(POV MIRANDA)"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin."Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh."Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi."Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar."Tapi kamu ga boleh ganggu Naim
Aku pura-pura menelpon seseorang sambil tertawa cekikikan, sengaja agar gelagatku ini tak terlalu dicurigai Tante Miranda.Ya, akulah yang menghasut ayah agar membelikan si gundik itu mobil bekas, kebetulan ibunya Farah akan menjual mobilnya, kukatakan saja pada ayah, dan senangnya ia setuju dengan usulku."Tante Miranda itu bakal sombong kalau dikasih mobil baru, gini aja coba kasih dulu dia mobil bekas, kalau dia bersyukur dan berterima kasih berarti Tante Miranda sudah menghilangkan sifat sombongnya," ucapku pada suatu malam.Ayah terlihat merenung, aku tahu betul ia tak suka punya istri yang sombong dan tinggi hati, tak hanya itu ayah juga seseorang yang sangat hemat, kalau ingin membeli apapun pasti harus dipertimbangkan."Betul juga ya, kalau Mamamu ga protes nanti Ayah beliin yang baru," jawabnya sambil manggut-manggut.Aku menyeringai tipis ternyata mudah juga menghasut ayah, tapi yang lebih menyebalkan ia juga mudah ditaklukkan wanita perusak itu."Iya gitu aja, Yah, bunda ju
(POV BUNDA NAIMA)Mataku seolah enggan berpaling saat melihat sosok lelaki sedang duduk di dalam mobilnya, ia menatapku, aku pun menatapnya, seketika waktu terasa berhenti hingga kekacauan terjadi.Miranda, wanita yang sudah merusak keluarga kami datang marah-marah pada suaminya, memang tak tahu malu, ia selalu curiga padaku seolah aku akan merebut Mas Damar lagi.Begitulah jika dapat suami hasil merebut, sepanjang waktu kita akan dihantui ketakutan."Bagus kamu ya, di rumah ada masalah malah datang ke sini?!" teriak Miranda"Apa-apaan sih, ayo pulang! Bikin malu aja!" Mas Damar pun melawan sambil menarik tangan Miranda masuk ke mobil di belakangnya.Aku ingin masuk karena malas melihat pertengkaran mereka . Namun, niat itu diurungkan saat melihat mobil Zara parkir di sebrang sana, aku melambaikan tangan padanya agar kemari menghampiri.Zara memarkirkan mobilnya di sebrang sana lalu ia dan temannya menyebrang menghampiriku."Ayah ngapain di sini?""Kamu! Kamu senang 'kan kita bertengk
(POV ZARA)"Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.Aku tercenung menatap Om Burhan menyebut-nyebut Tante Miranda, apakah yang ia maksud itu Miranda gundik ayah? atau Miranda yang lain?"Naima, panggil suster," titah Nenek, bunda pun mengangguk lalu keluar "Miranda ... semua gara-gara Miranda!" Om Burhan menangis sambil menjambak rambutnya yang mulai gondrong."Burhan, tenanglah, Nak," ucap Nenek sambil mengelus punggungnya, tapi Om Burhan masih meracau menyebut nama Miranda.Aku dan Jessica disuruh keluar, sementara bunda dan nenek masih di dalam ngobrol dengan dokter berkerudung itu.Di sampingku Jessica duduk sambil melamun, kasihan juga dengan gadis menginjak remaja ini, sejak dua tahun lalu ia sudah kehilangan ibunya, lalu disusul ayahnya yang menderita depresi."Kamu laper ga, Jes? jajan yuk," ajakku."Ga ah, Kak, kita nunggu Nenek aja di sini," jawab Jessica denga
Aku menghirup napas dalam-dalam dengan rahang mengeras, lalu menatapnya dengan pandangan menantang."Bangga banget lo jadi anak pelakor?"Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, hingga aroma shampo tercium olehku."Kalau gue jadi lo sih duh pasti malu banget. Camkan ya, bunda gue itu ga murahan, dia bisa dandan, tapi dandannya hanya dilihat sama suaminya, ga kaya nyokap lo kemana-mana umbar aurat.""Menjijikkan banget sih manusia kaya kalian itu, bisa tenang makan dan tidur dari hasil ngerebut suami orang." Aku menyunggingkan senyum lalu masuk kamar."Dasar Mak lampir!" Terdengar Tiara mengumpat****Hari demi hari kulalui di rumah ini, tak dapat dipungkiri tinggal satu atap dengan gundik ayah membuatku kadang stres dan tertekan, dan selama beberapa bulan ini berbagai macam usaha kulakukan untuk membuat retak hubungan ayah dan gundiknya Namun, yang membuatku jengah adalah ayah selalu baikan dengan Tante Miranda sekalipun mereka bertengkar hebat.Hubungan mereka bagaikan sebuah karang d
"Apa? Burhan mau ke rumahmu?" tanya bunda sambil menengadah menatap ayah."Iya, dia ga bisa datang ke acara wisuda Zara makanya datang ke rumah, tapi anterin Bundamu dulu gapapa, biar Ayah pulang duluan.""Ya udah kita pulang aja yuk, Bun, aku mau ketemu Om Burhan, sama Jessi 'kan ke rumahnya?" tanyaku semangat, semoga kuntilanak itu ada di rumah.Ayah berdiri sambil meraih kunci mobil. "Ga tahu tuh kalau Jessi, ya udah kalian berdua aja, Ayah duluan ya."Usai menghabiskan makanan aku pulang mengantarkan bunda ke grosirnya, setelah itu aku balik arah menuju rumah.****"Kak Zaraaa!" teriak Jessi saat turun dari mobilnya.Semenjak ayahnya sembuh dari penyakit kejiwaan anak itu berubah menjadi periang dan sering bercanda, gairah hidupnya telah kembali."Rambut baru ya?" tanyaku saat ia mencium punggung tanganku.Rambut anak itu dipotong pendek sebahu, membuat wajah bulatnya makin kentara, bukan hanya periang tapi sekarang tubuh Jesica sudah mulai berisi."Iya baru dipotong, bagus 'kan?"
"Kenal sih engga 'kan belum ketemu." Om Burhan terkekeh.Aku mendelik, ga jelas banget sih, apa jangan-jangan penyakit jiwanya itu belum sembuh total lagi?"Han, makan yuk, makanan udah pada mateng tuh," ucap ayah menghampiri kami."Masih kenyang, Mas," jawab Om Burhan."Tapi Jessi laper, temenin makan yuk, Kak," sahut Jesica sambil memegang perutnya.Aku terpaksa berdiri. "Ya udah ayok, tapi Kakak ga makan masih kenyang soalnya."Sambil menemani Jesica makan aku berselancar di aplikasi WhatsApp, melihat story' dan tak sengaja aku melihat status Tiara.Ternyata ia sedang belanja di sebuah mall terbesar di kota ini, di poto itu nampak Tiara sedang berdiri dan tersenyum menjinjing paper bag sebuah brand ternama.Sial*n! Berani-beraninya ia belanja barang mewah menggunakan uang ayah, aku saja anak kandungnya mikir lagi kalau mau belanja barang branded.Poto kedua menunjukkan Tante Miranda sedang tersenyum di sebuah restoran, di hadapannya tersaji makanan yang berharga fantastis.Geram, a
"Ada tamu, Yah?" tanya Tante Miranda.Wajah oval yang sudah mengendur itu mencoba kembali tenang setelah barusan merasa tegang, bibir tipisnya dipaksa tersenyum menutupi kegugupannya."Ini Burhan, adikku," jawab ayah"Oh adik, kok aku baru lihat, Mas?" tanya Tante Miranda sambil gabung duduk di sofa, sementara Tiara masuk ke dalam membawa barang belanjaan."Dia ... baru pulang," jawab ayah ragu.Setahuku selama Tante Miranda menikah dengan ayah ia tak pernah mengenal tentang silsilah keluarganya, bahkan restu saja tak pernah ia dapatkan dari ibu mertuanya.Nenek menentang keras perceraian ayah dan bunda juga pernikahan barunya dengan Tante Miranda. Namun, ayah sudah terlanjur dibutakan cinta hingga nasihat ibunya tak pernah dianggap.Sejak mereka menikah nenek tidak pernah lagi datang ke rumah ini, dan jika ayah mengunjungi nenek maka wanita tua itu selalu bersikap dingin."Dari mana? luar negri?" "Ga usah pura-pura bego!" sahutku dengan tegas.Sontak saja semua mata tertuju padaku.
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak