Di pojok hijau taman, Ayla menempati bangku kecil, matanya berkelana menangkap pemandangan tamu-tamu yang larut dalam kesenangan malam itu. Tiba-tiba, Adrian muncul dengan langkah ringan, membawa dua gelas minuman sebagai tanda ikatan.
“Sudah siap menjalani hidup bersamaku sebagai istri?” tanyanya penuh gurau, sambil memberikan satu gelas kepada Ayla.
Dengan tawa renyah, Ayla menyandarkan kepala di bahu Adrian yang hangat. “Bersamamu, aku siap mengarungi segala galaksi.”
Mengapit Ayla dalam pelukannya, Adrian mencium puncak kepalanya lembut. “Dan aku akan memastikan bahwa kebahagiaanmu tak akan pernah luntur, sayang.”
Di bawah taburan bintang, mereka berdua merasakan bahwa cinta yang mereka rajut bersama telah menemukan pelabuhan—sebuah permulaan baru yang dipenuhi harapan dan kegembiraan yang tak terkira.
Sinar matahari pagi yang hangat menembus tirai jendela kamar mereka yang mungil, seolah mengusik Ayla
Beberapa hari setelah Adrian pergi bekerja, Ayla melangkah pelan-pelan menuju apotek kecil yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Tangannya sedikit gemetar ketika memilih alat tes kehamilan, mencoba mengendalikan ragam emosi yang bercampur aduk di dalam dadanya.Di rumah, Ayla mengambil tempat duduk di kamar mandi, memegang alat tes tersebut di tangannya. Detik demi detik berlalu sangat lambat, suara jam dinding terdengar begitu jelas dan menggema di ruangan sempit tersebut.Ketika garis kedua mulai terlihat, matanya membesar, tak percaya. Tangannya spontan menutupi mulutnya, air mata perlahan menggenang di sudut matanya."Aku hamil," bisiknya lirih, suaranya terdengar penuh kekaguman dan sedikit ketidakpercayaan.Sore itu, Ayla menunggu Adrian pulang dengan perasaan yang campur aduk antara gugup dan antusias. Ia telah menyiapkan cara sederhana untuk menyampaikan kabar bahagia itu.Sebuah kotak kecil dengan pita biru terletak manis di atas meja
Pagi itu langitnya cerah sekali, dengan sinar matahari yang lembut menyelinap masuk melalui jendela ruang tamu dan memantulkan sinar hangat ke atas lantai kayu yang mengkilap.Ayla bersandar nyaman di sofa, punggungnya disangga bantal kecil, tangannya yang satu menggenggam erat secangkir teh herbal hangat yang dibuatkan oleh Adrian. Perutnya yang kini semakin terlihat, mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan kecil yang bergerak di dalamnya.Adrian muncul dari dapur dengan membawa mangkuk kecil yang berisi potongan-potongan buah segar. Dengan langkah ringan, ia berjalan mendekati Ayla sambil tersenyum lebar, kemudian duduk di sebelahnya di sofa. "Coba ini," katanya sambil menyodorkan sepotong stroberi dengan garpu.Ayla mengangkat alisnya, setengah tersenyum. "Kamu pikir aku tidak bisa makan sendiri?" selorohnya dengan nada gurau.Adrian tertawa kecil, suara tawanya menggema kelembutan. "Aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan yang terbaik untuk bayi k
Namun, ada saat-saat Ayla merasa lelah menghimpit jiwa. Di salah satu malam yang dingin, setelah hari yang sibuk, Ayla menumpahkan air mata di kesunyian kamar, sembari mencoba menyembunyikan wajahnya yang basah di balik bantal.Adrian, dengan langkah lembut, memasuki ruangan dan duduk di pinggir tempat tidur Ayla, menempatkan tangan hangatnya di punggung Ayla yang terguncang oleh isak tangis. "Ada apa, sayang?" tanyanya dengan suara yang menenangkan.Ayla mengangkat wajahnya, air matanya
Setelah beberapa menit tegang, mereka menempati kursi di ruang tamu. Ayla berusaha mempertahankan ketenangan, meskipun getaran ketegangan masih terasa mengudara."Bicara sebentar saja," Bram membuka percakapan dengan suara yang berusaha tetap lembut. "Aku hanya ingin memastikan anak ini mengenalku. Hanya itu."Mata Ayla tertancap pada Bram untuk waktu yang lama. Wajah Bram kini tak lagi tajam seperti kenangan yang tersimpan di benaknya, namun matanya masih bersinar dengan ambisi yang sama. "Kamu mengerti ini tidak akan mudah, Bram?" suaranya rendah, hampir tidak terdengar.Bram mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku sadar. Tapi aku bersedia berusaha."Di sebelah Ayla, Adrian masih tampak enggan. "Dan jika kami memilih untuk tidak?" suaranya serak. "Jika kami memilih menjaga jarak, apa kamu akan memaksa?"Bram memandang Adrian, tatapannya serius. "Aku tidak akan memaksa. Tapi aku berharap kalian bisa mempertimbangkannya."Suasana hening sej
Adrian menghela napas panjang, perlahan berbalik dan tenggelam dalam kelembutan sofa. Ayla mengikuti, mendekat dan duduk di sampingnya, tangannya erat menggenggam tangan Adrian.“Aku harus berbicara, Adrian,” ujar Ayla dengan suara yang penuh kelembutan, “Bram itu bagian dari masa laluku. Sekarang, dengan seluruh hatiku, aku yakin bahwa meninggalkannya adalah keputusan yang benar. Kaulah masa depanku, kaulah ayah dari anak kita ini, dan tak seorang pun bisa merubahnya.”Adrian menatap dalam ke arah Ayla, matanya perlahan menghangat. “Aku hanya... kadang merasa diriku tak layak, Ay. Apa yang bisa aku tawarkan padamu? Bram memiliki segalanya—uang, kekuasaan. Sementara aku, aku hanya seorang pria biasa yang mencintaimu dengan setiap denyut nadi kehidupanku.”Dengan senyum yang penuh pengertian, Ayla menyeka air mata yang mulai membentuk sudut di matanya. Ia menyentuh pipi Adrian dengan lembut, jari-jarinya yang hangat
Mentari pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya, seakan merajut selimut kelembutan di taman kecil di depan rumah Ayla dan Adrian. Kicau burung membaur sempurna dengan suasana yang damai, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.Ayla, yang terduduk di bangku taman dengan buku terbuka di pangkuannya, sebenarnya tak benar-benar tenggelam dalam bacaan. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir dengan Bram yang meninggalkan banyak tanya.Adrian muncul dari balik pintu, tangannya membawa secangkir teh hangat untuk Ayla. Ia menatap istri tercintanya dengan penuh kelembutan, sebelum akhirnya duduk di sampingnya. “Kamu tampak tenggelam dalam pikiran. Masih terbayang-bayang pertemuan kemarin?” tanyanya lembut.Ayla mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Adrian yang kokoh. “Aku hanya berusaha memahami, Adrian. Sungguh, aku tidak pernah menduga Bram akan berkata seperti itu,” ujarnya dengan suara bergetar.Adrian menyesap
Pada suatu minggu yang hangat, Bram tiba di rumah mereka, kali ini dengan membawa seorang tukang kebun yang ia percayai. Aura yang biasanya terasa dingin dan tertutup, kini seolah melebur dalam kelembutan senyumnya."Rumah kalian benar-benar nyaman," ujarnya seraya matanya menelusuri setiap sudut taman kecil itu dengan penuh minat."Terima kasih," Adrian membalas, suaranya dipenuhi kehati-hatian namun tetap meresapi kehangatan yang kini mengalir dari kakaknya.Mereka menghabiskan sore itu dengan asyik mendiskusikan tentang metamorfosis taman mereka yang akan datang. Bram, dengan perhatian yang belum pernah terlihat sebelumnya, serius mendengarkan setiap kata yang Ayla utarakan, mencatat detil-detil kecil yang mungkin terabaikan.Di antara obrolan, Adrian tidak bisa berhenti memperhatikan transformasi yang terjadi pada Bram—lebih pendengar daripada penguasa, suatu perubahan yang mengejutkan.Ketika langit mulai meredup dan Bram harus pamit, se
Namun, tidak setiap hari terasa ringan dan mudah. Suatu malam yang dingin, Ayla tiba-tiba merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Adrian, yang terlelap dalam mimpi, terjaga oleh suara lirih Ayla yang terdengar bagai bisikan angin malam.“Ayla, ada apa ini?” tanya Adrian, suaranya terbungkus kepanikan, sambil segera menyalakan lampu kamar yang semula remang.Menggenggam dada, wajah Ayla pucat pasi. “Aku... aku sulit bernapas, Ad.”Tanpa pikir panjang, Adrian menyambar jaketnya, mendukung Ayla yang berusaha berdiri, dan membawanya ke rumah sakit terdekat.Selama perjalanan, Adrian berusaha keras menjaga ketenangannya, meskipun hatinya bagai dihempas gelombang besar. Tangannya erat menggenggam tangan Ayla, matanya sesekali melirik ke arahnya, penuh kecemasan. “Tahan sebentar lagi, Ay. Kita sudah hampir sampai.”Dengan segala kekuatan yang tersisa, Ayla mengangguk lemah. Senyumnya terkembang, mencoba menenangkan Ad
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn