Malam itu, Ayla duduk di ruang tengah, sambil menghangatkan diri dengan secangkir teh. Kedamaian menguasai rumah—Aruna sudah terlelap di kamarnya, sementara Adrian baru saja selesai mandi setelah menjalani hari yang penuh di kantor.
Di depannya, tergeletak buku sketsa dengan beberapa desain interior yang telah lama tidak ia sentuh, suatu hobi yang terpaksa ia tinggalkan demi mengurus rumah dan keluarga.
Ayla memainkan pensil di tangan, menggambar garis demi garis yang perlahan-lahan memunculkan bentuk ruang tamu bergaya modern. Matanya berkilau melihat hasil karyanya, tetapi tidak lama kemudian, sorot matanya mengendur.
Sudah lima tahun berlalu sejak ia menggantungkan mimpinya sebagai desainer interior untuk mengabdikan diri penuh pada keluarga.
Kini, dengan Aruna yang sudah semakin besar, kerinduannya pada dunia profesional kembali menggelora, namun diiringi rasa bersalah yang tak kalah kuat.
Langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Muncul da
Hari-hari yang berlalu semakin terasa hangat dengan kesibukan baru yang dijalani Ayla. Dengan semangat yang tak pernah pudar, ia membagi waktunya antara menggarap desain, mengasuh Aruna, dan menjalin kehangatan dalam hubungan bersama Adrian.Meskipun terkadang melelahkan, Ayla merasakan bahwa setiap detik dalam hidupnya kini semakin berarti dan penuh warna.Namun, seperti irama lagu yang tak selalu merdu, tantangan hidup pun tak pernah berhenti menghampiri. Suatu malam, ketegangan tergambar jelas di wajah Ayla yang duduk termenung di meja makan, matanya tertuju pada layar laptop yang menyala.Proyek pertamanya sebagai desainer freelance semakin mendesak, sementara di sisi lain, tangis Aruna yang memanggil-manggil ibunya dari kamar tidur menambah kerumitan malam itu.Tepat saat itu, Adrian yang baru saja pulang dari kantor segera mengambil alih situasi. "Kamu fokus saja pada desainmu, Ay. Biar aku yang menenangkan Aruna," ujarnya sambil melepas jaket kerja
Hari itu terasa lebih ringan, seakan langkah mereka mengikuti irama yang lebih lembut dan teratur. Adrian, dengan tulusnya, menawarkan bantuan pada Ayla untuk menyelesaikan urusan rumah tangga, mulai dari mencuci piring hingga membereskan kamar bayi.Di ruang tengah, Adrian sedang asyik mengelap lantai ketika Ayla mengamatinya dari ambang pintu dapur. Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada, senyuman mengembang di wajahnya. “Kamu terlihat sangat serius, Adrian,” goda Ayla dengan nada ringan.Adrian menoleh, masih dengan kain pel di tangannya. “Aku harus serius, kalau tidak bisa kena marah nih sama bos besar di rumah ini.” Suaranya bersahabat, menyelipkan gurauan halus.Ayla terkekeh, menggelengkan kepala. “Aku kan jarang marah, Adrian.”“Tapi aku tahu kamu lelah, Ay,” Adrian kembali pada pekerjaannya, suaranya lembut dan penuh pengertian. “Kalau ada yang bisa aku lakukan, mengapa tidak?”
Saat Ayla melangkah ke dalam kantor kliennya—sebuah perusahaan kecil yang tengah menyegarkan kembali ruang kerjanya—perasaan gugup bercampur dengan gelora semangat menyelinap dalam dirinya.Langkahnya mungkin terlihat ragu, tetapi begitu dia mulai berinteraksi dengan tim di sana, semangatnya kembali membara. Instingnya sebagai desainer interior terpicu, memandu setiap langkah dan keputusan yang diambilnya dengan cermat.Dengan penuh keyakinan, ia memperkenalkan beberapa sketsa desain yang telah ia rancang, menguraikan tiap detail dengan jelas dan percaya diri. Setiap kali ada masukan atau pertanyaan dari hadirin, Ayla menanggapinya dengan tenang dan penuh pertimbangan.Di tengah presentasi, sebuah realisasi menghampirinya—betapa ia merindukan momen-momen seperti ini. Baginya, ini seperti kembali ke rumah, ke tempat di mana ia dapat sepenuhnya menjadi diri sendiri.Setelah hari yang panjang, Ayla pulang dengan langkah yang lebih ringan, m
Pagi itu, semerbak aroma kopi yang baru diseduh memenuhi setiap sudut dapur kecil mereka. Ayla, sambil menyajikan kopi, mengamati Aruna yang asyik bermain dengan balok-balok berwarna cerah di lantai.Di sisi lain, Adrian tampak serius memandangi layar ponselnya, dahi berkerut menandakan ada sesuatu yang mengganggunya."Ada yang tidak beres?" Ayla bertanya, penuh kekhawatiran, seraya menaruh secangkir kopi hangat di depan Adrian. Ia lantas duduk di samping suaminya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.Adrian meletakkan ponselnya, lalu dengan gerak yang ragu, mengusap tengkuknya. "Hmm, ada berita yang mungkin akan membuatmu terkejut," ujarnya dengan nada yang mencoba menenangkan.Ayla mengernyit, rasa penasaran terpampang jelas di wajahnya. "Berita apa itu?"Mengambil napas dalam, Adrian akhirnya berbicara, "Bram, dia baru saja mengumumkan pertunangannya."Kabar itu jatuh seperti petir di siang bolong, meresap pelan ke dalam dada Ayl
Hari pernikahan Bram tiba lebih cepat dari yang Ayla bayangkan. Setelah memutar berbagai pertimbangan dalam pikirannya, ia akhirnya memutuskan untuk absen. Baginya, hadir hanya akan membuka kembali luka lama yang telah ia usahakan untuk sembuh.Namun, pada malam yang sama, suasana di ruang tamu rumah Ayla terasa hangat dan nyaman. Ayla dan Adrian tenggelam dalam dunia film yang mereka tonton, ditemani tawa riang Aruna yang sesekali terdengar.Suasana itu sempat terhenti ketika Adrian tiba-tiba bertanya dengan nada penuh perhatian, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"Ayla menoleh, matanya menatap Adrian dengan tatapan yang mengandung kebulatan tekad. "Yakin," jawabnya, mantap. "Aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Bram sekarang punya kehidupannya, dan aku juga. Tidak perlu aku membuktikan sesuatu dengan kehadiranku di sana."Senyum mengembang di wajah Adrian, dia kemudian meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. "Kamu sudah melangkah sangat jauh
Acara pertunangan itu berlangsung dengan gemerlap dan penuh tawa, namun bagi Ayla, sorotan malam itu bukanlah pada Bram dan Nadya.Sorotan itu tertuju pada kesadaran mendalam yang muncul di antara dia dan Adrian, tentang bagaimana mereka telah tumbuh dan berkembang bersama sebagai sepasang kekasih.Di sebuah sudut ruangan yang tenang, mereka berdua duduk bersisian di meja kecil, menikmati seiris kue yang lezat sambil terlibat dalam percakapan yang ringan namun penuh makna.Adrian dengan lembut menyeka sisa krim yang terselip di sudut bibir Ayla menggunakan ibu jarinya, suatu gerakan kecil yang mengundang tawa lembut dari Ayla."Kamu ini, selalu saja punya cara untuk membuatku tersipu," ujar Ayla sembari memberikan tepukan ringan di lengan Adrian.Adrian hanya tersenyum simpul, matanya berbinar dengan keseriusan. "Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu di hatiku. Sayang, kita sudah melewati banyak hal bersama. Terkadang aku bertanya-tanya
Pertemuan yang semula kikuk itu mulai mencair berkat usaha Nadya. Dengan nada ramah, ia memperkenalkan diri,"Namaku Nadya," ucapnya sambil menyunggingkan senyum hangat kepada Ayla dan Adrian. "Senang sekali bisa berjumpa dengan kalian berdua. Bram sering sekali menceritakan tentang kalian."Ayla, terbawa suasana hangat tersebut, membalas dengan senyum lembut. "Senang bertemu denganmu juga, Nadya. Kamu terlihat seperti seseorang yang hangat dan menyenangkan."Nadya tertawa kecil, matanya berbinar saat menoleh ke arah Bram dengan penuh kelembutan. "Terima kasih, Ayla. Mungkin itu juga pengaruh dari Bram, dia memang orang yang istimewa."Ayla memperhatikan senyum tipis yang tersungging di wajah Bram—sesuatu yang langka ia saksikan. Bram tampaknya lebih santai, lebih terbuka, seperti terbebas dari beban.Adrian, yang ingin memastikan percakapan tetap mengalir, bertanya, "Jadi, kapan kalian berencana menikah?""Dua bulan lagi," sahut Nadya
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela rumah kecil itu, menari-nari di antara aroma kopi yang baru saja diseduh. Ayla, dengan lengan blusnya yang tergulung rapi, tengah sibuk berkelana di dapur sambil sesekali memeriksa daftar tugas yang berderet di layar ponselnya.Di meja makan, suasana menjadi lebih hangat saat Adrian dengan lembut menyuapi Aruna, putri kecil mereka yang ceria, sambil sesekali membuat suara lucu, “aaaa… nyam!” yang selalu berhasil membuat Aruna tertawa gembira.“Aduh, Adrian, kamu nggak lihat file presentasiku di meja kerja, kan?” tanya Ayla, suaranya terdengar memantul dari dapur ke ruang tengah. “Kayaknya tadi malam aku taruh di sana deh.”Dengan alisnya yang sedikit terangkat, Adrian menoleh, “Yang file biru itu? Udah aku simpan di rak paling atas, biar Aruna nggak jadi mainan lagi.”“Ah, iya, benar sekali. Makasih ya,” sahut Ayla, sambil berlari kecil menuju rak
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn