Setelah beberapa jam perjalanan, Adrian dan Ayla akhirnya tiba di rumah keluarga Adrian yang besar dan megah. Taman luas yang mengelilingi rumah itu tampak rapi dan menyegarkan mata. Tempat inilah yang menjadi saksi bisu dari awal mula kisah mereka.
Sekarang, dengan napas penuh tekad, mereka kembali untuk memulai babak baru.
Dengan langkah yang terkesan santai, Adrian membuka pintu gerbang. Namun, Ayla dapat merasakan ketegangan yang menyelimuti bahu Adrian. Ia pun meraih tangan Adrian, menggenggamnya dengan erat, memberikan dukungan yang tak terucapkan.
Adrian menoleh dan tersenyum tipis, “Terima kasih,” bisiknya halus.
Mereka melanjutkan langkah ke dalam halaman. Suara langkah kaki mereka di jalan setapak yang berbatu terdengar bergema, memecah keheningan. Ketika sampai di pintu depan, pintu tersebut terbuka perlahan, mengungkap sosok yang menjadi inti dari konflik mereka—Bram.
Bram berdiri dengan postur yang tegap, mengenakan k
Ruang tamu di rumah besar keluarga Adityo bergema dengan obrolan yang hangat dan penuh keakraban. Aroma masakan Jawa yang memikat bercampur aduk dengan suara denting peralatan makan dan tawa riang yang sesekali pecah di meja makan.Pada hari itu, keluarga Adityo berkumpul kembali, menghidupkan tradisi yang telah lama mereka pelihara. Namun kali ini, pertemuan tersebut mempunyai makna yang lebih dalam bagi Ayla dan Adrian.Ayla berdiri dengan anggun di dekat pintu, merapikan gaunnya yang elegan. Napasnya terasa sedikit berat, namun ia menyembunyikannya di balik senyum hangat yang tak pernah pudar dari wajahnya. Di sampingnya, Adrian dengan lembut menepuk punggungnya, memberikan semangat."Kita pasti bisa melalui ini bersama," bisik Adrian, suaranya penuh dengan ketenangan dan kepastian.Ayla memalingkan wajah, menatap mata Adrian. Dalam kilauan matanya, Ayla menemukan sumber kekuatan yang selama ini ia cari. Ia mengangguk pelan, erat menggenggam tangan Adr
Malam itu, setelah makan malam yang penuh gelak tawa namun juga tegang, Ayla melangkah keluar menuju teras untuk menikmati hembusan udara segar.Cahaya lampu taman yang lembut menerangi seluruh halaman, menciptakan suasana yang menenangkan, sangat berbeda dengan ketegangan yang mungkin masih terasa di dalam rumah.Dia berdiri di sana, membiarkan pandangannya melayang ke langit yang dipenuhi bintang, sambil mencoba menenangkan debaran di dadanya yang belum juga reda.“Berat, ya?” suara Bram tiba-tiba terdengar, memecah kesunyian malam.Ayla terkejut, tetapi dia berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kekagetannya. Ia menoleh dan melihat Bram berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya kini terlihat lebih lembut, meski masih ada gurat kelelahan yang tersembunyi di matanya.“Ya,” jawab Ayla dengan suara yang jujur, namun lembut. “Tapi aku sudah tahu ini tidak akan mudah.”Bram melangkah mendekat, berd
Hari itu, mereka berdua memilih untuk menghabiskan waktu di taman kecil yang selalu mereka anggap sebagai sudut paling istimewa di kota ini. Pohon besar yang menjadi penjaga taman itu masih berdiri dengan gagah, daun-daunnya berbisik rahasia lewat desau angin.Adrian menggelar tikar kecil yang dibawanya, sementara Ayla membawa keranjang yang isinya cukup untuk menyenangkan siapa saja yang menikmatinya."Rasanya sudah berabad-abad kita tidak melakukan ini," ungkap Ayla sambil lembut menyebarkan tikar itu di bawah naungan pohon.Adrian hanya mengangguk, menemani duduk di sampingnya. "Iya, kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memusingkan omongan orang lain. Tapi hari ini, yang ada hanya kita berdua."Mereka berdua duduk bersisian, meresapi kedamaian yang telah lama tidak mereka rasakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang mereka jalani. Ayla membuka keranjangnya, mengeluarkan dua sandwich yang telah ia siapkan dengan penuh cinta.Adrian tidak
“Enggak, aku juga udah mau pulang,” ujar Rita dengan nada yang terburu-buru. Ia meneguk kopinya sekali lagi sebelum berdiri. “Aku titip Ay, ya, Dian.”Adrian mengangguk, memperhatikan langkah Rita yang menjauh sebelum akhirnya duduk di kursi yang ditinggalkan. Ayla tetap diam, matanya tertuju ke arah jalanan kecil di depan mereka, penuh dengan pikiran.“Aku bawa ini,” Adrian akhirnya membuka suara, mengangkat beberapa lembar kertas yang dipegangnya. “Sketsa rumah... yang kemarin kamu ceritakan.”Mata Ayla berbinar, seolah ada cahaya hangat yang menyelimuti wajahnya. “Kamu serius bikin itu?”“Tentu. Kamu pikir aku cuma dengar-dengar aja?” Adrian mengeluarkan selembar kertas dan meletakkannya di meja kecil di antara mereka. Di atas kertas, tergambar sketsa sederhana sebuah rumah dengan taman kecil di depan, serta ruang tengah yang luas tanpa banyak sekat.“Ini ruang keluarg
Petang itu, langit membuka tirainya lebar-lebar, membiarkan hujan turun berderai. Di dalam ruang tamu yang tenggelam dalam keheningan, suara gemericik air yang berdentang di atas genting membawa kesunyian yang lain.Ayla bersimpuh di sofa kecil, memeluk tubuhnya yang terbungkus sweater abu-abu—satu ukuran terlalu besar. Di genggaman tangannya, cangkir cokelat panas beruap, meski ia hanya memandanginya, tanpa sekali pun meneguk.Adrian memasuki ruangan, mengibaskan payungnya yang basah dan meletakkannya di sudut dekat pintu. Wajahnya tampak segar karena sentuhan udara dingin, namun ada bayang berat yang terselip di antara rautnya.“Apa yang terjadi?” Ayla bertanya, kepala miring, cangkirnya kini terletak di meja.Adrian menghela napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian, sebelum duduk menghadap Ayla. Rambutnya yang masih lembap memberi kesan lebih muda, namun matanya berkata lain, serius. “Aku bertemu Sofia hari ini,”
Malam itu, Adrian muncul di depan pintu rumah Ayla seperti rutinitas yang telah mereka jalani bersama. Kali ini, suasana hati Ayla terasa berbeda, lebih hening dari biasanya.Dia terduduk lemas di sofa, mata sayu menatap ke angkasa, sementara segelas teh di tangannya tampak tak tersentuh, seolah menunggu hangatnya kembali."Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Adrian, sambil duduk di sampingnya, suara penuh kehangatan.Ayla menoleh dengan perlahan, lalu dengan suara yang bergetar pelan, dia berkata, "Aku bertemu Sofia hari ini."Adrian, tampak terkejut, alisnya mencerminkan kebingungan. "Apa yang dia katakan padamu?"Senyum pahit terukir di bibir Ayla, matanya berkaca-kaca, "Dia bilang kamu mungkin masih menyimpan perasaan untuknya. Benarkah itu?"Adrian dengan cepat meraih tangan Ayla, menggenggamnya dengan penuh keyakinan. "Tidak, Ay. Perasaanku padanya sudah lama hilang.""Tapi dia mengatakan ingin memperbaiki segala kesalahannya,
Dalam perjalanan pulang yang terasa lebih lama dari biasanya, Ayla bersemayam di pojok jendela mobil Adrian. Dengan tangan terlipat rapi di pangkuan dan pandangan mengarah ke luar, ia seperti tenggelam dalam lautan pikirannya yang bergelora. Di sekitarnya, dunia berlalu cepat, namun hatinya seakan berhenti.Setelah menimbang kata-kata dengan berat, Adrian memecah keheningan yang terbentang di antara mereka. “Ayla, aku mengakui kesalahanku dan sangat menyesal. Namun, tolong, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan bahwa perasaanku terhadap Sofia tidak lebih dari sekedar profesional.”Dengan suara yang tetap datar, Ayla belum siap untuk menjawab.Adrian melanjutkan, penjelasannya semakin tergesa-gesa, “Pertemuan itu tidak sengaja, Ayla. Sofia yang mendatangi kantor dengan sebuah proposal kerja sama. Sungguh, aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya begitu saja.”Ayla hanya berbisik lirih, nyaris tidak terdengar. “Tapi kamu s
Petang itu, Adrian dan Ayla melangkah bersama di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari rumah Ayla. Angin musim semi yang sepoi-sepoi membawa wangi bunga-bunga yang baru saja mekar, mengisi udara dengan kesegaran yang memikat.Mereka berdua berjalan dengan langkah yang santai, menyesuaikan ritme kaki mereka sehingga terasa sinkron dan tanpa terburu-buru.“Dia pergi,” ucap Adrian tiba-tiba, sambil menghentikan langkahnya di tengah jalan setapak.Ayla membalikkan badan, matahari yang mulai condong ke barat menciptakan siluet pada wajahnya yang tampak bertanya-tanya. “Siapa, Ad?”“Sofia. Dia telah meninggalkan kota ini,” jawab Adrian, nada suaranya tetap tenang, namun terdengar ada semacam kelegaan yang tidak bisa disembunyikan.Ayla tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada jalan setapak di depan, seakan mencari sesuatu di sana. Ada gumpalan perasaan yang sulit diura
Adrian tiba di rumah sore itu dengan langkah gontai. Sekilas pandang, Ayla sudah bisa menangkap duka yang tergurat di wajahnya. Sebelum suara Adrian sempat memecah kesunyian, Ayla menyambutnya dengan senyum yang hangat dan lembut."Kamu kelihatan lelah, Sayang. Aku sudah siapkan sayur lodeh kesukaanmu, mungkin bisa mengusir sedikit kepenatanmu," ujarnya sambil menarik Adrian ke meja makan.Adrian hanya mengangguk perlahan, kemudian mendekati Ayla dan memeluknya erat. Dalam dekapan itu, Ayla mengusap punggung Adrian, memberikan kelembutan yang menjadi penawar lelahnya. "Terima kasih, Ay," bisik Adrian dengan suara yang serak dan penuh emosi.Malam itu, mereka duduk bersantap bersama, dengan Aruna yang manis terlelap di pangkuan Adrian. Meski kesedihan masih menggelayut di hati Adrian, Ayla mulai berbicara mengenai beberapa ide cemerlang untuk mengatur keuangan mereka lebih baik lagi."Bagaimana kalau kita mulai dengan memasak lebih sering di rumah? Saya ju
Malam itu, atmosfer di rumah kecil mereka terasa berbeda. Biasanya, suara tawa Aruna atau celoteh ringan Ayla dan Adrian mengisi setiap sudut ruang tamu. Namun, malam ini, keheningan merayap masuk, seolah membawa bayangan yang berat dan tak terhindarkan.Adrian duduk termenung di meja makan, wajahnya tertunduk, tersembunyi di antara kedua tangannya yang kuat. Selembar kertas dengan tulisan yang rapi dan kecil tergeletak tak berdaya di depannya—laporan keuangan yang baru saja diterimanya dari kantornya.Ayla, berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan suaminya dengan cemas."Adrian?" suaranya terdengar lirih, seolah takut untuk memecah keheningan yang menggantung di udara.Adrian mendongak, matanya terlihat lelah, mencerminkan beban yang ia pikul. Ia memaksakan senyum, meski bibirnya sedikit gemetar. "Hey, Ay. Kamu belum tidur?"Ayla mendekat, menarik kursi dan duduk di seberangnya. "Bagaimana aku bisa tidur kalau kamu terlihat begitu tertek
"Terima kasih," ucap Ayla tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh dengan rasa syukur yang mendalam.Adrian menoleh, keheranan tergambar dari alisnya yang terangkat. "Untuk apa?" tanyanya, rasa ingin tahu memenuhi suaranya."Untuk semuanya," lanjut Ayla, matanya menatap Adrian dengan penuh arti. "Untuk tetap di sini, untuk mencintai aku apa adanya... bahkan ketika aku merasa bukan siapa-siapa lagi." Suaranya semakin lembut, seolah-olah takut mengganggu kesunyian yang menyelimuti ruangan itu.Adrian tidak ragu-ragu, bangkit dari kursinya, dan duduk tepat di sebelah Ayla di sofa empuk itu. Dengan perlahan, ia menarik Ayla ke dalam pelukannya, sebuah pelukan yang memberikan kehangatan dan perlindungan."Kamu tidak pernah menjadi 'bukan siapa-siapa', Ay. Bagiku, kamu adalah segalanya. Kamu adalah rumahku. Kamu tahu itu, bukan?"Di bawah naungan pelukan itu, Ayla mengangguk, biarkan detak jantung Adrian, yang terdengar stabil dan menenangkan, menjadi iram
Mereka berkendara menuju sebuah danau kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu kerap mereka singgahi sebelum kehadiran Aruna. Udara segar dan pemandangan yang berwarna-warni hijau itu menyambut mereka, menghadirkan kedamaian yang telah lama mereka idamkan.Adrian memandang ke sekeliling dengan rasa takjub. "Aku enggak percaya kamu masih ingat jalan ke tempat ini," ucapnya penuh keheranan."Tentu saja aku ingat," sahut Ayla sambil membuka keranjang piknik yang telah ia persiapkan dengan teliti. "Di sini, di tempat ini, kamu pertama kali mengungkapkan cintamu padaku."Sebuah tawa kecil terlepas dari bibir Adrian, wajahnya memerah seketika. "Itu adalah salah satu momen yang paling menggetarkan hatiku. Aku takut sekali kamu tidak akan membalas perasaanku," kenangnya."Namun aku membalasnya, bukan?" Ayla membalas dengan senyum menggoda yang memancar dari matanya.Adrian tertawa lagi, lalu dengan lembut duduk di samping Ayla. "Kamu lebih dari seka
Janji itu mulai diwujudkan Ayla beberapa hari kemudian. Dengan semangat baru, ia berusaha mengatur ulang jadwalnya, menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat sehingga malam-malamnya bisa dihabiskan bersama Adrian dan Aruna.Suasana rumah pun kini lebih hangat, setiap detik bersama terasa lebih berharga.Pada suatu malam yang dingin, Ayla menyiapkan kejutan manis untuk Adrian. Setelah Aruna terlelap, ia mengubah ruang tamu menjadi oasis kecil yang tenang dan romantis dengan lampu redup dan lilin aromaterapi yang memenuhi udara dengan wangi yang menenangkan.Di atas meja kecil, ia menata dua cangkir teh hangat yang menguap dan beberapa camilan ringan yang menggugah selera.Ketika Adrian melangkah keluar dari kamar Aruna, ia terkejut dan terpesona melihat transformasi ruang tamu mereka. “Ini apa?” tanyanya, bibirnya mengembang dalam senyum yang tak bisa disembunyikan.“Ini malam kita,” jawab Ayla lembut, matanya berbinar saat
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela rumah kecil itu, menari-nari di antara aroma kopi yang baru saja diseduh. Ayla, dengan lengan blusnya yang tergulung rapi, tengah sibuk berkelana di dapur sambil sesekali memeriksa daftar tugas yang berderet di layar ponselnya.Di meja makan, suasana menjadi lebih hangat saat Adrian dengan lembut menyuapi Aruna, putri kecil mereka yang ceria, sambil sesekali membuat suara lucu, “aaaa… nyam!” yang selalu berhasil membuat Aruna tertawa gembira.“Aduh, Adrian, kamu nggak lihat file presentasiku di meja kerja, kan?” tanya Ayla, suaranya terdengar memantul dari dapur ke ruang tengah. “Kayaknya tadi malam aku taruh di sana deh.”Dengan alisnya yang sedikit terangkat, Adrian menoleh, “Yang file biru itu? Udah aku simpan di rak paling atas, biar Aruna nggak jadi mainan lagi.”“Ah, iya, benar sekali. Makasih ya,” sahut Ayla, sambil berlari kecil menuju rak
Pertemuan yang semula kikuk itu mulai mencair berkat usaha Nadya. Dengan nada ramah, ia memperkenalkan diri,"Namaku Nadya," ucapnya sambil menyunggingkan senyum hangat kepada Ayla dan Adrian. "Senang sekali bisa berjumpa dengan kalian berdua. Bram sering sekali menceritakan tentang kalian."Ayla, terbawa suasana hangat tersebut, membalas dengan senyum lembut. "Senang bertemu denganmu juga, Nadya. Kamu terlihat seperti seseorang yang hangat dan menyenangkan."Nadya tertawa kecil, matanya berbinar saat menoleh ke arah Bram dengan penuh kelembutan. "Terima kasih, Ayla. Mungkin itu juga pengaruh dari Bram, dia memang orang yang istimewa."Ayla memperhatikan senyum tipis yang tersungging di wajah Bram—sesuatu yang langka ia saksikan. Bram tampaknya lebih santai, lebih terbuka, seperti terbebas dari beban.Adrian, yang ingin memastikan percakapan tetap mengalir, bertanya, "Jadi, kapan kalian berencana menikah?""Dua bulan lagi," sahut Nadya
Acara pertunangan itu berlangsung dengan gemerlap dan penuh tawa, namun bagi Ayla, sorotan malam itu bukanlah pada Bram dan Nadya.Sorotan itu tertuju pada kesadaran mendalam yang muncul di antara dia dan Adrian, tentang bagaimana mereka telah tumbuh dan berkembang bersama sebagai sepasang kekasih.Di sebuah sudut ruangan yang tenang, mereka berdua duduk bersisian di meja kecil, menikmati seiris kue yang lezat sambil terlibat dalam percakapan yang ringan namun penuh makna.Adrian dengan lembut menyeka sisa krim yang terselip di sudut bibir Ayla menggunakan ibu jarinya, suatu gerakan kecil yang mengundang tawa lembut dari Ayla."Kamu ini, selalu saja punya cara untuk membuatku tersipu," ujar Ayla sembari memberikan tepukan ringan di lengan Adrian.Adrian hanya tersenyum simpul, matanya berbinar dengan keseriusan. "Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu di hatiku. Sayang, kita sudah melewati banyak hal bersama. Terkadang aku bertanya-tanya
Hari pernikahan Bram tiba lebih cepat dari yang Ayla bayangkan. Setelah memutar berbagai pertimbangan dalam pikirannya, ia akhirnya memutuskan untuk absen. Baginya, hadir hanya akan membuka kembali luka lama yang telah ia usahakan untuk sembuh.Namun, pada malam yang sama, suasana di ruang tamu rumah Ayla terasa hangat dan nyaman. Ayla dan Adrian tenggelam dalam dunia film yang mereka tonton, ditemani tawa riang Aruna yang sesekali terdengar.Suasana itu sempat terhenti ketika Adrian tiba-tiba bertanya dengan nada penuh perhatian, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"Ayla menoleh, matanya menatap Adrian dengan tatapan yang mengandung kebulatan tekad. "Yakin," jawabnya, mantap. "Aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Bram sekarang punya kehidupannya, dan aku juga. Tidak perlu aku membuktikan sesuatu dengan kehadiranku di sana."Senyum mengembang di wajah Adrian, dia kemudian meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. "Kamu sudah melangkah sangat jauh