Aku terkejut saat mendengar keributan di luar, kuputuskan untuk melangkah menuruni anak tangga, benar ternyata Tante Miranda sudah ada di bawah dan marah-marah.Aku terkejut sekaligus merasa senang ternyata poto-poto itu sudah mengguncangkan hidupnya, kalau begini jiwaku semakin tertantang, aku akan menjadi bensin dan menyiram ke dalam kobaran api amarah Tante Miranda."Aku punya bukti lebih kuat, Mas, kalau istrimu ini benar pernah jadi selingkuhan Burhan. Maaf, Mir, aku udah berusaha nutupin aib kamu, tapi kalau kamu mengusik Zara maka aku ga akan diam aja," ujar bunda membuatku tercengang."Bukti? karangan apa lagi sih yang mau kamu buat, Mbak?" Tante Miranda terlihat panik.Kepanikan di wajahnya itu membuatku semakin bahagia, bibirku tak berhenti mengembangkan senyum, akhirnya kebusukan wanita itu terbongkar."Naima, aku mau lihat bukti itu," ucap ayah sambil menatap bunda serius.Aku semakin senang saat melihat antusias ayah begitu besar ingin mengetahui kebusukan istri barunya.
Ayah menatap gundiknya dengan tatapan tajam, sedangkan Tante Miranda terlihat tercengang dengan wajah yang pucat, air matanya sudah menitik ke luar membasahi pipinya.Hatiku bersorak ria, akhirnya kekalahan yang kutunggu-tunggu tiba juga."Miranda!" teriak Ayah yang membuat tubuh kami semua terguncang.Tubuh Tante Miranda terlihat bergetar dan berkeringat, rasakan gundik, sebentar lagi kesenanganmu akan berakhir, gumamku dalam hati."M-mas ... itu semua ga bener," ujarnya sambil terisak."Aku ga nyangka bisa menikahi wanita ular sepertimu, Miranda! Kamu tahu Dina itu adik iparku! Dan tanpa rasa bersalah kamu mendekati aku!" teriak ayah membuat tangisan si gundik makin keras."Dan tanpa rasa malu kamu bilang ini semua ga bener? hatimu terbuat dari batu, Miranda!" tegas ayah lagi.Ayah meletakkan benda itu di meja, lalu ia mengusap wajah lelahnya itu dan menatap keluar dengan pandangan kosong.Karena ponsel milik Tante Dina nganggur, aku langsung meraihnya karena penasaran tentang isi c
(POV DAMAR)Makian yang keluar dari mulut Zara seolah belati yang menancap ke dalam dada. Dari semua yang ia katakan memang tak salah, aku b*doh telah menyia-nyiakan Naima dan menikahi Miranda."Yah, aku ga mau punya ibu tiri kaya dia! Aku minta Ayah ceraikan wanita ini!" tegas Zara membuat kepalaku terasa berputar.Apa kata orang-orang jika untuk kedua kalinya aku bercerai? aku memang muak dan marah pada Miranda, tapi haruskah kami berpisah?Tapi, rasanya aku malas memperbaiki semua ini karena rasa kecewa sudah terlanjur meraja di hati."Kamu ga boleh gitu, Ra, biarkan ayahmu memilih, dan pilihannya itu menentukan kualitas dirinya." Naima tersenyum sinis.Aku lantas berdiri hendak pergi."Ayah mau ke mana? selesaikan semua ini di sini!" titah Zara dengan tegas."Ayah mau menenangkan diri, Ra," ucapku lalu pergi."Mas! Mau ke mana, Mas?!" teriak Miranda membuntutiku.Aku sudah malas melihat wajahnya, gegas masuk ke dalam mobil lalu melakukannya meski istriku itu terus menggedor-gedor
Zara benar aku memang bod*h, kebejatan perempuan itu tak membuat rasa ini terkikis walau sedikit.Burhan menepuk pundakku. "Aku tahu ga mudah buat lepasin dia, tapi pikirkan masa depanmu, dia bukan perempuan baik, yang mau setia dalam keadaan susah, buktinya dulu waktu aku bangkrut dia malah pergi dan cari lelaki lain."****(POV Bunda Naima)"Berani-beraninya kamu bongkar ini semua di hadapan Mas Damar hah! Lihat saja karena kamu sudah buat aku hancur maka aku tak akan diam, tunggu saja balasanku!" Miranda berteriak seperti orang gila.Bahkan para tetangga berbondong-bondong melihat keributan di halaman rumahku, mereka saling berbisik ada juga yang melirik sinis."Heh lont*! Kapan sih lu mau tobat hah?! bukannya mikir malah nyalahin orang!" sahut Zara dengan berteriak."Zara, ayo masuk." Aku menarik tangan Zara karena malu dengan tetangga."Lepas, Bun!""Elu itu pelakor, bukan hanya ngerebut ayah gue tapi juga ngerebut suami Tante gue, masih juga lu ga ngerasa bersalah, lu manusia ap
Amarah yang membuncah juga kecewa yang meraja semua bercampur dalam dada, air mata mengalir deras hingga pandanganku sedikit buram ketika melihat jalanan.Aku menepi di pinggir jalan meluapkan seluruh tangisan, tak mungkin pulang ke rumah ayah dalam keadaan seperti ini.Bagaimana pun juga aku tak boleh terlihat lemah di depan para musuh, mereka harus tahu betapa garang dan kerasnya aku hingga tak mudah ditaklukkan."Zara! Zara!" Aku melirik ke samping, seorang lelaki muda mengetuk pintu mobil, dengan cepat aku mengusap air mata yang tersisa, Arvin tak boleh tahu aku sedang menangis sendirian di sini.Kubuka kaca mobil sambil berusaha tersenyum menatap lelaki berwajah blasteran timur tengah itu."Ngapain di sini? mobil lu mogok?" tanyanya dengan tatapan heran."Ah engga kok, barusan ... nerima telpon dulu."Tapi sepertinya ia menangkap sinyal kebohongan di mataku."Turun dulu gih, kita ngobrol di sana, kayaknya lu ada masalah," titah Arvin."Semua yang hidup pasti punya masalah, Vin."
(POV Bunda Naima)"Bu, bangun, Bu!" Suara-suara itu dan sebuah tepukan di pipi membuatku tersadar.Saat membuka mata aku terkejut karena berada di tempat asing."Bu, minum dulu ya," ucap seorang wanita, dari suara dan wajah sepertinya aku pernah mengenal dia.Aku lantas bangkit dan meminum air yang disodorkan wanita itu."Ibu ga apa-apa? kalau kepalanya masih pusing kita ke IGD ya, saya anterin, itu kepala Ibu berdarah untungnya ga banyak," ucap wanita itu.Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kepalaku tak terlalu sakit, hanya rasa perih di pelipis, setelah kuraba ternyata kepalaku sudah terbungkus perban."Engga kok ga pusing, motor saya mana?" tanyaku sambil celingukan.Aku sepertinya berada di rumah seseorang entah rumah siapa."Ibu lagi di rumah majikan saya, kebetulan majikan saya bidan tadi yang ngobatin kepala Ibu," jawab wanita itu.Aku masih berusaha mengingat-ingat siapa dia."Eh udah bangun ibunya?" tanya seorang perempuan muda dengan wajah bersih dan mata sipit.Aku mengan
(POV MIRANDA)Aku pulang ke rumah dengan hati yang hancur berkeping-keping, mobil Mas Damar tak terparkir di luar, entah di mana ia kali ini.Air mata tak berhenti mengalir saat memasuki rumah, ditambah dengan penampilanku yang kusut berantakan, membuat tanda tanya orang-orang rumah khususnya Mbak Sita.ART-ku itu tak henti menatapku dengan pandangan aneh. Namun, sepertinya ia tak memiliki keberanian untuk bertanya."Mama kenapa?" tanya putriku Tiara.Dari ambang pintu ia berlari menghampiri. "Mama abis dirampok?"Aku menggeleng lemah sambil menyeka ingus dan air mata."Ya terus kenapa? kok kusut gitu mukanya? pake nangis lagi," ujarnya lagi nampak khawatir.Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena tak bisa bicara."Mama berantem lagi sama Ayah?" Lagi-lagi putriku bertanya."Mama mau istirahat dulu ya," ucapku dengan suara parau.Aku melanjutkan langkah menuju kamar sedangkan Tiara tak henti menatapku sampai pintu kamar tertutup."Sial! Ga aktif lagi!" Aku membanting ponsel saat pon
Wanita tua dan putrinya yang tengil itu melabrakku di kantor di hadapan karyawan yang lain, aku masih ingat waktu itu Zara dengan bar-barnya menjambak rambut juga menampar wajahku hingga kemerahan."Lont*! Ga tahu malu! Hei semuanya lihat wanita ini dia sudah merebut ayahku meski tahu sudah beristri, lihatlah wajahnya yang cantik seperti ondel-ondel ini!" teriak Zara mengalihkan perhatian karyawan lain.Sambil menangis aku duduk sambil menutupi wajah, aku tak bisa melawan karena takut ada yang merekam.Suara bisikan-bisikan yang berisi makian dan hujatan dari rekan kerjaku ramai terdengar di telinga, hingga akhirnya Mas Damar keluar dan melerai."Zara, Naima, tolong jangan buat keributan kita bisa selesaikan masalah ini di rumah," ucap Mas DamarAku kesal sekali padanya karena terkesan tak tegas pada Zara yang sudah kasar dan mempermalukanku di hadapan umum."Baik, kalau gitu kamu juga pulang sekarang, dan selesaikan ini secepatnya. Zara ayok pergi," ucap Mbak Naima membuatku lega.Se
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak