"Kamu tolong awasi Kresna!" ujar Rendra, setelah mobilnya berhenti di kediaman istri ketiganya. "Iya, Mas, aku ngerti. Mas jangan kepikiran, ya! Nanti kita pastikan dulu." Kanti melukis senyum, berharap suaminya tidak cemas atas berita yang tadi dia sampaikan. "Kamu enggak salah! Sebelum ini pun Mas udah tahu kalau Kresna ketemu sama mantannya, cuma Mas terlalu berpikir positif, sampai Mas kecolongan sekarang," jawab Rendra sambil mengelus bahu Kanti. "Lalu untuk Wanda, bagaimana, Mas?" Kanti menatap suaminya cemas. Sebab, apa yang dia dengar dari Wanda dan laki-laki yang katanya mantan Kresna itu adalah hal yang cukup membuat Kanti kaget juga. "Kamu jangan khawatir!" pinta Rendra, "untuk masalah Wanda, biar Mas yang urus dia, dia tanggung jawab Mas." Kanti mengambil tangan kanan Rendra lalu mencium punggung tangan itu. "Ya udah, aku berangkat, Mas. Nanti aku kabarin kalau ada apa-apa." "Iya, Sayang." Rendra mengecup puncak rambut Kanti. Perempuan berusia empat tahun lebih mud
"Kres, kamu mau ke mana?" sapa Kanti saat baru saja menaiki teras rumah Kresna. Tampak Kresna memang sedang menutup pintu hendak pergi. "Eh, Mbak, Kan." Kresna mendekati Kanti. "Ini aku ada urusan sama temen." "Oh, tadinya aku mau ajak kamu ke salon," sahut Kanti tersenyum canggung. Kanti mulai bisa membaca raut wajah Kresna yang kebingungan. "Eu ... maaf lho, Mbak," lirih Kresna. "Enggak bisa, ya?" "Iya, Mbak. Enggak bisa. Mbak coba ajak Tessa aja. Dia biasanya enggak ada kerjaan, cuma ongkang-ongkang kaki doang." Kresna melukis senyum paksa. Ya, karena dia punya firasat, takut madunya ini curiga dan menanyakan dengan siapa Kresna pergi. "Iya deh. Emang kamu mau ketemu temen siapa? Setahu aku, kamu enggak punya temen perempuan di Surabaya. Kamu kalau main cuma sama kita-kita aja," selidik Kanti. Nah, benar, kan? Kresna memang sudah menduga ini, Kanti pasti akan bertanya begitu. Lalu, dengan cepat Kresna menjawab. "Ada, Mbak, kebetulan temen dari Jakarta ke Surabaya, katanya p
"Maksud kamu, Mas?" Meski pura-pura tidak tahu, Rendra jelas bisa membaca kebohongan Wanda dari sorot matanya yang mengerjap-ngerjap saat Rendra tatap. "Tolong, Wan!" pinta Rendra sambil mengangkat tangan kanan. "Tolong, kamu jangan jadi perempuan bodoh hanya karena cemburu." Wajah Wanda memberenggut. "Oh, jadi Mas udah tahu," sahut Wanda menyadari kebohongan tidak akan bisa menutupi apa pun yang berusaha Wanda sembunyikan. "Iya. Kamu mau mengelak apa?" Rendra sudah menurunkan tangan dan menatap Wanda serius. "Mas tahu apa aja?" "Semuanya, termasuk rencana jahat kamu untuk melenyapkan anakku," jawab Rendra lugas, tapi masih berusaha tenang meski amarah sudah memuncak dan rasanya ingin meledakkannya detik itu juga. Tetapi, Rendra adalah sosok yang menjaga perasaan, kalau dia marah akan sangat mengerikan. Mata Wanda yang sudah melotot berusaha dia kendalikan. Dirinya hanya bisa menutup mulut tanpa ada niatan untuk menjelaskan. "Sekarang, Mas tanya sama kamu, apa maksud kamu mau
Suara tamparan terdengar jelas di ruangan yang hanya ada tiga orang itu. Kresna memberanikan diri dengan tatapan menyala langsung menampar lelaki di hadapannya. "Biadab kamu!" sentaknya marah. "Aw!" Alando meringis sambil memegangi pipi. "Kasar kamu, Kres!" "Biarin!" bela Kresna tegas, "kamu udah mesum, aku udah selayaknya memperlakukan kamu seperti itu. Sekarang, aku mau keluar dari tempat ini!" "Mau apa?" Alando masih memegangi pipinya yang perih. Dia tidak sedikit pun marah, karena sadar dirinya memang tidak mau melakukan apa-apa pada Kresna. "Aku mau keluar! Kalau kamu cuma mau melecehkan aku lebih baik aku keluar. Bicara, bicara macam apa ini?" Alando yang merasa tamparan Kresna tidaklah terlalu berdampak pada pipinya, lekas dia menatap Kresna. "Aku mau pegang perut kamu. Apa itu enggak boleh?" "Enggak!" "Kenapa? Aku tahu kok, aku enggak seharusnya melakukan ini sama kamu. Aku cuma mau bikin kamu sadar kalau aku masih sayang sama kamu. Aku enggak mungkin melecehkan kamu
Mata Rendra membelalak saat melihat pemandangan yang di luar dugaannya. Ternyata benar, seseorang memang tidak bisa dinilai dari penampilan. Kresna yang sangat alim bagi Rendra, berpakaian tertutup, mampu mengkhianatinya dengan berduaan bersama laki-laki lain. Inginnya Rendra langsung menyentak istrinya itu. Namun, dia berusaha tenang saat melihat istri sedang berhadapan dengan seorang laki-laki di kamar mandi. Entah siapa laki-laki itu. "Kresna!" panggil Rendra dengan suara tegas, tapi mengandung kepedihan yang dia tahan. "Mas!" Wanita berhijab itu berseru sambil membalik badan dan matanya langsung melotot. "Kamu ikut, Mas! Mas butuh penjelasan atas ini semua!" Rendra membalik badan dan segera keluar kamar mandi. Kejujuran istrinya akan terlihat setelah ini, setelah Kresna memilih antara Kresna jujur dan mengejar Rendra atau justru dia tetap bertahan dengan mantannya itu. Kresna memang merasa yang dilihat Rendra akan menimbulkan kesalahpahaman, lekas dia langsung menumpahkan air
"Terus gimana?" Tessa menatap sendu pada Kresna. Dia jadi ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada madunya itu. "Aku enggak tahu," lirih Kresna menunduk, "tadi Mas Rendra tanya sama aku, aku ceritain semuanya." "Termasuk masa lalu Kakak?" "Enggak, Tes. Aku enggak mau bongkar aib aku. Allah udah baik nutup semua, termasuk menghadirkan laki-laki baik yang mau menerima aku yaitu Mas Rendra." Tessa jadi ikut diam. Jujur, sebagai perempuan dan istri Rendra dirinya merasa sakit hati, mungkin karena merasa cemburu karena perempuan di depannya ini begitu memuja suaminya. Ah, tapi Tessa bisa apa, mereka kan memang berbagi suami. "Yang bikin aku tambah bingung, Tes." Kresna beralih menatap Tessa, mengabaikan tatapan madunya yang juga ikut sedih. "Aku bingung, aku kayak lagi diuji banget karena kehadiran si Al. Aku enggak mau perasaan lama aku balik lagi." "Dia kan udah jadi mantan kakak, lagian dia juga jahat sama kakak," sahut Tessa polos. "Kamu bener, tapi setelah tadi Mas Rendra te
Alando menatap perempuan di sampingnya duduk. Mobil yang ia kemudikan ini sudah melaju jauh dan bahkan sudah meninggalkan kota Surabaya. Alando menghela napas. Betapa dia sudah nekad sekarang. Alando berharap setelah ini Kresna bisa dia miliki selamanya. "Sabar, ya, Sayang." Dengan halus Alando mengelus lembut surai rambut Kresna yang terurai, setelahnya kembali dia menyetir meski mulutnya masih mengoceh. "Setelah ini kamu enggak akan menderita lagi karena harus menjalani pernikahan poligami, aku bakal menjadikan kamu satu-satunya istri di hidup aku, Kres." Mobil pun kembali melaju, hingga setelah beberapa jam kendaraan beroda empat itu sampai di tempat yang Alando katakan pada Wanda sebelum ini. Ya, villa miliknya sendiri, tempat yang tidak akan mengusik kebersamaannya bersama Kresna. Alando lekas menggendong perempuan yang masih memejamkan mata itu, membawanya menuju kamar utama. Alando lalu membaringkan Kresna dengan hati-hati di kasur berseprai putih. Senyum Alando muncul tak
"Jadi, Mas enggak salah kan, dulu selingkuh sama kamu?" tanya Rendra dengan senyum getir. Mengingat dulu dirinya serasa diabaikan Kresna. Tessa perlahan duduk di samping suaminya. Repleks dua tangan putih bersih itu memeluk tubuh Rendra. "Mas," desah Tessa lembut. "Ya, kan, Sayang. Mas enggak salah? Ini udah lama, Tes. Dan kamu udah tahu semuanya." Rendra menghela napas. "Aku tahu, Mas, tapi sebenernya aku enggak percaya kalau Kak Ena bisa sampai kayak gini." "Kamu hanya melihat cover. Bukan orang yang sebenarnya," sahut Rendra putus asa. Mengingat istrinya yang berhijab itu memang tidak mungkin mengkhianati. Rendra bahkan selalu merasa nyaman dekat Kresna. Perempuan itu selalu bisa menyejukkan hatinya. "Mas terlalu cepet menyimpulkan. Kak Ena mungkin difitnah." Tessa melepas pelukan, lalu mengelus tangan Rendra. "Mas kenal Kak Ena. Dia enggak mungkin mengkhianati Mas. Kak Ena juga yang ngajarin aku buat setia." Rendra melihat dua mata Tessa. Perempuan yang sering kali polos i
"Mas, aku capek kayak gini terus!" Tessa mengeluhkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Sejak kejadian Rendra yang mencurigakan, semakin banyak kejadian-kejadian aneh yang menurut Tessa tidak wajar. Lelaki itu sering pulang telat, kalau pulang kadang marah-marah. Sering pergi dengan alasan keluar kota. Dua tahun berlalu sejak Rendra mengumumkan istrinya sekarang hanya satu, yaitu Tessa. Namun, bagi Tessa lelaki itu tetap seperti memiliki lebih dari satu istri. Dia tidak punya banyak waktu untuk Tessa. "Mas!" Tessa menghentakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai dasi. "Mas dengerin aku enggak sih?!" "Hm." Rendra tetap fokus memakai dasi. "Mas kenapa sih enggak mau dengerin aku?! Aku bilang ini itu, Mas cuma jawab iya-iya aja, tapi kok Mas enggak melakukan yang aku bilang." "Mas harus apa?" Rendra tampak sedikit geram. Entahlah, suaminya itu kini lebih sering tampak masam, tidak seperti dulu. "Mas ke mana aja? Kenapa sekarang baru pulang? Satu bulan lebih lho, Ma
"Selamat pagi, Mbak." Senyum manis terbit dari laki-laki berparas tampan. Bukan membalas senyuman Oni, Tessa malah memutar bola mata, menunjukkan sikap yang benar-benar berbeda dari biasanya. "Bapak menyuruh saya untuk mengantar Mbak, katanya Mbak mau ke pasar pagi ini," tutur Oni lembut tanpa sedikitpun curiga dengan sikap Tessa. Belum Tessa menjawab, Rendra yang tiba-tiba keluar dari rumah langsung menimpali. "Iya, Sayang. Mas khawatir kalau kamu belanja sendirian. Biar Oni yang mengantar kamu." Rendra menyentuh bahu Tessa. Perempuan itu menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa harus Oni? Kan ada sopir lain?" "Kang Dodi lagi cuti, biar Mas nyetir sendiri, yang penting kamu ada yang nemenin." Tessa diam, dan raut wajahnya yang diamati Rendra, membuat laki-laki itu kebingungan. "Kamu kenapa, Sayang? Lagi berantem sama Oni?" tanya Rendra lembut. "Enggak." Tessa menghela napas. Rasanya gagal untuk dia bisa menjauhi asisten pribadi suaminya itu. "Ya udah." Rendra mengalihkan tatap
Tessa terus tertawa merasakan geli di pinggang karena sang suami yang terus menyentuh area tersebut dengan gelitikan. Sementara Rendra terus melakukan itu tanpa mempedulikan Tessa yang meminta berhenti. Untuk malam pertama mereka, keduanya menginap di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. "Mas, udah stop!" pinta Tessa yang tidak diindahkan oleh Rendra. "Enggak," sahut Rendra manja lalu memeluk Tessa, kembali mencubit pinggang sang istri. "Ih, Mas geli." Tessa mau beranjak dari ranjang kalau saja Rendra tidak kembali memeluknya. "Mas ih," seru Tessa kemudian kembali merasakan kegelian karena tingkah Rendra. Dia kembali tertawa kecil. "Kayak belut deh kamu, enggak mau diem," kata Rendra menjawil pipi Tessa. "Abis Masnya enggak mau diem, kan geli." Tessa jadi waspada dengan tangan Rendra yang sudah bersiap mencubitnya lalu. "Hayo-hayo, mau ke mana?" "Mas!" Tessa berusaha mengeluarkan tubuhnya dari kukungan Rendra. "Apa, Sayang?" Rendra melukis senyum lalu mengecup lembut dahi T
Oni masih terdiam di balik kemudi. Dia mendapatkan kepercayaan Rendra untuk menjaga sesuatu yang hatinya tidak ingin melakukan itu. Ini tentang perempuan yang dia cintai, namun tidak bisa dia jaga. Laki-laki bermata kecil itu menghembuskan napas lelah. Kenapa bisa seperti ini? Tessa yang seharusnya terluka bukan Oni. "Ayo kita berangkat!" Rendra masuk mobil. "Baik, Pak." Oni manut dan sampai beberapa menit mobil melaju, hatinya masih tidak nyaman mengingat rahasia yang sedang dia simpan bersama dengan sang majikan. "Iya-iya, Sayang. Ini Mas lagi di perjalanan kok." "Iya, Mas langsung ke butiknya." Suara majikannya membuat Oni kembali menghembuskan napas lelah. Bagaimana ini? Rasanya Oni tidak mungkin mengatakan semua rahasia ini pada Tessa. Bisa hilang perkerjaannya. Laki-laki itu ingin mengutuk diri sendiri. Ini masalah majikannya, kenapa harus Oni yang merasakan pusing? Tessa? Siapa Tessa? Perempuan itu adalah istri majikannya. Oni tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
Pelukan hangat sang istri membuat Rendra mengusap sudut mata yang perlahan terasa basah. Dia mengelus lembut kepala perempuan yang lemah itu. "Mas," panggilnya lirih. Rendra lalu menurunkan pandang, melihat perempuan yang mendongkak itu kini jadi bermata sayu. Dia mengulas senyum, lalu kembali memeluk erat. "Mas, jangan pernah tinggalkan aku, ya?" Suaranya lirih dan serak. Rendra tahu kalau perempuan itu menangis. Dengan sigap Rendra kembali memeluknya. "Iya, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, jangan sedih, ya?" Getaran tubuh perempuan dalam pelukannya semakin menambah perih di hati Rendra. Bagaimana ini? *** Sebelas tahun lalu, jalanan Amerika yang sudah sepi membuat seorang perempuan terpaksa berjalan sendiri malam itu. Di salah satu kota di negara tersebut malam-malam memang tidak seramai dalam film-film Hollywood. Rendra yang saat itu sedang mengendarai mobil menuju apartemen, dia melihat perempuan tersebut. Merasa khawatir karena melihatnya sendirian, Rendra sengaja me
Kresna menyusut air mata yang keluar dari sudut matanya. Perempuan itu baru saja tertawa melihat tingkah si Andi, wartawan menyebalkan itu pergi karena malu. Semuanya pertanyaan berhasil dijawab Oni. Bahkan, saat Aski bangun, bayi itu entah kenapa memanggil Oni papa.Wah, memang betul-betul suatu keajaiban. Kresna senang bisa melihat Tessa kembali tersenyum lagi. Keduanya juga memang merasa lega.Rendra mengambil pisang goreng. "Acting kamu bagus, On," ucapnya lalu memakan pisang goreng."Iya, apalagi pas kamu bilang mau bergaya pas difoto si Andi waktu di supermarket. Aku pengen buang air lho lihat kamu cium Tessa. Tessa kamu kaget, ya, dicium pipi sama Oni, itu mata kayak mau keluar. On, kamu mesum juga ternyata?" Kresna menimpali sambil kembali terkekeh kecil.Oni hanya mengulas senyum malu-malu. Dia bukan sengaja melakukan itu, tapi memang perintah Rendra. Ya, kalau pun Rendra tidak menyuruh, mungkin Oni akan sukarela melakukan
Tessa sedikit menerka-nerka orang yang sedang membelakangi Tessa tersebut. Sepertinya kenal, tapi Tessa kenal di mana?"Kakak tunggu di sini aja," pinta Tessa sambil melirik Kresna, "biar aku yang nyamperin dia.""Nanti kalau kamu diapa-apain, gimana?" Kresna tentu merasa khawatir, meski jarak laki-laki itu tidak sampai sepuluh meter dari mereka."Tenang aja, Kak. Deket kok. Kakak bisa teriak kalau aku di apa-apain. Lagian ini masih di depan rumah." Tessa menepuk pelan bahu Kresna.Perempuan di sampingnya pun membentuk bulat jari telunjuk dan jempolnya. "Oke," sahut Kresna pelan.Dari jarak yang sekitar satu meter Kresna mengawasi Tessa yang mendekati laki-laki berkemeja itu."Maaf," kata Tessa membuat laki-laki itu menoleh."Oh, Hallo, Mbak Tessa. Perkenalkan saya Andi wartawan dari televisi GEATv." Laki-laki itu langsung mengulurkan tangan.Dengan canggung Tessa meraihnya, denga
"Maaf, Pak Rendra, apa betul anda sudah menceraikan dua istri anda sekaligus?" Di acara konferensi pers yang di selenggarakan pihak Purnama Grup. Rendra betul-betul langsung dicecar masalah pribadinya.Rendra menahan Oni dengan tangannya saat laki-laki itu hendak berbicara. Rendra tahu, pertanyaan ini terlalu sensitif, karena sebetulnya konferensi pers diselenggarakan untuk peluncuran produk baru dari Purnama Grup."Baik, setelah tadi saya menjelaskan tentang produk baru yang kami luncurkan. Saya berharap produk baru ini bisa laris di pasaran. Pun bisa memberi manfaat terutama untuk konsumen dan perusahaan kami. Untuk pertanyaan yang sodara tanyakan kepada saya, saya akan jawab ...."Suara jepretan kamera terdengar, para wartawan bahkan ada yang saling berbisik, seolah gosip-gosip seperti ini memang nikmat untuk diperbincangkan."Saya dan istri-istri saya, hubungan kami baik-baik saja, dan perpisahan yang kami lakukan pun dil
"Mbak ...." Tessa berujar lirih sambil melihat istri pertama suaminya sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.Perempuan itu bisa ada di sini karena telah melakukan percobaan bunuh diri. Wanda mencoba menyilet pergelangan tangannya. Untung saja Rendra keburu datang dan melihat sang istri tergolek lemah dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah.Sementara, di sudut ruangan itu Rendra sedang mengamati pemandangan halaman rumah sakit di balik jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Tessa sendiri hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap Wanda. Pucat dan kurus, berbeda sekali dengan Wanda yang sering dia lihat selama ini."Mbak, Mbak harus sehat, ya? Aku kangen lho, kangen lihat Mbak yang selalu cantik." Tessa tidak kuasa menahan tangis melihat perempuan yang terbaring itu hanya bisa menatap kosong.Wanda sudah siuman sejak satu hari dia dirawat di rumah sakit. Baru saja perempuan itu keluar rumah sakit sekaran