Dalam perjalanan pulang yang terasa lebih lama dari biasanya, Ayla bersemayam di pojok jendela mobil Adrian. Dengan tangan terlipat rapi di pangkuan dan pandangan mengarah ke luar, ia seperti tenggelam dalam lautan pikirannya yang bergelora. Di sekitarnya, dunia berlalu cepat, namun hatinya seakan berhenti.
Setelah menimbang kata-kata dengan berat, Adrian memecah keheningan yang terbentang di antara mereka. “Ayla, aku mengakui kesalahanku dan sangat menyesal. Namun, tolong, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan bahwa perasaanku terhadap Sofia tidak lebih dari sekedar profesional.”
Dengan suara yang tetap datar, Ayla belum siap untuk menjawab.
Adrian melanjutkan, penjelasannya semakin tergesa-gesa, “Pertemuan itu tidak sengaja, Ayla. Sofia yang mendatangi kantor dengan sebuah proposal kerja sama. Sungguh, aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya begitu saja.”
Ayla hanya berbisik lirih, nyaris tidak terdengar. “Tapi kamu s
Petang itu, Adrian dan Ayla melangkah bersama di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari rumah Ayla. Angin musim semi yang sepoi-sepoi membawa wangi bunga-bunga yang baru saja mekar, mengisi udara dengan kesegaran yang memikat.Mereka berdua berjalan dengan langkah yang santai, menyesuaikan ritme kaki mereka sehingga terasa sinkron dan tanpa terburu-buru.“Dia pergi,” ucap Adrian tiba-tiba, sambil menghentikan langkahnya di tengah jalan setapak.Ayla membalikkan badan, matahari yang mulai condong ke barat menciptakan siluet pada wajahnya yang tampak bertanya-tanya. “Siapa, Ad?”“Sofia. Dia telah meninggalkan kota ini,” jawab Adrian, nada suaranya tetap tenang, namun terdengar ada semacam kelegaan yang tidak bisa disembunyikan.Ayla tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada jalan setapak di depan, seakan mencari sesuatu di sana. Ada gumpalan perasaan yang sulit diura
Hari-hari berikutnya, Ayla dan Adrian tenggelam dalam persiapan pernikahan kecil mereka.Semua dipilih dengan sederhana namun penuh makna—gaun putih tanpa ornamen berlebihan, undangan yang hanya diberikan kepada keluarga dan sahabat dekat, serta dekorasi yang menonjolkan keindahan bunga segar daripada kemewahan artifisial.Malam itu, di ruang tamu Ayla yang hangat, beberapa katalog makanan tersebar di atas meja. Adrian membolak-balik halaman sebuah katalog dengan ekspresi serius, alisnya berkerut seolah-olah sedang memikirkan keputusan yang sangat penting.“Aku bingung, Ay. Pilih ayam saus mentega atau daging lada hitam?” tanyanya sambil menunjuk dua pilihan dengan jari telunjuk.Ayla tertawa kecil dan menyandarkan kepalanya di bahu Adrian. “Kamu lebih stres milih menu makanan daripada aku waktu pilih gaun, tahu nggak?”Adrian ikut tersenyum, lalu menoleh menatap Ayla dengan lembut. “Aku cuma nggak mau ada yang k
Namun, kesulitan finansial bukan satu-satunya tantangan yang mereka hadapi. Keluarga Bram, terutama ibunya, mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap rencana pernikahan itu.Ketegangan semakin terasa ketika, suatu siang, Ayla menerima telepon dari ibu Bram. Suara di ujung telepon terdengar tegas, hampir tak memberi ruang untuk membantah."Ayla, kamu tahu apa yang kamu lakukan ini salah," suara perempuan paruh baya itu terdengar dingin dan menusuk, membuat hati Ayla bergetar.Ayla menggenggam ponselnya erat, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meski dadanya terasa sesak. "Bu, saya dan Adrian sudah memutuskan ini bersama. Kami tidak berniat menyakiti siapa pun, tapi ini hidup kami."Nada di ujung telepon berubah semakin tajam. "Kamu pikir keluarga kami akan menerima semua ini begitu saja? Kamu menghancurkan keluarga ini, Ayla!"Ayla menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Suaranya bergetar ketika ia menjawab, "Saya ti
Malam itu, Adrian bergabung dengan mereka di rumah Ayla. Ia membawa sekotak kue kecil dari toko roti favorit mereka, aroma manisnya segera memenuhi ruangan. Wajah Adrian terlihat lelah, tetapi senyumnya tetap hangat, memancarkan rasa nyaman yang membuat suasana menjadi lebih akrab.“Aku dengar kalian berdua sudah selesai pilih bunga?” tanya Adrian sambil menyodorkan piring kecil berisi kue kepada Rita. Nadanya ringan, tetapi matanya memperhatikan dengan penuh perhatian.Rita mengangguk antusias, rona semangat terpancar di wajahnya. “Sudah dong! Aku dan Ayla pilih bunga yang paling cantik, tapi tetap hemat. Jadi, kamu nggak perlu khawatir soal anggaran.”Adrian tertawa kecil, nada tawanya rendah namun penuh kehangatan. Ia kemudian menatap Ayla, matanya dipenuhi cinta yang seolah tak ada habisnya. “Aku tahu kalau kalian berdua yang urus, pasti hasilnya bagus.”Ayla membalas tatapan itu dengan senyum lembut, tetapi segera
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut melalui dedaunan di taman kecil yang menjadi saksi janji suci Ayla dan Adrian. Hembusan angin membawa aroma segar dari bunga mawar putih dan baby breath yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana yang damai dan hampir magis.Burung-burung berkicau riang, seakan menyambut awal dari perjalanan baru yang akan segera dimulai.Ayla duduk di sebuah ruang rias mungil di restoran yang menjadi tempat acara mereka. Gaun putih sederhana yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, dihiasi renda halus di ujungnya, dan potongan leher berbentuk hati yang menonjolkan kelembutannya.Rambutnya ditata dalam sanggul rendah yang dihiasi bunga kecil-kecil, hasil pilihan teliti dari Rita, sahabatnya.“Sudah siap?” suara lembut Rita memecah keheningan, sementara tangannya sibuk memperbaiki sapuan terakhir riasan di wajah Ayla.Ayla menatap pantulan dirinya di cermin. Sepasang mata penuh harapan m
Di pojok hijau taman, Ayla menempati bangku kecil, matanya berkelana menangkap pemandangan tamu-tamu yang larut dalam kesenangan malam itu. Tiba-tiba, Adrian muncul dengan langkah ringan, membawa dua gelas minuman sebagai tanda ikatan.“Sudah siap menjalani hidup bersamaku sebagai istri?” tanyanya penuh gurau, sambil memberikan satu gelas kepada Ayla.Dengan tawa renyah, Ayla menyandarkan kepala di bahu Adrian yang hangat. “Bersamamu, aku siap mengarungi segala galaksi.”Mengapit Ayla dalam pelukannya, Adrian mencium puncak kepalanya lembut. “Dan aku akan memastikan bahwa kebahagiaanmu tak akan pernah luntur, sayang.”Di bawah taburan bintang, mereka berdua merasakan bahwa cinta yang mereka rajut bersama telah menemukan pelabuhan—sebuah permulaan baru yang dipenuhi harapan dan kegembiraan yang tak terkira.Sinar matahari pagi yang hangat menembus tirai jendela kamar mereka yang mungil, seolah mengusik Ayla
Beberapa hari setelah Adrian pergi bekerja, Ayla melangkah pelan-pelan menuju apotek kecil yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Tangannya sedikit gemetar ketika memilih alat tes kehamilan, mencoba mengendalikan ragam emosi yang bercampur aduk di dalam dadanya.Di rumah, Ayla mengambil tempat duduk di kamar mandi, memegang alat tes tersebut di tangannya. Detik demi detik berlalu sangat lambat, suara jam dinding terdengar begitu jelas dan menggema di ruangan sempit tersebut.Ketika garis kedua mulai terlihat, matanya membesar, tak percaya. Tangannya spontan menutupi mulutnya, air mata perlahan menggenang di sudut matanya."Aku hamil," bisiknya lirih, suaranya terdengar penuh kekaguman dan sedikit ketidakpercayaan.Sore itu, Ayla menunggu Adrian pulang dengan perasaan yang campur aduk antara gugup dan antusias. Ia telah menyiapkan cara sederhana untuk menyampaikan kabar bahagia itu.Sebuah kotak kecil dengan pita biru terletak manis di atas meja
Pagi itu langitnya cerah sekali, dengan sinar matahari yang lembut menyelinap masuk melalui jendela ruang tamu dan memantulkan sinar hangat ke atas lantai kayu yang mengkilap.Ayla bersandar nyaman di sofa, punggungnya disangga bantal kecil, tangannya yang satu menggenggam erat secangkir teh herbal hangat yang dibuatkan oleh Adrian. Perutnya yang kini semakin terlihat, mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan kecil yang bergerak di dalamnya.Adrian muncul dari dapur dengan membawa mangkuk kecil yang berisi potongan-potongan buah segar. Dengan langkah ringan, ia berjalan mendekati Ayla sambil tersenyum lebar, kemudian duduk di sebelahnya di sofa. "Coba ini," katanya sambil menyodorkan sepotong stroberi dengan garpu.Ayla mengangkat alisnya, setengah tersenyum. "Kamu pikir aku tidak bisa makan sendiri?" selorohnya dengan nada gurau.Adrian tertawa kecil, suara tawanya menggema kelembutan. "Aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan yang terbaik untuk bayi k
Adrian tiba di rumah sore itu dengan langkah gontai. Sekilas pandang, Ayla sudah bisa menangkap duka yang tergurat di wajahnya. Sebelum suara Adrian sempat memecah kesunyian, Ayla menyambutnya dengan senyum yang hangat dan lembut."Kamu kelihatan lelah, Sayang. Aku sudah siapkan sayur lodeh kesukaanmu, mungkin bisa mengusir sedikit kepenatanmu," ujarnya sambil menarik Adrian ke meja makan.Adrian hanya mengangguk perlahan, kemudian mendekati Ayla dan memeluknya erat. Dalam dekapan itu, Ayla mengusap punggung Adrian, memberikan kelembutan yang menjadi penawar lelahnya. "Terima kasih, Ay," bisik Adrian dengan suara yang serak dan penuh emosi.Malam itu, mereka duduk bersantap bersama, dengan Aruna yang manis terlelap di pangkuan Adrian. Meski kesedihan masih menggelayut di hati Adrian, Ayla mulai berbicara mengenai beberapa ide cemerlang untuk mengatur keuangan mereka lebih baik lagi."Bagaimana kalau kita mulai dengan memasak lebih sering di rumah? Saya ju
Malam itu, atmosfer di rumah kecil mereka terasa berbeda. Biasanya, suara tawa Aruna atau celoteh ringan Ayla dan Adrian mengisi setiap sudut ruang tamu. Namun, malam ini, keheningan merayap masuk, seolah membawa bayangan yang berat dan tak terhindarkan.Adrian duduk termenung di meja makan, wajahnya tertunduk, tersembunyi di antara kedua tangannya yang kuat. Selembar kertas dengan tulisan yang rapi dan kecil tergeletak tak berdaya di depannya—laporan keuangan yang baru saja diterimanya dari kantornya.Ayla, berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan suaminya dengan cemas."Adrian?" suaranya terdengar lirih, seolah takut untuk memecah keheningan yang menggantung di udara.Adrian mendongak, matanya terlihat lelah, mencerminkan beban yang ia pikul. Ia memaksakan senyum, meski bibirnya sedikit gemetar. "Hey, Ay. Kamu belum tidur?"Ayla mendekat, menarik kursi dan duduk di seberangnya. "Bagaimana aku bisa tidur kalau kamu terlihat begitu tertek
"Terima kasih," ucap Ayla tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh dengan rasa syukur yang mendalam.Adrian menoleh, keheranan tergambar dari alisnya yang terangkat. "Untuk apa?" tanyanya, rasa ingin tahu memenuhi suaranya."Untuk semuanya," lanjut Ayla, matanya menatap Adrian dengan penuh arti. "Untuk tetap di sini, untuk mencintai aku apa adanya... bahkan ketika aku merasa bukan siapa-siapa lagi." Suaranya semakin lembut, seolah-olah takut mengganggu kesunyian yang menyelimuti ruangan itu.Adrian tidak ragu-ragu, bangkit dari kursinya, dan duduk tepat di sebelah Ayla di sofa empuk itu. Dengan perlahan, ia menarik Ayla ke dalam pelukannya, sebuah pelukan yang memberikan kehangatan dan perlindungan."Kamu tidak pernah menjadi 'bukan siapa-siapa', Ay. Bagiku, kamu adalah segalanya. Kamu adalah rumahku. Kamu tahu itu, bukan?"Di bawah naungan pelukan itu, Ayla mengangguk, biarkan detak jantung Adrian, yang terdengar stabil dan menenangkan, menjadi iram
Mereka berkendara menuju sebuah danau kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu kerap mereka singgahi sebelum kehadiran Aruna. Udara segar dan pemandangan yang berwarna-warni hijau itu menyambut mereka, menghadirkan kedamaian yang telah lama mereka idamkan.Adrian memandang ke sekeliling dengan rasa takjub. "Aku enggak percaya kamu masih ingat jalan ke tempat ini," ucapnya penuh keheranan."Tentu saja aku ingat," sahut Ayla sambil membuka keranjang piknik yang telah ia persiapkan dengan teliti. "Di sini, di tempat ini, kamu pertama kali mengungkapkan cintamu padaku."Sebuah tawa kecil terlepas dari bibir Adrian, wajahnya memerah seketika. "Itu adalah salah satu momen yang paling menggetarkan hatiku. Aku takut sekali kamu tidak akan membalas perasaanku," kenangnya."Namun aku membalasnya, bukan?" Ayla membalas dengan senyum menggoda yang memancar dari matanya.Adrian tertawa lagi, lalu dengan lembut duduk di samping Ayla. "Kamu lebih dari seka
Janji itu mulai diwujudkan Ayla beberapa hari kemudian. Dengan semangat baru, ia berusaha mengatur ulang jadwalnya, menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat sehingga malam-malamnya bisa dihabiskan bersama Adrian dan Aruna.Suasana rumah pun kini lebih hangat, setiap detik bersama terasa lebih berharga.Pada suatu malam yang dingin, Ayla menyiapkan kejutan manis untuk Adrian. Setelah Aruna terlelap, ia mengubah ruang tamu menjadi oasis kecil yang tenang dan romantis dengan lampu redup dan lilin aromaterapi yang memenuhi udara dengan wangi yang menenangkan.Di atas meja kecil, ia menata dua cangkir teh hangat yang menguap dan beberapa camilan ringan yang menggugah selera.Ketika Adrian melangkah keluar dari kamar Aruna, ia terkejut dan terpesona melihat transformasi ruang tamu mereka. “Ini apa?” tanyanya, bibirnya mengembang dalam senyum yang tak bisa disembunyikan.“Ini malam kita,” jawab Ayla lembut, matanya berbinar saat
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela rumah kecil itu, menari-nari di antara aroma kopi yang baru saja diseduh. Ayla, dengan lengan blusnya yang tergulung rapi, tengah sibuk berkelana di dapur sambil sesekali memeriksa daftar tugas yang berderet di layar ponselnya.Di meja makan, suasana menjadi lebih hangat saat Adrian dengan lembut menyuapi Aruna, putri kecil mereka yang ceria, sambil sesekali membuat suara lucu, “aaaa… nyam!” yang selalu berhasil membuat Aruna tertawa gembira.“Aduh, Adrian, kamu nggak lihat file presentasiku di meja kerja, kan?” tanya Ayla, suaranya terdengar memantul dari dapur ke ruang tengah. “Kayaknya tadi malam aku taruh di sana deh.”Dengan alisnya yang sedikit terangkat, Adrian menoleh, “Yang file biru itu? Udah aku simpan di rak paling atas, biar Aruna nggak jadi mainan lagi.”“Ah, iya, benar sekali. Makasih ya,” sahut Ayla, sambil berlari kecil menuju rak
Pertemuan yang semula kikuk itu mulai mencair berkat usaha Nadya. Dengan nada ramah, ia memperkenalkan diri,"Namaku Nadya," ucapnya sambil menyunggingkan senyum hangat kepada Ayla dan Adrian. "Senang sekali bisa berjumpa dengan kalian berdua. Bram sering sekali menceritakan tentang kalian."Ayla, terbawa suasana hangat tersebut, membalas dengan senyum lembut. "Senang bertemu denganmu juga, Nadya. Kamu terlihat seperti seseorang yang hangat dan menyenangkan."Nadya tertawa kecil, matanya berbinar saat menoleh ke arah Bram dengan penuh kelembutan. "Terima kasih, Ayla. Mungkin itu juga pengaruh dari Bram, dia memang orang yang istimewa."Ayla memperhatikan senyum tipis yang tersungging di wajah Bram—sesuatu yang langka ia saksikan. Bram tampaknya lebih santai, lebih terbuka, seperti terbebas dari beban.Adrian, yang ingin memastikan percakapan tetap mengalir, bertanya, "Jadi, kapan kalian berencana menikah?""Dua bulan lagi," sahut Nadya
Acara pertunangan itu berlangsung dengan gemerlap dan penuh tawa, namun bagi Ayla, sorotan malam itu bukanlah pada Bram dan Nadya.Sorotan itu tertuju pada kesadaran mendalam yang muncul di antara dia dan Adrian, tentang bagaimana mereka telah tumbuh dan berkembang bersama sebagai sepasang kekasih.Di sebuah sudut ruangan yang tenang, mereka berdua duduk bersisian di meja kecil, menikmati seiris kue yang lezat sambil terlibat dalam percakapan yang ringan namun penuh makna.Adrian dengan lembut menyeka sisa krim yang terselip di sudut bibir Ayla menggunakan ibu jarinya, suatu gerakan kecil yang mengundang tawa lembut dari Ayla."Kamu ini, selalu saja punya cara untuk membuatku tersipu," ujar Ayla sembari memberikan tepukan ringan di lengan Adrian.Adrian hanya tersenyum simpul, matanya berbinar dengan keseriusan. "Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu di hatiku. Sayang, kita sudah melewati banyak hal bersama. Terkadang aku bertanya-tanya
Hari pernikahan Bram tiba lebih cepat dari yang Ayla bayangkan. Setelah memutar berbagai pertimbangan dalam pikirannya, ia akhirnya memutuskan untuk absen. Baginya, hadir hanya akan membuka kembali luka lama yang telah ia usahakan untuk sembuh.Namun, pada malam yang sama, suasana di ruang tamu rumah Ayla terasa hangat dan nyaman. Ayla dan Adrian tenggelam dalam dunia film yang mereka tonton, ditemani tawa riang Aruna yang sesekali terdengar.Suasana itu sempat terhenti ketika Adrian tiba-tiba bertanya dengan nada penuh perhatian, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"Ayla menoleh, matanya menatap Adrian dengan tatapan yang mengandung kebulatan tekad. "Yakin," jawabnya, mantap. "Aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Bram sekarang punya kehidupannya, dan aku juga. Tidak perlu aku membuktikan sesuatu dengan kehadiranku di sana."Senyum mengembang di wajah Adrian, dia kemudian meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. "Kamu sudah melangkah sangat jauh