedangkan sedari dulu Zia selalu memimpikan hidup bahagia dalam pernikahan bersama laki-laki yang dicintai, dan mencintainya. "Tuan, pokoknya kita harus pergi sekarang dari sini, sebelum ayahku keluar dari kamar, terus mencari kita," kata Zia, setengah mendesak pada Azka yang masih berpikir. "Kalau kita pergi dari sini, lalu kamu mau ke mana?" tanya Azka. "Kalau saya mungkin bisa pulang ke kota asal saya, sementara kamu? Ini rumah orang tua kamu bukan? Setelah kita kabur nanti, kamu akan kem
"Ke mana para pembantu? Masa nggak ada yang keliatan satu pun? Niat kerja nggak sih mereka?" gerutu Gea. "Tadi mereka disuruh papah ke pasar, buat beli bahan makanan untuk acara walimahan nanti," sahut Renata. "Cih, pernikahan dadakan aja pake walimahan segala. Mana pengantin laki-lakinya orang nggak jelas dari kota antah berantah, lagi!" cibir Gea. "Yaa, bagaimana pun juga, Zia kan anak kesayangan papah kamu, Sayang, meskipun kita udah coba jebak dia. Anggap saja acara yang dibuat papah kamu hari ini, adalah acara yang terakhir kali sebagai bentuk perpisahan karena Zia akan ikut suaminya. Setelah itu, perhatian papah cuma buat kamu doang." Ibu, dan anak itu pun lantas tertawa, yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Zia. Sadar dengan Zia yang tersakiti dengan ucapan dua wanita yang tak mempunyai hati itu, Azka pun lantas menggenggam tangan Zia, dan mengelusnya. Mencoba memberikan kekuatan, dan kesabaran. Dugaan Azka benar, bahwa ibu Zia itu memang tidak menyukai Zia, dan ju
"Itu sepertinya suara salah satu anak buah papah aku, Tuan," kata Zia. "Ya sudah, kalau begitu, ayo segera pergi." Jika tadi Zia yang menarik tangan Azka, kini giliran Azka yang menarik tangan Zia, mengajaknya untuk berlari. "Hey! Mau ke mana?!" Seorang laki-laki berpakaian serba hitam berteriak setelah menyadari yang berada di pintu gerbang adalah Zia, dan Azka. "Ayo cepet lari, Tuan," ucap Zia dengan nada khawatir, lalu ia dan Azka benar-benar keluar dari halaman belakang rumah melalui pintu gerbang kecil itu. Sontak anak buah ayah Zia pun mengejar keduanya, seraya menghubungi yang lainnya melalui walkie talkie. Azka, dan Zia terus berlari hingga akhirnya melewati jalan beraspal. Beberapa anak buah ayah Zia pun mengejar di belakang keduanya. Tak mau tertangkap, Zia terus berlari mengikuti Azka, meski sebenarnya ia sudah merasa lelah. "Non Zia! Berhenti!" teriak salah seorang anak buah ayah Zia. "Jangan hiraukan mereka, Zia. Jika kamu benar-benar ingin bebas dari keluarga kam
"Kamu masih bisa bersikap santai, dan tenang di saat Zia melarikan diri dengan laki-laki itu?!" cecar Zoni, sambil menatap tajam Renata. Istri Zoni itu pun memutar bola matanya. "Lalu mamah harus bagaimana, Pah? Mencari keberadaan Zia? Bukannya orang-orang Papah udah lagi pada nyariin?" Zoni mendengkus. Tidak habis pikir dengan istrinya itu. Memang Renata bukanlah ibu kandung Zia, tapi apakah tidak ada sedikit rasa khawatir pun di benak Renata untuk Zia? "Setidaknya kamu coba hubungi teman-teman Zia, mungkin saja dia kabur ke rumah salah satu temannya," kata Zoni. "Tidak ada teman-teman Zia yang mamah kenal, Pah," balas Renata. Dalam hati, Renata pun sebenarnya tidak sudi untuk berkenalan dengan teman-teman dari anak tirinya itu. "Ibu macam apa kamu, Renata!" hardik Zoni. "Kamu memang bukan ibu kandung Zia, tapi seharusnya kamu bisa memperlakukan Zia seperti anak kandung kamu sendiri, memberikannya perhatian, mencari tahu siapa saja teman-teman Zia." "Selama ini kan mamah selalu
"Heh! Jangan kurang ajar kamu!" bentak anak buah Zoni yang sedang menyetir, yang sangat merasa terganggu dengan perbuatan Azka. Bagaimana tidak, karena ulah Azka yang menendang lengannya itu, membuatnya menjadi tidak konsentrasi menyetir, hingga mobil yang dikendarainya ini melaju tak beraturan, dan bisa membahayakan para penumpang. "Makanya, berhentikan mobil ini!" balas Azka. Merasa berbahaya jika mobil terus melaju, supir itu memilih berhenti, lalu menyuruh temannya yang duduk di samping kemudi untuk mengikat kaki Azka. Alhasil, sekarang kedua kaki Azka sudah tidak bebas lagi. Zia pun sudah berhenti menangis, tapi rasa sedih masih menggelayuti hatinya, meskipun ada sedikit rasa lega karena nyawanya selamat. Zia juga merasa kasihan dengan Azka.Mobil yang membawa Azka, dan Zia kini telah sampai di halaman rumah besar milik Zoni. Karena sudah diberitahu lebih dulu bahwa Azka, dan Zia berhasil ditemukan, dan sedang dalam perjalanan pulang, Zoni kini tengah berdiri di depan rumah,
Semua orang yang berada di sana serentak menoleh ke arah sumber suara. Ada seorang laki-laki yang cukup tampan, yang tengah berdiri dengan kedua tangan terkepal, dan tatapan matanya yang tajam. Zia cukup kaget dengan kedatangan laki-laki itu, pun dengan Gea. Berbeda dengan lainnya yang cukup bingung, siapa sebenarnya laki-laki itu. Merasa kedatangan laki-laki itu sangat mengganggu, Zoni pun angkat bicara. "Siapa kamu? Beraninya-beraninya menghentikan pernikahan ini?" tanya Zoni. "Penjaga?! Kenapa kalian bisa meloloskan orang tidak dikenal ini?" "Saya Riko, Om. Saya pacarnya Zia. Saya datang ke mari karena saya tidak mau Zia menikah dengan laki-laki lain," jawab Riko dengan tegas, lalu beralih menatap Zia. Mendengar pengakuan dari laki-laki yang bernama Riko itu, Zoni pun lantas berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekat ke arah Riko. Sementara itu, Renata, dan Gea sudah ketar-ketir jika Zoni ternyata justru menikahkan Zia dengan Riko, bukan dengan Azka. Zia sendiri tak tahu h
Semua orang di ruangan itu pun memperhatikan Zia, menunggu jawaban darinya. Riko sangat berharap, Zia akan memilihnya. Ia sangat yakin, Zia masih mencintainya, dan mau memaafkan tentang kesalahannya yang tidak disengaja itu. Untuk Azka sendiri, ia akan terima apa pun keputusan Zia. Jika pada akhirnya Zia memilihnya, maka Azka pun akan menikahi Zia, meski belum ada cinta di hatinya untuk gadis itu. Semata-mata Azka lakukan, karena tidak mau dicap lagi sebagai laki-laki kurang ajar oleh Zoni. Dan jika Zia justru memilih Riko, Azka pun akan sangat mendukungnya. "Ayo, Zia, katakan saja siapa yang mau kamu pilih. Jangan ragu, Sayang," ucap tantenya Zia, seraya menggenggam tangan Zia. Zia lantas memandang Riko sejenak. Di mata laki-laki itu, Zia dapat melihat kesungguhan Riko yang mau memperjuangkannya. "Aduh, Zia sayang, kalau mamah jadi kamu, pasti mamah lebih memilih Azka daripada Riko, secara Azka adalah orang kaya. Sedangkan kamu tahu sendiri kan, Riko itu hanya orang biasa, yan
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se
"Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy
Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den
"Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga
"Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua
Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka
"Selamat pagi," sapa Zia. Orang itu membalikkan badan, dan dibuat terkejut melihat Zia. "Kamu siapa?" Zia terpaku di tempatnya, setelah tahu siapa yang datang. Orang itu adalah ... Sheila. Untuk apa wanita yang akan dijodohkan dengan suaminya itu datang ke sini? Zia bertanya-tanya dalam hati. "Halo, permisi," ucap Sheila, membuat Zia tersadar. "Eh iya. Cari siapa ya, Mbak?" "Saya cari kak Azka. Kamu siapa, kok bisa di penthouse kak Azka?" Sheila heran dengan adanya perempuan asing di kediaman laki-laki yang ia yakin akan menjadi calon suaminya. Selain itu, Sheila juga merasa pernah melihat perempuan ini, tapi lupa di mana. "Mmm ... saya ... saya ...." Zia tidak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin juga memberitahu bahwa ia adalah istri Azka, di saat semua orang tidak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. "Siapa yang datang, Zia?" Azka tiba-tiba menyusul. Laki-laki itu kemudian berdiri di sisi Zia, dan cukup terkejut melihat siapa yang berkunjung. Dari mana Sheila bisa tahu
"Zia, bangun! Sudah subuh, ayo sholat." Azka mengguncang-guncang tubuh Zia. "Nanti," jawab Zia dengan suara serak, dan mata yang masih tertutup. Tubuhnya merasa lelah, dan sakit karena kejadian semalam. Sementara itu, Azka tersenyum dengan reaksi Zia yang menurutnya sangat menggemaskan. Terlebih saat Azka kembali mengingat apa yang sudah ia, dan Zia lakukan sebelum tidur. Ya, setelah menggoda Zia di depan televisi tadi malam, Azka lalu membopong istrinya itu ke kamar, lalu mereka menghabiskan malam-malam panjang di ranjang yang sama. Kamar ini adalah saksi percintaan pertama mereka yang cukup panas. "Baiklah, kalau begitu, saya akan mandi dulu. Setelah selesai, giliran kamu yang mandi," ucap Azka. "Hmm." Hanya itu balasan Zia, tapi mampu membuat Azka kembali tersenyum. Suami Zia itu kemudian menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka untuk melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan sholat subuh. Sedangkan Zia, setelah ia mendengar derap langkah Azka yang semakin
Zia tak pernah menyangka sebelumnya bahwa CEO di tempatnya bekerja adalah Azka, suaminya sendiri. Entah permainan takdir seperti apa lagi yang harus ia jalani. "Woi, bengong aja kamu ini semenjak pak CEO keluar dari divisi kita. Kenapa? Naksir ya sama pak CEO?" ledek Lisa seraya menepuk pundak Zia. Zia menoleh ke arah Lisa, lalu berkata. "Kamu tau di mana ruangan pak CEO, Lis?" "Weh, selow, Zia, selow! Naksir sama pak CEO sih boleh-boleh aja, tapi jangan langsung ugal-ugalan gini dong, pake nanyain ruangannya segala," balas Lisa. "Mau apa emang ke sana? Karyawan biasa kayak kita, jarang dapat akses bisa ke ruangan CEO." "Aku nggak naksir dia, Lis," elak Zia, sedikit berdusta, meski sebenarnya ia sudah naksir Azka bahkan setelah tahu dirinya dijebak di kamar hotel yang sama dengan laki-laki itu. "Ada yang mau aku sampein ke dia. Ini penting." "Nyampein soal apa? Kamu udah pernah kenal sebelumnya sama pak CEO?" Lisa menatap Zia penuh selidik. Zia buru-buru menaruh jari telunjuknya