Mas Damar menghela napas lalu menatapku masih dingin."Kita lihat saja nanti," jawabnya sambil berdiri."Sekarang lebih baik kita ke rumah Burhan, kamu mau minta maaf 'kan sama dia?" Lelaki itu lantas berdiri lalu melangkah, beberapa detik kemudian ia berbalik badan."Oh ya, kamu juga harus bisa mengambil hati ibuku, aku ga mau menjalani rumah tangga tanpa ridhonya, kamu sanggup?" "Ok aku tunggu di mobil." Mas Damar bergegas keluar dari ruang kerjanya meninggalkanku sendirian.'Duh bagaimana ini, kalau minta maaf sama Burhan sih aku bisa makasain, lah kalau harus ngambil hati ibu mertua males banget'Terpaksa aku melangkah keluar sambil menahan rasa jengkel di dada, lalu masuk ke dalam mobil Mas Damar dengan setengah hati."Mbak Sita, saya ke rumah Burhan dulu ya nanti balik lagi," ujar Mas Damar pada pembantu kami yang sedang membuka gerbang."Iya, Pak," jawabnya sambil mengangguk.Sepanjang jalan hatiku benar-benar gelisah tak menentu, ingin rasanya aku kembali pulang ke rumah saj
"Aku punya bukti kalau omonganku barusan itu benar, Yah, wanita ini pembunuh." Aku menunjuk wajah Tante Miranda dengan hina.Semua orang menatapku, termasuk Nenek yang sampai keluar dari dalam rumahnya."Zara, kamu ngomong apa sih? siapa yang pembunuh?" tanya wanita tua itu, mungkin saking terburu-buru ia sampai lupa mengenakan kerudung."Zara, ayo kita pulang, jangan buat kekacauan di sini," sela Tante Miranda sambil berusaha mencekal lenganku.Aku menyeringai sambil menatapnya. "Ngapain pulang?! Takut kebusukannya terbongkar di depan ibu mertua?"Tante Miranda semakin ketakutan melihat keberanianku, ia melihat wajah ayah sebagai kode meminta bantuannya untuk mengajakku pulang."Zara, Ayah harap kamu ga sembarang mitnah orang ya," sahut Ayah sambil menatap tajam. Namun, aku yakin ia sangat penasaran dengan yang kuucapkan."Kamu ga bohong 'kan, Zara? i-istriku dibunuh?" tanya Om Burhan dengan suara bergetar.Semua orang terdiam, mungkin antara percaya dan tak percaya dengan ucapanku,
Perempuan itu terlihat semakin ketakutan dan gelagapan."Siapa sih maksud kamu ini, Zara?!" tanya Tante Miranda sambil menyembunyikan kegugupannya.Aku menyeringai sambil menatapnya. "Masa sih udah lupa?"Kini, tatapanku beralih pada ayah. "Aku harap Ayah akan sadar setelah tahu kebiadaban perempuan ini, dan aku harap Ayah mau menceraikan dia!"Nenek masih menangis terisak begitu pula dengan Om Burhan yang terlihat sesak karena bersedih sambil mengusap wajahnya berkali-kali."Damar, bawa pergi perempuan ini! Lihat saja kalau kamu ga menceraikan dia Ibu ga mau melihat mukamu lagi!" tegas nenek disertai isakan."Zara, Nenek mau bicara." Perempuan tua itu menarik lenganku masuk ke dalam."Sana pergi!" tegasku sambil mendelik lalu masuk ke dalam."Kamu ... kamu tahu rahasia sebesar itu dari siapa? dan kenapa Nenek ga tahu selama ini?" tanya wanita tua itu dengan berurai air mata.Kupandangi langit-langit rumah nenek yang mulai kusam, miris memang ia memiliki anak yang kaya tetapi hidupnya
(POV Naima)Asih terlihat menangis sebelum memulai bicara."Waktu itu anak perempuan saya diculik oleh anak buah Miranda, dia mengancam kalau ga nurutin perintahnya maka anak perempuan saya akan diperk*sa."Ia menatapku sambil sesenggukan, entahlah aku pun tak bisa membedakan itu tangisan sungguhan atau hanya pura-pura karena tak ingin disalahkan."Saya ga bohong, Bu Naima.""Waktu itu saya bingung antara menyelamatkan anak saya atau memilih Bu Dina."Ia bicara lagi karena menyadari raut wajahku terdapat keraguan."Mana anak perempuanmu yang dulu diculik Miranda?" tanya Ima dengan ketus."Ada ... ada di dalam, Mbak." Ia menganggukkan kepala."Sana panggil," ketus Ima lagi.Asih menganggukkan kepala tanpa bicara lalu masuk ke dalam. Tak lama ia keluar dengan anak gadisnya yang berambut panjang dan berkulit sawo matang.Anak itu melihat ibunya tanpa bicara lalu menatap kami dengan seulas senyum."Nak, kami mau tanya apa betul beberapa tahun lalu kamu pernah diculik?" tanyaku.Ia menatap
"Ada mobil Zara," ucapku sambil menatap mobil berwarna putih terparkir di halaman.Aku membuka kamar nomor tiga, benar saja putriku sudah tertidur pulas di sana, menatap wajahnya timbul rasa iba, ia selalu meminta agar aku dan Mas Damar kembali bersama, nyatanya hal itu tak pernah jadi nyata."Ima, Asih, kalian tidur di kamar ini ya." Aku menunjuk kamar nomor dua.Entah mengapa malam ini aku ingin sekali tidur dengan Zara, wajahnya yang tirus dan hidung mancung mengingatkanku pada sosok Mas Damar, bukan karena cinta melainkan teringat janji-janjinya ketika kami masih susah."Kalau Ayah udah banyak uang kita bertiga akan jalan-jalan ke luar negri, Zara mau apapun beli aja jangan banyak mikir.""Bunda juga bisa shoping sepuasnya, jadi kalau nyuci seminggu sekali masih ada ganti.""Nanti kita pindah ke rumah besar berlantai dua, biar Zara bisa main dengan leluasa.""Satu lagi, Yah, beli mobil ya Zara pengen jalan-jalan pake mobil, bosen pake motor mogok terus."Lalu pada saat itu kami se
(POV Zara)"Bu, saya pulang ya takut anak saya kenapa-kenapa, Miranda itu orangnya nekat, Bu, saya ga bisa melihat anak satu-satunya saya disakiti," rengek Asih dengan panik.Seketika aku pun merasa panik, jika Mbak Asih tak bisa membuktikan pada keluarga pasti Miranda akan tertawa di atas kemenangannya.Aku sangat yakin ini adalah ulah perempuan ular itu, ia pasti menakut-nakuti anak Mbak Asih agar ibunya tutup mulut."Kamu tenang aja ya, Sih, saya udah nyuruh orang buat jagain anakmu, lima orang sekaligus saya kerahkan untuk menjaga anakmu," sahut Bunda membuatku lega.Begitu pun dengan Mbak Asih, wajah pucat yang menjelaga itu perlahan sirna berganti dengan raut kelegaan."Beneran, Bu, anak saya ada yang jaga?" tanya Asih."Bener, bilang sama anakmu untuk ga usah khawatir ya, Sih."Suara lembut bunda mampu membuat kami semua tenang, Mbak Asih pun terlihat bernapas lega sambil menatap lurus ke depan usai mengetik sebuah pesan.Tak memakan waktu lama kami tiba di rumah ayah, gerbang
"Cukup! Perempuan j*l*ng! Aku tahu betul siapa Asih, dia ga mungkin berbohong! Tega kamu ya sudah membunuh menantuku! Aku pastikan hidupmu ke depannya ga akan tenang!" tegas nenek murka.Tante Miranda semakin kelabakan menerima kutukan dan cacian dari mertuanya, ditambah lagi dengan Tiara yang menangis dan merengek ketakutan.Rasakan itu anak manja, sebentar lagi kesenanganmu akan berakhir, aku tersenyum licik sambil memandang anak songong itu, rasanya sudah tak sabar ingin mengusirnya dari sini."Ma, masa sih Mama udah bunuh orang? mereka ga bener 'kan, Ma?" tanya Tiara sambil menangis.Tante Miranda tak menjawab ia malah melirik ayah, mungkin berharap suami tercintanya akan membela."Aku tanya sama kamu, Miranda, benar apa yang dikatakan Asih itu? jujur aja sih apa susahnya." Akhirnya ayah bersuara Lelaki itu nampak frustasi berkali-kali ia menyugar rambut yang mulai tumbuh uban beberapa helai itu, semoga saja insiden ini membuat mata hatinya terbuka untuk menceraikan Miranda dan k
"Burhan, aku minta maaf, tolong jangan penjarakan aku," rengek Tante Miranda, tubuhnya yang mengenakan dres di atas lutut itu masih bersimpuh di Lantai.Air matanya mulai menetes membasahi pipi, begitu pula dengan Tiara, anak songong itu tak henti menangisi ibunya yang sudah tak berdaya."Enak aja kamu minta maaf, bisa ga balikin mantuku yang udah mati hah?!" teriak nenek dengan tatapan nyalang.Semua orang terlihat murka hanya bunda yang masih terlihat santai, aku juga heran di hatinya itu seperti tak ada amarah dan dendam."Ya ga mungkin bisa lah, emang dia Dajjal," sahutku sambil melotot."Dia emang pengikut Dajjal!" sahut nenek membentak."Sudah sudah, semuanya tenang ya. Kita akan serahkan kejahatan Miranda pada yang berwajib, aku sarankan kamu mengaku saja, Mir, dengan harap bisa meringankan hukumanmu," sahut bunda dengan santai dan jumawa.Tante Miranda semakin terisak di lantai, kini ia benar-benar tak berdaya seperti impianku selama ini.Kau kalah, Miranda! Dan akulah pemenan
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak