Share

Bab 4

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

(Pov Tante Miranda)

 

Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara.

 

"Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja.

 

"Berisik, Tiara." Aku memijat kening.

 

Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.

 

Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu.

 

"Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.

 

Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih.

 

"Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi.

 

"Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai motor Zara aja, ayahmu juga ngizinin tadi," ucapku berharap Tiara tenang.

 

Gadisku itu diam sambil cemberut.

 

"Motor Zara itu bagus kok ga terlalu buruk buat kamu." Aku merayu lagi.

 

"Ya udah deh, motor Zara juga ga apa-apa, dari pada ga punya kendaraan sama sekali." Tiara mencebik.

 

"Ok sekarang kamu tidur, besok pagi kita bicara sama anak songong itu, awas aja kalau ga dikasih."

 

***

 

Pukul tujuh pagi aku terbangun, aneka sarapan sudah terhidang di meja, ada bubur ayam kesukaan Tiara, roti roti bakar dan beberapa gelas susu menghiasi meja.

 

"Yah, Zara ke mana? kok ga sarapan?" tanyaku.

 

Sudah beberapa menit kutunggu kedatangannya ke ruang makan, tapi anak tengil itu tak muncul juga.

 

"Oh iya tadi pergi sama temennya, katanya ada acara kampus," jawab Mas Damar sambil ngunyah.

 

Aku melirik ke arah Tiara, gadisku itu nampak kesal. Wajah merengek dan kecewa.

 

"Acara apaan sih? jangan-jangan dia mau keluyuran ga jelas lagi," celetukku sambil ngunyah roti.

 

"Ga kok, Ayah percaya."

 

Aku mengerlingkan mata karena sebal, hati ini cemburu ketika Mas Damar begitu menyayangi Zara, sementara pada Tiara sikapnya acuh tak acuh, apalagi semenjak Zara ada di sini.

 

"Hati-hati loh dia itu anak gadis," celetukku.

 

"Zara itu udah dewasa, Ma."

 

Sebel, lagi-lagi Mas damar membela anak tengil itu, aku maunya mereka berselisih paham, lalu bertengkar kemudian anak itu pergi dari rumah ini ikut ibunya.

 

"Ma, motornya," sahut Tiara membuatku dan Mas Damar melirik.

 

"Kasih aja ya, Mas, motor bekas Zara ke Tiara, kasihan tahu, mending kalau Mas mau beliin yang baru." Aku mendelik.

 

Kesal dengan sikap Mas Damar yang seolah tak peduli pada Tiara, mentang-mentang anak tiri. Oleh ayah kandung ia dilupakan, sama ayah tiri pun ia tersisihkan.

 

"Ya udah kalau Zara ngijinin ya silakan," jawabnya enteng.

 

"Ya udah deh, Ma, ambil sekarang aja yuk ke garasi," ucap Tiara tak sabar.

 

Aku pun pergi meninggalkan Mas Damar yang sedang asyik makan menuju garasi, sesampainya di sana aku terkejut ternyata motor Zara tak ada.

 

"Loh motornya ke mana, Ma?" tanya Tiara putus asa.

 

"Pasti dibawa pergi sama ank tengil itu, ngapain coba punya mobil baru kalau motor itu masih dibawa-bawa, dasar anak serakah!" sungutku sambil berkacak pinggang.

 

Tiara menghentakkan kaki dengan kesal. "Pokoknya aku ga mau sekolah kalau ga pakai motor itu."

 

Aku makin emosi mendengar anak keras kepala ini.

 

"Ga boleh gitu dong, Ra. Kamu pergi aja ke sekolah ya motor ini biar Mama yang urus." Aku berusaha tenang.

 

"Ga mau!" tegas Tiara, lalu berlari ke dalam bukannya pergi sekolah.

 

Tak berselang lama Mas Damar ke garasi hendak mengambil mobil untuk dipakai ke kantornya.

 

"Duit Ayah 'kan banyak, beliin Tiara motor ya, dia ngambek tuh ga mau sekolah," ucapku menahan jengkel.

 

"Ma, Tiara itu masih SMA belum punya SIM, Ayah takut kenapa-napa kalau dia bawa motor, bahaya tahu, udah ya kalau sudah waktunya nanti Ayah beliin." Mas Damar mengelus lenganku.

 

"Tapi 'kan Tiara udah pandai bawa motor, Yah, jangan banyak alasan deh."

 

Aku melipat tangan di dada sambil cemberut, satu bulan menikah baru tahu sifat aslinya ternyata pelit bin medit.

 

"Mama tuh aneh ya, ga takut apa anakmu ini kecelakaan." Mas Damar geleng-geleng kepala.

 

"Pokoknya Mama ga mau tahu beliin Tiara motor!" tegasku dengan tatapan tajam.

 

"Kok Mama maksa sih, Tiara itu 'kan masih punya ayah kandung, minta aja sama dia, udah untung Ayah kasih makan dan biayai sekolahnya," balas Mas Damar ketus.

 

Menyebalkan sekali punya suami, aku tak mengerti kenapa ia bisa perhitungan padaku dan Tiara, padahal kemarin ia tak mempermasalahkan apapun kalau kami belanja menghabiskan uangnya.

 

Semenjak ada Zara semuanya berubah, pasti dia yang meracuni otak Mas Damar agar tak memperdulikan anakku lagi.

 

"Oh jadi sekarang mulai itung-itungan ya, Ayah 'kan udah janji mau anggap anakku kaya anakmu juga, mana janjimu!" tegasku sambil melotot.

 

Mas Damar berdecak.

 

"Anakmu tiap hari makan enak, tidur nyaman, bisa sekolah di tempat bagus, itu siapa yang biayain?!" Mas Damar balik ngegas.

 

"Kalau Ayah ga nganggap Tiara kaya anak kandung ga mungkin aku mau ngasih dia makan, sekolahin tempat yang bagus, Mama tuh ga bersyukur ya, ga kaya Naima." 

 

Lelaki yaang berjas hitam itu lantas masuk ke dalam mobil sambil cemberut, yang membuat emosiku naik adalah saat ia menyebut nama mantan istrinya, Naima.

 

"Ayah berangkat dulu ya, Ma. Jangan marah, nanti kalau sudah waktunya Ayah akan belikan Tiara motor, nunggu dia lulus dulu," ucap Mas Damar lalu melajukan mobil.

 

Tak kutanggapi ucapannya itu, gegas masuk ke dalam rumah menahan kesal, aku berbalik badan saat mendengar suara pintu terbuka.

 

"Dari mana kamu pagi-pagi udah pergi?" tanyaku ketus.

 

Kalau tak ada butuh malas sebenarnya menyapa anak tengil itu.

 

"Bukan urusan situ keles," jawab Zara tak sopan.

 

Emosiku makin tertantang dibuatnya.

 

"Mana kunci motormu." Aku menengadah.

 

"Hah motor." Zara menaikan sebelah alis.

 

"Iya motor kamu, Ayah yang bilang kalau motor itu buat Tiara, siniin kuncinya."

 

"Oh, motornya udah ga ada," jawab Zara enteng.

 

"Ga usah bohong, siniin cepet!" tegasku sambil melotot.

 

"Motornya udah aku sumbangin ke fakir miskin." Zara mendelikkan mata lalu masuk ke kamarnya, padahal aku belum selesai bicara.

 

"Maa, kok uang jajan aku belum ditransfer sih sama Ayah?" tanya Tiara yang datang dari arah belakangku.

 

"Masa sih? tanggal segini harusnya udah ditransfer 'kan." Aku mulai panik.

 

Tiba-tiba Zara keluar lagi sambil cengengesan, entahlah anak itu menertawakan apa. Segera aku mengambil ponsel di kamar lalu menelpon Mas Damar.

 

"Iya, Ma, kenapa?" tanyanya begitu telpon tersambung.

 

"Uang jajan Tiara kok belum ditransfer, Yah?" 

 

"Oh iya Ayah lupa ngasih tahu Mama, mulai sekarang Tiara ga usah dikasih uang bulanan aja, dulu juga Zara gitu pas SMA."

 

Aku makin emosi mendengarnya, otakku berputar apakah ini ada hubungannya dengan Zara?

 

"Ga bisa gitu dong, Yah, kasihan Tiara kebutuhannya gimana? uang jajan sekolahnya gimana?" tanyaku ngegas.

 

"Ya kalau uang saku sekolah kasih aja sama Mama lima puluh sehari, anak itu jangan dikasih pegangan uang, entar dia males, Zara dulu juga begitu pas SMA."

 

Kepalaku terasa diinjak-injak jika begini, kenapa Zara yang jadi tolak ukur? ini pasti kerjaan anak tengil itu, awas kau, Zara! Aku pasti akan membalas semua ini

 

"Mama ga terima ya Tiara diginiin, pokoknya kasih Tiara uang bulanan kalau engga mending kita pisah aja."

 

Related chapters

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 5

    Tak kuasa menahan tawa saat melihat Tante Miranda marah-marah pada ayah lewat telpon, dari balik pintu kamarnya aku menguping kalau dia sedang membujuk ayah untuk memberikan anaknya uang jajan dan motor baru.Sebenarnya motor lamaku itu sudah dijual ke Farah--teman terbaikku-- sedangkan uangnya aku berikan pada bunda, enak saja mau dikasih ke Tiara, emang dia siapa?Teringat malam tadi habis-habisan aku menghasut ayah.***"Tiara itu anak orang, ngapain Ayah bela-belain segalanya buat dia, suatu saat Ayah bakal rugi," ucapku saat kami ngobrol di luar."Rugi?" Ayah merenungDalam hati aku bersorak melihat Ayah mulai terhasut omonganku."Iya rugi, coba bayangin Ayah sekolahkan dia tinggi-tinggi, kasih uang bulanan gede, mau ini itu diturutin, eh giliran dia berhasil dan sukses malah pulang ke bapak kandungnya, Ayah pasti ngenes nanti."Ayah merenung menatap ke depan sana, melihat kendaraan roda empat lewat berlalu lalang."Aku tuh kasihan aja sama Ayah makanya ngomong gini, bukan ngajar

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 6

    "Ngapain Tante di sini?" tanyaku sambil menyeringai "Lucu ya, ada pelakor yang ngelabrak istri sah." Aku melipat tangan di dada.Kulirik wajah bunda masih terlihat tenang seolah tak terusik, lain lagi dengan wajah Tante Miranda yang tampak menegang."Kebetulan anaknya ada, silakan Mbak nasihati dia agar jangan merusak kenyamanan orang." Tante Miranda menatapku penuh amarah."Apa apa? aku merusak kenyamanan orang? bukannya situ yang ngerusak rumah tangga orang," balasku dengan tatapan jijik.Tante Miranda menghirup udara dengan susah payah, rahang yang tirus itu pun menengang, kalau begini aku jadi tambah semangat membuat emosinya makin meradang."Kamu 'kan yang hasut Ayah supaya ga ngasih uang bulanan ke Tiara?!" Tante Miranda menunjuk wajahku."Dan kamu juga yang ngelarang ayah beliin motor buat Tiara 'kan!""Jangan sembarangan kalau nuduh, situ punya bukti ga," balasku makin ngotot."Ayah juga punya otak kali, ngapain repot-repot biayain anak orang, Tiara masih punya bapak kandung

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 7

    (POV MIRANDA)"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin."Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh."Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi."Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar."Tapi kamu ga boleh ganggu Naim

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 8

    Aku pura-pura menelpon seseorang sambil tertawa cekikikan, sengaja agar gelagatku ini tak terlalu dicurigai Tante Miranda.Ya, akulah yang menghasut ayah agar membelikan si gundik itu mobil bekas, kebetulan ibunya Farah akan menjual mobilnya, kukatakan saja pada ayah, dan senangnya ia setuju dengan usulku."Tante Miranda itu bakal sombong kalau dikasih mobil baru, gini aja coba kasih dulu dia mobil bekas, kalau dia bersyukur dan berterima kasih berarti Tante Miranda sudah menghilangkan sifat sombongnya," ucapku pada suatu malam.Ayah terlihat merenung, aku tahu betul ia tak suka punya istri yang sombong dan tinggi hati, tak hanya itu ayah juga seseorang yang sangat hemat, kalau ingin membeli apapun pasti harus dipertimbangkan."Betul juga ya, kalau Mamamu ga protes nanti Ayah beliin yang baru," jawabnya sambil manggut-manggut.Aku menyeringai tipis ternyata mudah juga menghasut ayah, tapi yang lebih menyebalkan ia juga mudah ditaklukkan wanita perusak itu."Iya gitu aja, Yah, bunda ju

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 9

    (POV BUNDA NAIMA)Mataku seolah enggan berpaling saat melihat sosok lelaki sedang duduk di dalam mobilnya, ia menatapku, aku pun menatapnya, seketika waktu terasa berhenti hingga kekacauan terjadi.Miranda, wanita yang sudah merusak keluarga kami datang marah-marah pada suaminya, memang tak tahu malu, ia selalu curiga padaku seolah aku akan merebut Mas Damar lagi.Begitulah jika dapat suami hasil merebut, sepanjang waktu kita akan dihantui ketakutan."Bagus kamu ya, di rumah ada masalah malah datang ke sini?!" teriak Miranda"Apa-apaan sih, ayo pulang! Bikin malu aja!" Mas Damar pun melawan sambil menarik tangan Miranda masuk ke mobil di belakangnya.Aku ingin masuk karena malas melihat pertengkaran mereka . Namun, niat itu diurungkan saat melihat mobil Zara parkir di sebrang sana, aku melambaikan tangan padanya agar kemari menghampiri.Zara memarkirkan mobilnya di sebrang sana lalu ia dan temannya menyebrang menghampiriku."Ayah ngapain di sini?""Kamu! Kamu senang 'kan kita bertengk

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 10

    (POV ZARA)"Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.Aku tercenung menatap Om Burhan menyebut-nyebut Tante Miranda, apakah yang ia maksud itu Miranda gundik ayah? atau Miranda yang lain?"Naima, panggil suster," titah Nenek, bunda pun mengangguk lalu keluar "Miranda ... semua gara-gara Miranda!" Om Burhan menangis sambil menjambak rambutnya yang mulai gondrong."Burhan, tenanglah, Nak," ucap Nenek sambil mengelus punggungnya, tapi Om Burhan masih meracau menyebut nama Miranda.Aku dan Jessica disuruh keluar, sementara bunda dan nenek masih di dalam ngobrol dengan dokter berkerudung itu.Di sampingku Jessica duduk sambil melamun, kasihan juga dengan gadis menginjak remaja ini, sejak dua tahun lalu ia sudah kehilangan ibunya, lalu disusul ayahnya yang menderita depresi."Kamu laper ga, Jes? jajan yuk," ajakku."Ga ah, Kak, kita nunggu Nenek aja di sini," jawab Jessica denga

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 11

    Aku menghirup napas dalam-dalam dengan rahang mengeras, lalu menatapnya dengan pandangan menantang."Bangga banget lo jadi anak pelakor?"Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, hingga aroma shampo tercium olehku."Kalau gue jadi lo sih duh pasti malu banget. Camkan ya, bunda gue itu ga murahan, dia bisa dandan, tapi dandannya hanya dilihat sama suaminya, ga kaya nyokap lo kemana-mana umbar aurat.""Menjijikkan banget sih manusia kaya kalian itu, bisa tenang makan dan tidur dari hasil ngerebut suami orang." Aku menyunggingkan senyum lalu masuk kamar."Dasar Mak lampir!" Terdengar Tiara mengumpat****Hari demi hari kulalui di rumah ini, tak dapat dipungkiri tinggal satu atap dengan gundik ayah membuatku kadang stres dan tertekan, dan selama beberapa bulan ini berbagai macam usaha kulakukan untuk membuat retak hubungan ayah dan gundiknya Namun, yang membuatku jengah adalah ayah selalu baikan dengan Tante Miranda sekalipun mereka bertengkar hebat.Hubungan mereka bagaikan sebuah karang d

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 12.A

    "Apa? Burhan mau ke rumahmu?" tanya bunda sambil menengadah menatap ayah."Iya, dia ga bisa datang ke acara wisuda Zara makanya datang ke rumah, tapi anterin Bundamu dulu gapapa, biar Ayah pulang duluan.""Ya udah kita pulang aja yuk, Bun, aku mau ketemu Om Burhan, sama Jessi 'kan ke rumahnya?" tanyaku semangat, semoga kuntilanak itu ada di rumah.Ayah berdiri sambil meraih kunci mobil. "Ga tahu tuh kalau Jessi, ya udah kalian berdua aja, Ayah duluan ya."Usai menghabiskan makanan aku pulang mengantarkan bunda ke grosirnya, setelah itu aku balik arah menuju rumah.****"Kak Zaraaa!" teriak Jessi saat turun dari mobilnya.Semenjak ayahnya sembuh dari penyakit kejiwaan anak itu berubah menjadi periang dan sering bercanda, gairah hidupnya telah kembali."Rambut baru ya?" tanyaku saat ia mencium punggung tanganku.Rambut anak itu dipotong pendek sebahu, membuat wajah bulatnya makin kentara, bukan hanya periang tapi sekarang tubuh Jesica sudah mulai berisi."Iya baru dipotong, bagus 'kan?"

Latest chapter

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 42

    "Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 41

    Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 40

    Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak

DMCA.com Protection Status