Terima kasih untuk yang masih setia mengikuti cerita ini. Tidak lama lagi kok.... đđ
[Aku belum tahu, Ran. Apakah bisa datang atau tidak. Aku sedang ada masalah di tempatku bekerja.] Begitu bunyi balasan pesan dari Amar. Membuat Rania seketika merasa panik. Padahal ia juga sedang berduka. Dan wanita itu rela meninggalkan kampung halamannya kembali demi sidang cerai mereka. "Aku mohon, Mas. Datanglah. Agar masalah kita segera selesai. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang." Beberapa menit berlalu. Amar tak lagi membalas pesan dari Rania. Wanita itu hanya bisa pasrah. Berharap mantan suaminya bisa datang. *** Keesokan harinya Rania duduk seorang diri di teras rumah setelah sarapan. Sang paman sudah berangkat ke kantor. Semenjak Resti masih di dalam kamarnya. "Apa yang harus aku lakukan? Apakah sebaiknya aku mencoba mencari pekerjaan saja? Tapi perutku sudah semakin membuncit sekarang." Rania mengelus lembut perutnya. Entah mengapa ia sudah tidak sabar menanti hadirnya sang buah hati ke dunia. "Sehat-sehat terus ya, Nak." Wanita itu berucap dengan tulus. Sambil t
"Ada apa Ran? Sepertinya kamu terkejut gitu?" tanya Resti penasaran. "Itu mamanya Cindy 'kan Tante?" balas Rania sedikit was-was. "Oh, kamu tahunya dia mamanya? Itu Tante Cindy yang merawatnya sejak kecil." Resti menjelaskan panjang lebar karena merasa jika Rania belum tahu seluk beluk Mita. Wanita paruh baya itu segera mengajak Rania untuk menghampiri Mita dan memberikan hadiah yang sudah disiapkan sejak tadi. Karena Rania berjalan pelan, ia sampai ketinggalan. Di saat wanita hamil itu berjalan seorang diri untuk menyusul tantenya, tiba-tiba saja Cindy sudah berada di dekatnya dan terjatuh tepat di depan wanita itu. Membuat Rania seketika kaget dibuatnya. "CiâCindy ... kamu?" Keponakan Resti tersebut hendak menolong Cindy. Tetapi wanita itu justru berteriak kencang dan menepis tangan Rania. "Rafka! Tolong aku!" Cindy berpura-pura kesakitan. Mita yang mendengarnya segera menyuruh Rafka untuk menolong Cindy. Ia tidak ingin gadis itu kenapa-napa. Rafka berjalan sambil berlari. I
Rafka berjalan hendak menghampiri Rania dan Devan. Tetapi tiba-tiba Mita menghadangnya. "Raf, kamu apakan Cindy? Kenapa dia sampai menangis seperti itu? Apakah ada hal yang kalian sembunyikan dari Tante selama ini?" tanya Mita penuh selidik. "Cindy telah berbohong, Tante. Saya harus meminta maaf kepada Rania karena telah membuatnya kecewa." Tanpa menunggu jawaban dari Mita, Rafka segera menemui Rania. Mita masih memperhatikan Rafka. Seketika ia merasa terkejut saat melihat Rania sedang berduaan dengan putranya yang selama ini tidak pernah dekat dengan seorang perempuan. Merasa tidak terima, Mita menyusul kepergian Rafka. "Terima kasih, Pak Devan. Telah membantu saya." "Em, sebenarnya itu semua tidaklah gratis. Kamu tadi telah mengabaikan uluran tanganku. Jadi sebaiknya sekarang kamu membalasnya." Rania mengernyit heran. Ia masih tidak paham apa yang dikatakan oleh Devan. "Maukah kamu berteman denganku? Tolong jangan memanggilku bapak. Aku belum menikah." Devan kembali mengulur
Hari Minggu telah tiba. Pagi itu Resti kembali mengajak Rania untuk jalan santai. Ia menemani wanita itu kemanapun dia ingin pergi. Termasuk mempersiapkan diri untuk jalan bersama Devan. Rania sudah menceritakannya tentang Devan kepada tantenya. Tetapi tidak termasuk Rafka. Ia masih takut jika Resti juga menentang hubungannya tersebut. "Tante, terima kasih sudah bersedia menghiasi wajah Rania malam ini," ungkap Rania malu-malu. "Kamu sangat cantik, Rania. Dan kamu tidak perlu berterima kasih. Kalau tante bilang kamu sangat cocok dengan Devan. Tetapi tante tidak mau jika nanti kamu dipermalukan kembali oleh Mita. Tante rasa cukup sekali ini saja kamu jalan dengannya." "Rania mengerti, Tante." Beberapa menit kemudian, Devan telah siap menjemput Rania. Wanita itu pergi menemani Devan ke acara pesta temannya. Ia memang hanya mengenakan gaun hitam polos sederhana. Namun penampilannya sudah sukses membuat Devan terpukau. "Jangan menatapku seperti itu, Devan. Aku tidak suka," peringat R
Devan mempercepat langkah kakinya. Ia berlari sekuat tenaga. Lelaki itu bisa melihat Rania yang masih terduduk di tepi jalan. Seketika dirinya mengumpat berkali-kali karena tidak ada satu pun orang yang menolong Rania. "Brengsek! Mengapa tidak ada yang berusaha menyelamatkan Rania? Sedang apa mereka?" Devan terlihat ngos-ngosan. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sudah tidak beraturan. "Tunggu aku, Ran. Aku akan menolongmu. Maafkan aku telah membuatmu terjebak dalam keadaan bahaya malam ini." *** Malam itu Delvinâpaman Rania masih disibukkan dengan beberapa pekerjaan mengetik di ruangannya. Lelaki itu sedang menanti kedatangan seseorang. Sesekali ia melihat jam di tangannya. Belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang sama sekali. Ia mulai menggerak-gerakkan jemari pada dagunya. "Em, apakah dia tidak datang?" Delvin berucap seraya melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat pintu ruangannya dibuka dari luar. "Paman, ada apa? Kenapa memintaku
"Ya, sepertinya aku harus jujur kepadamu. Aku tidak perlu lagi menutupi semua ini." Rafka berucap dengan yakin. "Apa maksud kamu?" Devan semakin penasaran dengan ucapan Rafka baru saja. Ia tidak akan rela jika sepupunya hanya dipermainkan oleh Rafka. "Aku dan Rania saling mencintai, Devan." Akhirnya Rafka mengatakan kalimat itu. "Rania hamil anak aku. Dan kamu telah membuatnya kehilangan calon penerus kami." Rafka memperlihatkan sorot tajam matanya. Ia benar-benar sakit hati dengan Devan. Baginya lelaki itu adalah penyebab Rania keguguran. "Sudah, Rafka. Jangan bertengkar di rumah sakit. Ini sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa." Delvin mencoba menenangkan Rafka. Ia merangkul tubuh lelaki itu agar duduk di sebuah kursi. "Jadi benar jika Rafka hanya mempermainkan Cindy? Kurang ajar!" Devan memilih untuk meninggalkan rumah sakit. Ia pulang dan ingin menemui Cindy. Niatnya untuk membatalkan pernikahan mereka berdua. *** Rafka dan Delvin setia menunggu Rania hingga sadar. San
"Tolonglah, Paman. Aku mohon." Rania tetap membujuk pamannya. "Baiklah, jika kamu memaksa. Paman tidak bisa mengelak lagi." Delvin menurut saja. Di sisa umurnya kini, ia ingin membuat Rania bahagia. Lelaki paruh baya itu jadi teringat akan Andraâputranya yang sudah lama tinggal di luar negeri, tetapi belum mau menikah juga hingga sekarang. Rania pun tersenyum lega. Ia tidak peduli jika Rafka tidak menemaninya. Yang terpenting ada sang paman yang menjaganya. Mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke pengadilan agama. Sementara Resti sedang ada urusan dengan saudaranya yang ada berada di luar kota. *** Karena sibuk kuliah, Aluna tidak sempat datang menjenguk kakaknya. Namun ia sudah meminta maaf dan mengabarkan berita keguguran Rania kepada Romi. Romi yang masih tinggal di kampung hanya bisa mendo'akan kebaikan putrinya. Ia juga sadar diri karena Rania masih kecewa berat kepadanya. "Sebaiknya sekarang aku menjenguk Mbak Rania. Mumpung materi kuliahnya siang hari." Aluna berseman
Amar segera menghampiri wanita itu. Ia yakin jika perempuan yang berteriak meminta tolong adalah Keisya. Seorang karyawan di tempatnya bekerja. "Keisya, kamu kenapa?" tanya Amar penasaran. Ia melihat raut penuh ketakutan pada wajah Keisya. Tebakannya tidak meleset. Memang wanita yang berteriak meminta tolong. Melihat Amar yang selama ini ia kenal sebagai lelaki yang baik di kantor, Keisya langsung mendekap tubuhnya. "Pak Amar, tolong aku." Wajah wanita itu menunduk seolah mencari perlindungan. "Ayo, masuk ke dalam mobil saja." Dengan perlahan Amar melepaskan pelukan Keisya. Ia tidak mau jika ada yang melihat dan salah paham kepada mereka berdua. Setelah masuk ke dalam mobil, Keisya masih merasa ketakutan. "Minum dulu," ucap Amar seraya mengulurkan sebuah minuman botol yang masih utuh. "Terima kasih, Pak Amar." Keisya berujar pelan. Setelah menunggu Keisya minum dan sedikit merasa tenang, akhirnya Amar angkat bicara. "Apa yang terjadi Keisya? Kenapa kamu berkeringat seperti ini