Sedih nggak nih, pemirsa???? 😔 Kira-kira suara siapa ya, itu??? 🤔
"Mas Amar?" lirih Rania tidak percaya. Ia merasa kaget dengan kedatangan mantan suaminya yang tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya datang seorang diri tanpa istrinya. Amar berjalan sambil melirik ke arah Devan. Dari gelegatnya timbul rasa cemburu yang membara. "Biar saya yang mengantarkan Rania." Mantan suami Rania tersebut mengulangi ucapannya. Memperlihatkan kepada Devan bahwa dirinya yang lebih pantas. Kemudian ia menghampiri Rania yang masih terlihat lemah. "Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ibu. Kamu yang sabar ya, Ran? Aku akan mengantarkanmu pulang." Amar berucap dengan yakin. Wajahnya ikut terlihat sedih. Walau bagaimanapun juga dulu Dewi adalah mertua yang cukup baik. Meski sempat menentang hubungannya dengan Rania. "Tapi Mas? Tisa bagaimana? Aku takut nanti dia salah paham." Rania tidak ingin disalahkan. "Dia sudah memberikan izin kepadaku. Tadi dia masih ada keperluan dengan Paman Danis." Amar menjelaskan dengan jujur. Ia mengetahui kabar kematian Dewi dari Tisa yang
"Rafka? Kamu di sini?" Refleks wanita itu menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan hangat Rafka. Lelaki tampan itu menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ia menyesal tidak berada di samping Rania sejak awal. Dan kini ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Meski Rania kecewa dan kesal terhadap Rafka, tetapi ia sadar. Hanya pelukan Rafka yang mampu membuatnya merasa aman dan nyaman. "Meski aku tidak berada di sisimu, aku selalu mendo'akan yang terbaik untukmu, Ran. Dan calon anak kita. Mungkin ini memang takdir yang terbaik untuk Ibu." Mendengar penuturan dari Rafka, membuat Rania mendongakkan kepalanya. Ia sedikit menjauh dari lelaki itu. "Apa kamu tahu siapa yang membuat Ibu meninggal dunia?" tanya Rania tegas. Rafka terdiam. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Rania, terdengar suara seorang perempuan yang menyusulnya. "Rafka ... aku mencarimu sejak tadi. Rupanya kamu di sini?" tanya Cindy yang datang bersama Rafka ke kampung halaman Rania. Rafka berdiri dari duduknya. Untung saja Cin
Rania berdiri dari duduknya dan menyambut kedatangan Pak Lurah. "Mari, Pak. Silahkan duduk," ujar Rania berusaha bersikap ramah. "Oh, tidak perlu Bu Rania. Saya hanya ingin memberikan surat ini kepada Ibu. Kalau begitu saya mohon pamit." Pak Lurah langsung pulang setelah memberikan surat itu kepada Rania. Ia sebenarnya tidak tega melihat wanita itu karena sedang bersedih atas meninggalnya sang ibu. "Surat apa ini?" Rania segera membuka surat ini. Rupanya surat panggilan untuk sidang cerai. "Tiga hari lagi. Berarti hari Senin. Aku harus datang sendiri. Agar perceraianku dengan Mas Amar segera selesai." Rania berjalan menuju kamarnya untuk meletakkan surat itu. Ia teringat kembali dengan Rafka. Sebenarnya wanita itu membutuhkan Rafka sebagai saksi. Dan dulu mantan kekasihnya tersebut berjanji akan menemaninya saat sidang nanti. "Apakah aku harus memberitahukan hal ini kepada Rafka? Apakah dia mau datang?" Rania duduk di tepi ranjang. Beberapa detik kemudian terdengar suara langkah
Sebuah nomor baru mengirimkan beberapa foto persiapan pernikahan Rafka dengan Cindy. Wanita itu berdecak kesal. "Apa maksudnya mengirim gambar seperti ini? Ingin membuatku cemburu?" Rania melempar ponselnya asal-asalan. Ia mencoba untuk tidak memperdulikan pesan-pesan tidak jelas itu. Dengan melupakan semua yang terjadi, Rania mencoba untuk memejamkan kedua matanya. Keesokan harinya Rania terbangun cukup pagi. Wanita itu berjalan ke dapur dan mendapati Aluna sudah memasak banyak makanan. "Lun, kamu rajin sekali," seloroh Rania merasa kepo dengan aktivitas pagi adiknya. "Pagi, Mbak Rania. Aku sengaja masak pagi-pagi untuk Mbak Rania dan Paman yang hendak melakukan perjalanan ke kota." Aluna sepertinya berbicara sungguh-sungguh. Hal itu membuat Rania jadi terharu. "Lun, kamu serius melakukan semua ini demi Embak?" tanyanya lirih. "Tentu saja, Mbak. Lebih baik Mbak segera mandi dan mempersiapkan barang-barang apa yang akan dibawa." Aluna berucap dengan yakin. Gadis itu menunjukka
"Lihat ke sana, Rania. Sepertinya ada yang sedang mengalami kecelakaan. Kamu sabar, ya? Kita terjebak macet." Rania melihat jauh ke depan. Menyaksikan keadaan kanan dan kiri. "Bagaimana mungkin? Apakah sedari tadi aku hanya melamun? Sampai aku tidak menyadari jalanan yang tiba-tiba berdesakan ini?" Rania bergumam lirih. Tidak habis pikir dengan kelakuannya sendiri. *** Di rumah, Aluna kembali diteror oleh sebuah nomor baru. Kembali ia dikirimi pesan berisi foto-fotonya yang tak berbusana. "Apa sih maunya? Pasti ini ulah Kak Riko. Menyebalkan sekali." Aluna memilih untuk menghubungi nomor tersebut. Tidak butuh waktu lama panggilannya sudah diangkat oleh seseorang di seberang sana. "Kamu siapa? Apa mau kamu?" ucap Aluna pada inti permasalahannya. "Hei, Aluna, Sayang ... lemah lembutlah dalam berbicara. Jangan marah-marah seperti itu." "Apa mau Kak Riko? Belum puas Kak Riko sudah menghancurkan hidupku?" Gadis itu sudah sangat hafal dengan suara yang tengah menelponnya. Riko tert
[Aku belum tahu, Ran. Apakah bisa datang atau tidak. Aku sedang ada masalah di tempatku bekerja.] Begitu bunyi balasan pesan dari Amar. Membuat Rania seketika merasa panik. Padahal ia juga sedang berduka. Dan wanita itu rela meninggalkan kampung halamannya kembali demi sidang cerai mereka. "Aku mohon, Mas. Datanglah. Agar masalah kita segera selesai. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang." Beberapa menit berlalu. Amar tak lagi membalas pesan dari Rania. Wanita itu hanya bisa pasrah. Berharap mantan suaminya bisa datang. *** Keesokan harinya Rania duduk seorang diri di teras rumah setelah sarapan. Sang paman sudah berangkat ke kantor. Semenjak Resti masih di dalam kamarnya. "Apa yang harus aku lakukan? Apakah sebaiknya aku mencoba mencari pekerjaan saja? Tapi perutku sudah semakin membuncit sekarang." Rania mengelus lembut perutnya. Entah mengapa ia sudah tidak sabar menanti hadirnya sang buah hati ke dunia. "Sehat-sehat terus ya, Nak." Wanita itu berucap dengan tulus. Sambil t
"Ada apa Ran? Sepertinya kamu terkejut gitu?" tanya Resti penasaran. "Itu mamanya Cindy 'kan Tante?" balas Rania sedikit was-was. "Oh, kamu tahunya dia mamanya? Itu Tante Cindy yang merawatnya sejak kecil." Resti menjelaskan panjang lebar karena merasa jika Rania belum tahu seluk beluk Mita. Wanita paruh baya itu segera mengajak Rania untuk menghampiri Mita dan memberikan hadiah yang sudah disiapkan sejak tadi. Karena Rania berjalan pelan, ia sampai ketinggalan. Di saat wanita hamil itu berjalan seorang diri untuk menyusul tantenya, tiba-tiba saja Cindy sudah berada di dekatnya dan terjatuh tepat di depan wanita itu. Membuat Rania seketika kaget dibuatnya. "Ci–Cindy ... kamu?" Keponakan Resti tersebut hendak menolong Cindy. Tetapi wanita itu justru berteriak kencang dan menepis tangan Rania. "Rafka! Tolong aku!" Cindy berpura-pura kesakitan. Mita yang mendengarnya segera menyuruh Rafka untuk menolong Cindy. Ia tidak ingin gadis itu kenapa-napa. Rafka berjalan sambil berlari. I
Rafka berjalan hendak menghampiri Rania dan Devan. Tetapi tiba-tiba Mita menghadangnya. "Raf, kamu apakan Cindy? Kenapa dia sampai menangis seperti itu? Apakah ada hal yang kalian sembunyikan dari Tante selama ini?" tanya Mita penuh selidik. "Cindy telah berbohong, Tante. Saya harus meminta maaf kepada Rania karena telah membuatnya kecewa." Tanpa menunggu jawaban dari Mita, Rafka segera menemui Rania. Mita masih memperhatikan Rafka. Seketika ia merasa terkejut saat melihat Rania sedang berduaan dengan putranya yang selama ini tidak pernah dekat dengan seorang perempuan. Merasa tidak terima, Mita menyusul kepergian Rafka. "Terima kasih, Pak Devan. Telah membantu saya." "Em, sebenarnya itu semua tidaklah gratis. Kamu tadi telah mengabaikan uluran tanganku. Jadi sebaiknya sekarang kamu membalasnya." Rania mengernyit heran. Ia masih tidak paham apa yang dikatakan oleh Devan. "Maukah kamu berteman denganku? Tolong jangan memanggilku bapak. Aku belum menikah." Devan kembali mengulur
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i