"Ada tamu, Yah?" tanya Tante Miranda.Wajah oval yang sudah mengendur itu mencoba kembali tenang setelah barusan merasa tegang, bibir tipisnya dipaksa tersenyum menutupi kegugupannya."Ini Burhan, adikku," jawab ayah"Oh adik, kok aku baru lihat, Mas?" tanya Tante Miranda sambil gabung duduk di sofa, sementara Tiara masuk ke dalam membawa barang belanjaan."Dia ... baru pulang," jawab ayah ragu.Setahuku selama Tante Miranda menikah dengan ayah ia tak pernah mengenal tentang silsilah keluarganya, bahkan restu saja tak pernah ia dapatkan dari ibu mertuanya.Nenek menentang keras perceraian ayah dan bunda juga pernikahan barunya dengan Tante Miranda. Namun, ayah sudah terlanjur dibutakan cinta hingga nasihat ibunya tak pernah dianggap.Sejak mereka menikah nenek tidak pernah lagi datang ke rumah ini, dan jika ayah mengunjungi nenek maka wanita tua itu selalu bersikap dingin."Dari mana? luar negri?" "Ga usah pura-pura bego!" sahutku dengan tegas.Sontak saja semua mata tertuju padaku.
"Selingkuh?" tanyaku tak percaya.Ternyata wanita itu memang sudah bakat menjadi pelakor sejak dulu, jika saja ayah tahu hal ini tentu ia akan jijik pada istrinya itu.Aku merenung sejenak saking sibuknya dengan aktivitas sendiri sampai tak tahu masalah sefatal ini yang menimpa saudara sendiri."Berarti Tante Dina bunuh diri gara-gara?" tanyaku sambil menganga.Om Burhan mengangguk. "Iya, gara-gara ga kuat lihat suaminya ini berselingkuh dengan wanita lain."Setitik air mata jatuh dari dari matanya, ia memandang jauh ke arah jendela yang terbuka."Om emang ga punya hati, Ra, istri sebaik Tante Dina malah disia-siakan sampai ia tak tahan lalu ...." Om Burhan sesenggukan.Dapat kulihat ada penyesalan besar di matanya, karena aku tahu betul Tante Dina istrinya itu sangat baik dan ramah, tak jauh beda dengan bunda.Aku jadi heran kenapa wanita-wanita yang baik seperti mereka harus menerima pengkhianatan dari suaminya?"Terus, hubungan kalian sampai sejauh mana? apa pernah menikah?" tanyak
"Kenapa hubungan Om sama Tante Miranda bisa putus?" tanyaku antusias."Selang beberapa bulan Tante Dina meninggal Om jadi terpuruk hingga usaha Om jadi bangkrut, gara-gara itu Miranda ninggalin Om, ternyata selama ini Om hanya dijadikan sapi perah saja, Ra." Ia menundukkan wajah.Aku mencebik, wajar saja Tante Miranda menjadikannya sapi perah, toh ia juga menjadikan perempuan itu pelampiasan nafsu."Dan karena ini juga Om jadi ... depresi?" tanyaku agak hati-hati.Ia menghela napas lalu merenung sejenak."Pertama Om terpuruk karena merasa bersalah sama Tante Dina, yang kedua Om juga putus asa karena bisnis yang selama ini diperjuangkan mati-matian hancur begitu saja.""Dan yang ketiga yang membuat Om tambah hancur adalah Miranda memutuskan hubungan kita lalu membina hubungan dengan lelaki lain.""Waktu itu Om mengira Miranda akan memberi kekuatan atas keterpurukan yang Om hadapi, nyatanya dia malah pergi.""Dan hal itu yang membuat Om merasa tertekan dan merasa semakin bersalah sama T
Keesokan paginya aku sarapan dengan semangat, bahkan beberapa kali bunda menangkap wajahku sedang senyum-senyum sendirian."Kenapa sih?" tanya Bunda menyelidik."Ga papa." Aku mengulum senyum."Lagi ... jatuh cinta yaaa."Aku mengeringkan mata, di usia dua puluh tiga tahun ini aku memang tak pernah mengenal cinta, bahkan berteman dengan lelaki pun sangat terbatas."Sama siapa, Arvin?" Bunda menautkan sebelah alis."What? Arvin? ngaco, dia itu bestie aku, Bun, jangan ngarang deh.""Ya ga apa-apa, Bunda lihat dia lelaki baik dan sopan, ganteng lagi, masa sih kamu ga suka, bukannya selama ini sering jalan bareng?"Setelah melihat ayah selingkuh aku jadi takut menjalin hubungan dengan lelaki, jangankan menikah berpacaran pun rasanya ogah, terlebih katanya pacaran itu suatu perbuatan haram karena mendekati zina."Kalau kalian saling suka mending langsung nikah aja, jangan pacaran-pacaran, dosa!" tegas bunda lagi.Aku menegak susu lalu bicara. "Siapa yang pacaran sih? siapa juga yang jatuh
(POV MAS DAMAR)Aku masih tercenung menatap layar ponsel, membaca berulang-ulang pesan dari Zara, juga mengamati betul poto-poto yang mirip dengan Miranda dan adikku Burhan.Dahulu saat masih menjalani hubungan diam-diam bersama Miranda aku memang sempat mendengar kabar selentingan kalau istriku itu pernah memiliki hubungan dengan Burhan.Namun, karena terlanjur cinta buta padanya membuatku tutup telinga dan mengabaikan selentingan itu.Terlebih aku tak bisa bertanya pada Burhan karena waktu itu ia tertimpa musibah yaitu istrinya meninggal, tak lama ia depresi sulit diajak komunikasi, maka aku semakin tak bisa bertanya banyak hal padanya.[Kamu dapat dari mana Poto ini, Ra]Kubalas pesan Zara dengan tangan bergetar, tak terbayang jika kabar ini benar.[Dari akun efbe Tante Miranda, Yah, ini] Zara mengirimkan balasan beserta screenshot profil efbe Miranda.[Mungkin itu orang lain, Ra, Mamamu 'kan ga punya akun efbe] balasku lagi.Karena yang kutahu Miranda hanya memiliki akun Instagra
"Jangan bohong, Mir. Kamu ikut andil 'kan dalam kasus bunuh dirinya Dina juga depresinya Burhan?" tanyaku dengan tatapan menohok.Miranda geleng-geleng kepala, sorot matanya semakin panik, bahkan ia melengos menatap ke arah lain dengan dada kembang kempis."Kamu ini apa-apaan sih? kenal juga baru sama adikmu itu." Miranda makin ngotot.Aku menyeringai sambil geleng-geleng kepala. "Ini buktinya Miranda, aku cuma minta kamu jujur.""Itu Poto editan, kamu tuh jangan bod*h deh, Mas, zaman sekarang jangan kan Poto Vidio aja bisa diedit pake wajah orang lain," kilah Miranda makin ngotot."Aku tuh paling ga suka dibohongi, Mir. Mau ngaku di hadapanku atau aku cari bukti yang lain dan kamu bakal malu?" Miranda balik badan menatapku penuh amarah."Emang kamu dapat dari mana Poto itu, Mas?! pasti ada seseorang 'kan yang ngirim ke kamu?" tanya Miranda ngegas."Aku dapat Poto ini dari akun efbe lama kamu, masih inget ga?" tanyaku sambil menatapnya tajam.Miranda tercengang, beberapa detik kemudi
Aku terkejut saat mendengar keributan di luar, kuputuskan untuk melangkah menuruni anak tangga, benar ternyata Tante Miranda sudah ada di bawah dan marah-marah.Aku terkejut sekaligus merasa senang ternyata poto-poto itu sudah mengguncangkan hidupnya, kalau begini jiwaku semakin tertantang, aku akan menjadi bensin dan menyiram ke dalam kobaran api amarah Tante Miranda."Aku punya bukti lebih kuat, Mas, kalau istrimu ini benar pernah jadi selingkuhan Burhan. Maaf, Mir, aku udah berusaha nutupin aib kamu, tapi kalau kamu mengusik Zara maka aku ga akan diam aja," ujar bunda membuatku tercengang."Bukti? karangan apa lagi sih yang mau kamu buat, Mbak?" Tante Miranda terlihat panik.Kepanikan di wajahnya itu membuatku semakin bahagia, bibirku tak berhenti mengembangkan senyum, akhirnya kebusukan wanita itu terbongkar."Naima, aku mau lihat bukti itu," ucap ayah sambil menatap bunda serius.Aku semakin senang saat melihat antusias ayah begitu besar ingin mengetahui kebusukan istri barunya.
Ayah menatap gundiknya dengan tatapan tajam, sedangkan Tante Miranda terlihat tercengang dengan wajah yang pucat, air matanya sudah menitik ke luar membasahi pipinya.Hatiku bersorak ria, akhirnya kekalahan yang kutunggu-tunggu tiba juga."Miranda!" teriak Ayah yang membuat tubuh kami semua terguncang.Tubuh Tante Miranda terlihat bergetar dan berkeringat, rasakan gundik, sebentar lagi kesenanganmu akan berakhir, gumamku dalam hati."M-mas ... itu semua ga bener," ujarnya sambil terisak."Aku ga nyangka bisa menikahi wanita ular sepertimu, Miranda! Kamu tahu Dina itu adik iparku! Dan tanpa rasa bersalah kamu mendekati aku!" teriak ayah membuat tangisan si gundik makin keras."Dan tanpa rasa malu kamu bilang ini semua ga bener? hatimu terbuat dari batu, Miranda!" tegas ayah lagi.Ayah meletakkan benda itu di meja, lalu ia mengusap wajah lelahnya itu dan menatap keluar dengan pandangan kosong.Karena ponsel milik Tante Dina nganggur, aku langsung meraihnya karena penasaran tentang isi c
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak