Apakah ada yang masih setia menunggu Rania dan Rafka bersatu? 😌
Rania berusaha membangunkan Dewi. Tetapi ibunya tersebut tetap tak sadarkan diri. Wanita itu tidak punya pilihan lain. Ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar yang ada di sana. Beruntung ada satu orang yang menawarkan kebaikan agar Dewi masuk ke dalam mobilnya dan segera dibawa ke rumah sakit. Dia adalah seorang lelaki yang cukup tampan. Lelaki itu mengangkat tubuh Dewi dan membantu memasukkan barang-barang belanjaan Rania ke dalam bagasi mobilnya. Ia melajukan mobil cukup kencang agar segera tiba di sebuah rumah sakit. Tak butuh waktu lama mobil lelaki itu telah berhenti di sebuah rumah sakit besar. Ia segera mengangkat tubuh Dewi dan mencarikan seorang dokter. "Terima kasih atas pertolongannya. Saya tidak tahu jika tidak ada Anda tadi pasti Ibu saya tidak segera ditangani," ucap Rania setelah ibunya masuk ke dalam sebuah ruangan di rumah sakit berkat pertolongan seorang lelaki yang tak dikenalinya. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajiban kita sesama manusia
Devan tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya. Ia bingung harus menjawab apa. Mungkin sebaiknya membiarkan Aluna masuk dan tahu sendiri bagaimana keadaan ibunya. "Masuklah. Rania ada di dalam," balas Devan sopan. Aluna mengangguk cepat. Ia segera masuk untuk menghampiri kakaknya dan melihat kondisi ibunya. Sementara Bayu dan Devan menunggu di luar. Mereka terlihat saling mengenalkan diri dan berbicara serius. Aluna berjalan pelan ketika melihat Rania menangis tersedu-sedu di samping Dewi. Ibunya tersebut terlihat memejamkan kedua mata dengan bibir yang memucat. "Mbak Rania, kenapa menangis?" tanya Luna pelan. "Apa yang terjadi sama Ibu?" Aluna semakin mendekat. Menyaksikan keadaan ibunya yang sudah tidak bergerak sama sekali. "Ibu sudah meninggal, Lun. Ibu sudah tiada." Rania semakin menangis kencang. Tiba-tiba tingkahnya seperti orang aneh. Ia seperti kesurupan dan berusaha menyakiti tubuhnya sendiri. "Mbak Rania yang sabar, Mbak. Tolong jangan seperti ini." Aluna berusaha
"Mas Amar?" lirih Rania tidak percaya. Ia merasa kaget dengan kedatangan mantan suaminya yang tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya datang seorang diri tanpa istrinya. Amar berjalan sambil melirik ke arah Devan. Dari gelegatnya timbul rasa cemburu yang membara. "Biar saya yang mengantarkan Rania." Mantan suami Rania tersebut mengulangi ucapannya. Memperlihatkan kepada Devan bahwa dirinya yang lebih pantas. Kemudian ia menghampiri Rania yang masih terlihat lemah. "Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ibu. Kamu yang sabar ya, Ran? Aku akan mengantarkanmu pulang." Amar berucap dengan yakin. Wajahnya ikut terlihat sedih. Walau bagaimanapun juga dulu Dewi adalah mertua yang cukup baik. Meski sempat menentang hubungannya dengan Rania. "Tapi Mas? Tisa bagaimana? Aku takut nanti dia salah paham." Rania tidak ingin disalahkan. "Dia sudah memberikan izin kepadaku. Tadi dia masih ada keperluan dengan Paman Danis." Amar menjelaskan dengan jujur. Ia mengetahui kabar kematian Dewi dari Tisa yang
"Rafka? Kamu di sini?" Refleks wanita itu menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan hangat Rafka. Lelaki tampan itu menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ia menyesal tidak berada di samping Rania sejak awal. Dan kini ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Meski Rania kecewa dan kesal terhadap Rafka, tetapi ia sadar. Hanya pelukan Rafka yang mampu membuatnya merasa aman dan nyaman. "Meski aku tidak berada di sisimu, aku selalu mendo'akan yang terbaik untukmu, Ran. Dan calon anak kita. Mungkin ini memang takdir yang terbaik untuk Ibu." Mendengar penuturan dari Rafka, membuat Rania mendongakkan kepalanya. Ia sedikit menjauh dari lelaki itu. "Apa kamu tahu siapa yang membuat Ibu meninggal dunia?" tanya Rania tegas. Rafka terdiam. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Rania, terdengar suara seorang perempuan yang menyusulnya. "Rafka ... aku mencarimu sejak tadi. Rupanya kamu di sini?" tanya Cindy yang datang bersama Rafka ke kampung halaman Rania. Rafka berdiri dari duduknya. Untung saja Cin
Rania berdiri dari duduknya dan menyambut kedatangan Pak Lurah. "Mari, Pak. Silahkan duduk," ujar Rania berusaha bersikap ramah. "Oh, tidak perlu Bu Rania. Saya hanya ingin memberikan surat ini kepada Ibu. Kalau begitu saya mohon pamit." Pak Lurah langsung pulang setelah memberikan surat itu kepada Rania. Ia sebenarnya tidak tega melihat wanita itu karena sedang bersedih atas meninggalnya sang ibu. "Surat apa ini?" Rania segera membuka surat ini. Rupanya surat panggilan untuk sidang cerai. "Tiga hari lagi. Berarti hari Senin. Aku harus datang sendiri. Agar perceraianku dengan Mas Amar segera selesai." Rania berjalan menuju kamarnya untuk meletakkan surat itu. Ia teringat kembali dengan Rafka. Sebenarnya wanita itu membutuhkan Rafka sebagai saksi. Dan dulu mantan kekasihnya tersebut berjanji akan menemaninya saat sidang nanti. "Apakah aku harus memberitahukan hal ini kepada Rafka? Apakah dia mau datang?" Rania duduk di tepi ranjang. Beberapa detik kemudian terdengar suara langkah
Sebuah nomor baru mengirimkan beberapa foto persiapan pernikahan Rafka dengan Cindy. Wanita itu berdecak kesal. "Apa maksudnya mengirim gambar seperti ini? Ingin membuatku cemburu?" Rania melempar ponselnya asal-asalan. Ia mencoba untuk tidak memperdulikan pesan-pesan tidak jelas itu. Dengan melupakan semua yang terjadi, Rania mencoba untuk memejamkan kedua matanya. Keesokan harinya Rania terbangun cukup pagi. Wanita itu berjalan ke dapur dan mendapati Aluna sudah memasak banyak makanan. "Lun, kamu rajin sekali," seloroh Rania merasa kepo dengan aktivitas pagi adiknya. "Pagi, Mbak Rania. Aku sengaja masak pagi-pagi untuk Mbak Rania dan Paman yang hendak melakukan perjalanan ke kota." Aluna sepertinya berbicara sungguh-sungguh. Hal itu membuat Rania jadi terharu. "Lun, kamu serius melakukan semua ini demi Embak?" tanyanya lirih. "Tentu saja, Mbak. Lebih baik Mbak segera mandi dan mempersiapkan barang-barang apa yang akan dibawa." Aluna berucap dengan yakin. Gadis itu menunjukka
"Lihat ke sana, Rania. Sepertinya ada yang sedang mengalami kecelakaan. Kamu sabar, ya? Kita terjebak macet." Rania melihat jauh ke depan. Menyaksikan keadaan kanan dan kiri. "Bagaimana mungkin? Apakah sedari tadi aku hanya melamun? Sampai aku tidak menyadari jalanan yang tiba-tiba berdesakan ini?" Rania bergumam lirih. Tidak habis pikir dengan kelakuannya sendiri. *** Di rumah, Aluna kembali diteror oleh sebuah nomor baru. Kembali ia dikirimi pesan berisi foto-fotonya yang tak berbusana. "Apa sih maunya? Pasti ini ulah Kak Riko. Menyebalkan sekali." Aluna memilih untuk menghubungi nomor tersebut. Tidak butuh waktu lama panggilannya sudah diangkat oleh seseorang di seberang sana. "Kamu siapa? Apa mau kamu?" ucap Aluna pada inti permasalahannya. "Hei, Aluna, Sayang ... lemah lembutlah dalam berbicara. Jangan marah-marah seperti itu." "Apa mau Kak Riko? Belum puas Kak Riko sudah menghancurkan hidupku?" Gadis itu sudah sangat hafal dengan suara yang tengah menelponnya. Riko tert
[Aku belum tahu, Ran. Apakah bisa datang atau tidak. Aku sedang ada masalah di tempatku bekerja.] Begitu bunyi balasan pesan dari Amar. Membuat Rania seketika merasa panik. Padahal ia juga sedang berduka. Dan wanita itu rela meninggalkan kampung halamannya kembali demi sidang cerai mereka. "Aku mohon, Mas. Datanglah. Agar masalah kita segera selesai. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang." Beberapa menit berlalu. Amar tak lagi membalas pesan dari Rania. Wanita itu hanya bisa pasrah. Berharap mantan suaminya bisa datang. *** Keesokan harinya Rania duduk seorang diri di teras rumah setelah sarapan. Sang paman sudah berangkat ke kantor. Semenjak Resti masih di dalam kamarnya. "Apa yang harus aku lakukan? Apakah sebaiknya aku mencoba mencari pekerjaan saja? Tapi perutku sudah semakin membuncit sekarang." Rania mengelus lembut perutnya. Entah mengapa ia sudah tidak sabar menanti hadirnya sang buah hati ke dunia. "Sehat-sehat terus ya, Nak." Wanita itu berucap dengan tulus. Sambil t