Lanjut nggak nih??? Ternyata puasanya masih hari Selasa ya??? Ngetik dulu deh.... :))
“Tentu saja, boleh.” Lelaki itu tersenyum tulus seraya merentangkan kedua tangannya. Alsha segera mendekap erat lelaki yang telah menolongnya sambil memejamkan kedua matanya. Entah mengapa perasaan kini sangat bahagia. Sementara Rania yang menyaksikan kehangatan mereka berdua ikut terharu. Tetapi ia tidak mau Alsha terlalu berharap kepada lelaki itu. “Alsha ....!” teriak Rania kemudian. Saking semangatnya ia berlari hingga tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Rania tak sadar ada sebuah lubang di dekatnya. “Augh ... sakit!” Rania berteriak kesakitan. Kaki kanannya terperosok ke dalam lubang itu. Rasanya sangat perih. Ia merasakan ada sesuatu yang menusuk mengenai kakinya tersebut. “Mama!” Alsha pun ikut cemas. “Om, itu Mama saya. Sepertinya Mama sedang terluka.” “Baiklah, anak manis. Kamu tunggu di sini sebentar. Om akan menolong mama kamu.” Lelaki mengusap kepala Alsha sebelum benar-benar pergi. Setelah itu ia segera berlari untuk menolong Rania. Rania masih terlihat kesaki
Dalam tiga hari berturut-turut, Dave selalu menjenguk Rania di rumahnya dan membawakan beberapa makanan favorit wanita itu. Ia juga selalu mengecek keadaan luka di kaki Rania. Rania tidak pergi ke restoran untuk beberapa hari itu. Ia lebih memilih untuk beristirahat dan mencoba melupakan semua hal tentang Rafka. Hari ini kakinya sudah sembuh. Rania bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun ia berencana pergi ke restoran kembali esok hari. Entah mengapa malam itu Dave baru datang. Tak seperti biasanya yang datang lebih awal. Tetapi Rania tidak mempermasalahkan soal itu. “Martabak kesukaan kamu.” Dave meletakkan sekotak makanan ringan itu di atas meja sambil tersenyum manis kepada Rania. Lalu ia mengedarkan pandangannya. “Oh, ya. Anak-anak ke mana?” Rania berucap pelan. “Mereka sudah tidur. Sepertinya kelelahan.” Wanita itu menghirup udara kuat-kuat. Sebelum akhirnya berbicara kembali kepada dokter tampan tersebut. “Dave, tidak seharusnya kamu selalu membawakan makanan seperti ini.
Rania langsung mendekat ke arah pintu kamar itu. Lagi-lagi pintunya tidak terkunci dan sedikit terbuka. Membuat Rania bisa mendengar Dave yang tengah berbicara. “Apa mau kamu? Tidak cukup dengan uang yang aku berikan selama ini?” tanya Dave terlihat frutasi. “Aku kangen kamu, Dave.” “Kamu tahu jika aku mencintai Rania. Dan sekarang dia telah menerima lamaranku. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Rania. Tolong jangan ganggu aku lagi.” “Satu kali saja, Dave. Setelah ini aku akan merelakan kamu bersama wanita itu. Wanita yang telah merebut Rafka dariku.” Wanita itu mulai melepaskan pakaian yang dikenakan Dave. Tetapi lelaki itu segera menepisnya. “Cukup, Nina! Aku tidak mencintaimu. Harusnya kamu tahu akan hal itu.” “Baiklah jika kamu tidak mau, Dave. Aku bisa bilang kepada Rania bahwa kamu terlibat dalam kematian Rafka yang secara disengaja.” Nina berbicara dengan sangat yakin. Selama ini ia selalu memeras Dave dan menginginkan sentuhan lelaki itu. Sayangnya Dave selalu menghind
“Maafkan saya, Bu Rania ....” Nadia menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap langsung kepada Rania. “Jadi semuanya benar?” Rania memastikan. “Pak Rafka yang meminta saya untuk tidak mengatakannya Bu Rania.” Rania menggelengkan kepalanya. Dadanya kembali terasa sesak. Sungguh tega sekali Rafka melakukan hal itu kepadanya. Apa salahnya? Lelaki yang sangat ia cintai lebih memilih menikahi wanita lain tanpa sepengetahuannya. “Tapi kenapa Nadia? Kenapa Mas Rafka menyembunyikan semua ini?” Nadia segera mencoba menenangkan Rania. Ia mencoba menjelaskan semua yang telah terjadi. “Waktu itu hubungan saya dan Kak Fariz sempat membaik. Saat Pak Rafka dan Kak Fariz pulang dari luar negeri, saya pun di dekat mereka. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang mengirimkan gambar-gambar kemesraan Bu Rania dengan Dokter Dave. Pak Rafka sempat kecewa dan cemburu.” Nadia menghentikan sejenak ucapannya. Sementara Rania yakin jika Dave yang sengaja menyuruh seseorang itu. “Lalu?” Rania sudah tidak
Delvin mengusap pelan kepala milik Rania. Sejujurnya ia ikut sedih atas keadaaan yang terjadi. “Baiklah jika memang itu keputusanmu, Rania. Maafkan paman.” “Rania minta tolong Paman buat jagain Alsha dan Alma di rumah, ya? Rania mau menyusul Mas Rafka.” “Kamu yakin Rania? Mau ke sana sendirian? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu nanti?” Delvin tampak khawatir. Rania mengangguk saja. Ia sangat yakin bisa menemukan Rafka dan berbicara langsung dengan suaminya tersebut. “Baiklah. Paman akan atur semuanya. Besok kamu tinggal berangkat. Dan paman juga mengirimkan dua orang untuk menjagamu dari kejauhan. Mereka tidak akan mengganggu waktumu.” “Terima kasih, Paman.” Rania tersenyum lega. “Kalau begitu biar paman antarkan pulang. Nanti motornya biar diambil orang suruhan paman.” Rania pun setuju. Ia berpamitan kepada Nadia untuk pulang. “Terima kasih ya, Nad. Atas informasinya.” “Bu Rania mau memaafkan saya ‘kan? Bu Rania tidak dendam kan’? Nadia berucap dengan resah. “Untuk apa a
Beberapa jam telah berlalu. Rania dan Rafka bagaikan pengantin baru yang sedang menikmati malam pertama mereka. Keduanya tergolek lemah namun tetap berpelukan. “Mas ... apa yang sebenarnya terjadi? Rania ingin mendengar semuanya dari Mas Rafka. Dan apa yang Mas lakukan di sini? Kenapa Mas ... kenapa Mas Rafka tidak pernah cerita tentang penyakit Mas Rafka. Kamu tega sekali, Mas. Bukankah seharusnya Mas berterus terang agar kita bisa selalu mendukung dan Rania bisa selalu berada di samping Mas Rafka?!” Rania ingin meluahkan segala keluh kesahnya kepada Rafka. Meski ia telah mendengar semuanya dari Nadia, tetapi ia juga ingin mendengarkan penjelasan langsung dari suaminya tersebut. “Maafkan aku, Rania. Aku memang salah. Dan aku tidak pernah menyangka jika Dave berani melakukan semua itu kepadaku.” “Dave harus mendapatkan balasan yang setimpal. Aku sangat membencinya, Mas.” “Bukankah dia selalu ada untukmu, Sayang?” Jemari Rafka membelai rambut istrinya. Rafka begitu merind
Tiba di depan rumah, Rania memilih untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Rafka masih bersembunyi di luar. Nyatanya lelaki itu masih takut dan merasa bersalah. Apalagi di sana ada Delvin yang siap memukulinya jika Rafka tidak bisa meyakinkan kepada sang paman kenapa dirinya meninggalkan Rania dan calon bayi kembarnya. Satu langkah masuk ke dalam rumah, Rania langsung disambut hangat oleh Delvin. Alsha yang masih bermain dengan Resti seketika menoleh. Gadis kecil itu langsung berlari untuk memeluk sang mama sambil menunjukkan senyuman termanisnya.“Alsha kangen banget sama Mama,” ungkap Alsha manja. “Baru sehari saja ditinggal. Bagaimana kalau satu minggu? Bahkan satu bulan atau mungkin satu tahun?” Rania justru sengaja menggoda gadis kecilnya. “Jangan dong, Ma. Terus kejutannya mana? Katanya spesial,” peringat Alsha yang sudah tidak sabaran. “Tutup mata dulu, dong.” “Ih, Mama.” Alsha tampak cemberut. Namun ia tidak mau mengecewakan sang mama. “Baiklah.” Gadis kecil itu pun segera
Sementara Rafka mulai masuk ke dalam kamar putrinya. Lelaki itu melihat Alma yang sedang tengkurap di atas ranjang sambil menulis sesuatu pada sebuah buku. Sepertinya sebuah buku diary. Di saat mendengar pintu kamar dibuka dari luar, seketika gadis kecil itu menutup bukunya dengan cepat. Mungkin ia pikir yang datang adalah Rania. Rafka bisa melihat raut wajah penuh rasa terkejut pada Alma. Tetapi putrinya tersebut seolah menyembumyikannya. “Alma Sayang, sedang apa? Papa pulang ....” Rafka memperlihatkan senyuman terbaiknya. Namun apa yang ia dapatkan. Sama sekali Alma tidak menampakkan kebahagiaannya. Gadis kecil itu lalu duduk di tepi ranjang di saat sang papa mendekatinya. “Kenapa Papa meninggalkan kami?” tanya Alma langsung pada intinya. Rafka terkesiap mendengar pertanyaan dari putrinya. Bagaimana mungkin Alma bisa menanyakan hal seperti itu? Mengapa gadis itu tidak mengungkapkan rasa rindunya kepada seorang ayah? Seperti Alsha misalnya. Yang langsung memeluknya. Jemari Rafka
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i