Amarah yang membuncah juga kecewa yang meraja semua bercampur dalam dada, air mata mengalir deras hingga pandanganku sedikit buram ketika melihat jalanan.Aku menepi di pinggir jalan meluapkan seluruh tangisan, tak mungkin pulang ke rumah ayah dalam keadaan seperti ini.Bagaimana pun juga aku tak boleh terlihat lemah di depan para musuh, mereka harus tahu betapa garang dan kerasnya aku hingga tak mudah ditaklukkan."Zara! Zara!" Aku melirik ke samping, seorang lelaki muda mengetuk pintu mobil, dengan cepat aku mengusap air mata yang tersisa, Arvin tak boleh tahu aku sedang menangis sendirian di sini.Kubuka kaca mobil sambil berusaha tersenyum menatap lelaki berwajah blasteran timur tengah itu."Ngapain di sini? mobil lu mogok?" tanyanya dengan tatapan heran."Ah engga kok, barusan ... nerima telpon dulu."Tapi sepertinya ia menangkap sinyal kebohongan di mataku."Turun dulu gih, kita ngobrol di sana, kayaknya lu ada masalah," titah Arvin."Semua yang hidup pasti punya masalah, Vin."
(POV Bunda Naima)"Bu, bangun, Bu!" Suara-suara itu dan sebuah tepukan di pipi membuatku tersadar.Saat membuka mata aku terkejut karena berada di tempat asing."Bu, minum dulu ya," ucap seorang wanita, dari suara dan wajah sepertinya aku pernah mengenal dia.Aku lantas bangkit dan meminum air yang disodorkan wanita itu."Ibu ga apa-apa? kalau kepalanya masih pusing kita ke IGD ya, saya anterin, itu kepala Ibu berdarah untungnya ga banyak," ucap wanita itu.Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kepalaku tak terlalu sakit, hanya rasa perih di pelipis, setelah kuraba ternyata kepalaku sudah terbungkus perban."Engga kok ga pusing, motor saya mana?" tanyaku sambil celingukan.Aku sepertinya berada di rumah seseorang entah rumah siapa."Ibu lagi di rumah majikan saya, kebetulan majikan saya bidan tadi yang ngobatin kepala Ibu," jawab wanita itu.Aku masih berusaha mengingat-ingat siapa dia."Eh udah bangun ibunya?" tanya seorang perempuan muda dengan wajah bersih dan mata sipit.Aku mengan
(POV MIRANDA)Aku pulang ke rumah dengan hati yang hancur berkeping-keping, mobil Mas Damar tak terparkir di luar, entah di mana ia kali ini.Air mata tak berhenti mengalir saat memasuki rumah, ditambah dengan penampilanku yang kusut berantakan, membuat tanda tanya orang-orang rumah khususnya Mbak Sita.ART-ku itu tak henti menatapku dengan pandangan aneh. Namun, sepertinya ia tak memiliki keberanian untuk bertanya."Mama kenapa?" tanya putriku Tiara.Dari ambang pintu ia berlari menghampiri. "Mama abis dirampok?"Aku menggeleng lemah sambil menyeka ingus dan air mata."Ya terus kenapa? kok kusut gitu mukanya? pake nangis lagi," ujarnya lagi nampak khawatir.Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena tak bisa bicara."Mama berantem lagi sama Ayah?" Lagi-lagi putriku bertanya."Mama mau istirahat dulu ya," ucapku dengan suara parau.Aku melanjutkan langkah menuju kamar sedangkan Tiara tak henti menatapku sampai pintu kamar tertutup."Sial! Ga aktif lagi!" Aku membanting ponsel saat pon
Wanita tua dan putrinya yang tengil itu melabrakku di kantor di hadapan karyawan yang lain, aku masih ingat waktu itu Zara dengan bar-barnya menjambak rambut juga menampar wajahku hingga kemerahan."Lont*! Ga tahu malu! Hei semuanya lihat wanita ini dia sudah merebut ayahku meski tahu sudah beristri, lihatlah wajahnya yang cantik seperti ondel-ondel ini!" teriak Zara mengalihkan perhatian karyawan lain.Sambil menangis aku duduk sambil menutupi wajah, aku tak bisa melawan karena takut ada yang merekam.Suara bisikan-bisikan yang berisi makian dan hujatan dari rekan kerjaku ramai terdengar di telinga, hingga akhirnya Mas Damar keluar dan melerai."Zara, Naima, tolong jangan buat keributan kita bisa selesaikan masalah ini di rumah," ucap Mas DamarAku kesal sekali padanya karena terkesan tak tegas pada Zara yang sudah kasar dan mempermalukanku di hadapan umum."Baik, kalau gitu kamu juga pulang sekarang, dan selesaikan ini secepatnya. Zara ayok pergi," ucap Mbak Naima membuatku lega.Se
(POV ZARA)Derap langkah kaki ayah terdengar mendekat, dapat kulihat ketegangan di wajah Tante Miranda begitu kentara."M-mas ... baru pulang? kamu dari mana?" tanya Tante Miranda sok akrab.Padahal sudah jelas ayah seperti enggan disapa olehnya. Wanita itu mendekat beberapa langkah hendak mencium tangan ayah."Cukup, Miranda, apa kamu sudah minta maaf sama adikku?" tanya Ayah, sambil menolak uluran tangan gundiknya.Si gundik tercenung sejenak. "Belum," jawabnya lesu.Aku menyeringai, mana mungkin mau ia minta maaf pada Om Burhan, dosanya itu terlalu banyak dan kata maaf saja tak cukup untuk menghapuskan dosanya."Aku harap kamu minta maaf sama dia, dan aku harap kamu sadar dan menyesali semua perbuatanmu itu," ucap Ayah lalu naik ke lantai atas."Iya, Mas, iya! Aku akan minta maaf sama Burhan kalau perlu sujud di kakinya demi kamu!" tegas Tante Miranda dengan sedikit berteriakUsai menengok sebentar ke arah Tante Miranda, ayah melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga, sementara ma
"Zara, tolong jangan beri Ayah pilihan itu," ucap Ayah sambil menggenggam erat jemariku."Aku udah males tinggal satu atap dengan gundik Ayah, berharap Ayah balikan lagi sama bunda, sekarang udah jelas-jelas ada bukti kalau Tante Miranda itu bukan perempuan baik, Ayah masih aja tetep mempertahankannya."Aku lantas berdiri."Sekarang tinggal pilih aja, pilih aku anak Ayah, atau Tante Miranda.""Kalau pun Ayah ga bisa kembali sama Bunda, seenggaknya cari pendamping yang lebih baik dari Bunda."Aku segera melangkah ke luar meski ayah terus memanggilku beberapa kali. Saat membuka pintu aku terkejut ternyata ada Tante Miranda yang sedang menguping pembicaraanku sejak tadi."Minggir!" tegasku sambil mendorong tubuhnya."Eh eh tunggu kamu!" Tante Miranda mengikuti sambil berusaha mencekal lenganku."Apaan sih!" Kutepis kasar cekalannya."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan s
(POV MIRANDA)Tubuhku bergetar hebat saat mendengar Zara memprovokasi ayahnya untuk menceraikanku, ternyata prasangka ini tak pernah salah, ia memang tak menyukai pernikahanku dan Mas Damar.Ia tak tahu saja aku bisa melakukan apapun di luar pemikirannya, bila perlu akan kubuat ia dibenci oleh ayahnya sendiri, ia fikir aku tak bisa lakukan itu."Minggir!" tegas Zara sambil mendorong tubuhku dengan kasar"Eh eh tunggu kamu!" Aku mengikutinya sambil mencekal lengan anak songong itu"Apaan sih!" Ia menepis cekalanku, memang tak punya sopan santun."Ternyata bener ya, selama ini kamu berusaha memisahkan aku dan Mas Damar. Dengar ya, lebih baik kamu pulang ke rumah ibumu itu, karena usahamu hanya akan sia-sia!" tegasku penuh amarah.Tapi bukannya takut dengan gertakanku, ia malah memamerkan senyum mengerikan, seolah tak pernah takut dengan apapun yang kuperbuat."Takut banget sih, santai aja kali, kita lihat aja nanti keputusan Ayah kayak gimana, lagian nih ya kalau lu dicerein sama Ayah m
Mas Damar menghela napas lalu menatapku masih dingin."Kita lihat saja nanti," jawabnya sambil berdiri."Sekarang lebih baik kita ke rumah Burhan, kamu mau minta maaf 'kan sama dia?" Lelaki itu lantas berdiri lalu melangkah, beberapa detik kemudian ia berbalik badan."Oh ya, kamu juga harus bisa mengambil hati ibuku, aku ga mau menjalani rumah tangga tanpa ridhonya, kamu sanggup?" "Ok aku tunggu di mobil." Mas Damar bergegas keluar dari ruang kerjanya meninggalkanku sendirian.'Duh bagaimana ini, kalau minta maaf sama Burhan sih aku bisa makasain, lah kalau harus ngambil hati ibu mertua males banget'Terpaksa aku melangkah keluar sambil menahan rasa jengkel di dada, lalu masuk ke dalam mobil Mas Damar dengan setengah hati."Mbak Sita, saya ke rumah Burhan dulu ya nanti balik lagi," ujar Mas Damar pada pembantu kami yang sedang membuka gerbang."Iya, Pak," jawabnya sambil mengangguk.Sepanjang jalan hatiku benar-benar gelisah tak menentu, ingin rasanya aku kembali pulang ke rumah saj
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak