"Cukup! Perempuan j*l*ng! Aku tahu betul siapa Asih, dia ga mungkin berbohong! Tega kamu ya sudah membunuh menantuku! Aku pastikan hidupmu ke depannya ga akan tenang!" tegas nenek murka.Tante Miranda semakin kelabakan menerima kutukan dan cacian dari mertuanya, ditambah lagi dengan Tiara yang menangis dan merengek ketakutan.Rasakan itu anak manja, sebentar lagi kesenanganmu akan berakhir, aku tersenyum licik sambil memandang anak songong itu, rasanya sudah tak sabar ingin mengusirnya dari sini."Ma, masa sih Mama udah bunuh orang? mereka ga bener 'kan, Ma?" tanya Tiara sambil menangis.Tante Miranda tak menjawab ia malah melirik ayah, mungkin berharap suami tercintanya akan membela."Aku tanya sama kamu, Miranda, benar apa yang dikatakan Asih itu? jujur aja sih apa susahnya." Akhirnya ayah bersuara Lelaki itu nampak frustasi berkali-kali ia menyugar rambut yang mulai tumbuh uban beberapa helai itu, semoga saja insiden ini membuat mata hatinya terbuka untuk menceraikan Miranda dan k
"Burhan, aku minta maaf, tolong jangan penjarakan aku," rengek Tante Miranda, tubuhnya yang mengenakan dres di atas lutut itu masih bersimpuh di Lantai.Air matanya mulai menetes membasahi pipi, begitu pula dengan Tiara, anak songong itu tak henti menangisi ibunya yang sudah tak berdaya."Enak aja kamu minta maaf, bisa ga balikin mantuku yang udah mati hah?!" teriak nenek dengan tatapan nyalang.Semua orang terlihat murka hanya bunda yang masih terlihat santai, aku juga heran di hatinya itu seperti tak ada amarah dan dendam."Ya ga mungkin bisa lah, emang dia Dajjal," sahutku sambil melotot."Dia emang pengikut Dajjal!" sahut nenek membentak."Sudah sudah, semuanya tenang ya. Kita akan serahkan kejahatan Miranda pada yang berwajib, aku sarankan kamu mengaku saja, Mir, dengan harap bisa meringankan hukumanmu," sahut bunda dengan santai dan jumawa.Tante Miranda semakin terisak di lantai, kini ia benar-benar tak berdaya seperti impianku selama ini.Kau kalah, Miranda! Dan akulah pemenan
"Udah deh berisik!" cetusku dengan tegas.Semua orang masih menangis di ruang tamu, hanya Tiara yang mengeluarkan suara dengan cara menangis dan bicara tak jelas."Kasihan sekali Dina, udah diselingkuhi diracun pula." Nenek terisak, wajahnya ditutup kerudung dengan tubuh berguncang."Andai waktu bisa diulang, mungkin aku akan jadi lelaki setia dan ga akan mau kenal Miranda." Om Burhan menangis tersedu-sedu."Aku juga udah bodoh, kenapa malah terpikat sama perempuan itu," ujar ayah sambil mengacak kepalanya."Baru sadar 'kan sekarang kalau perempuan itu ga bener, coba aja Ayah melek dari kemarin," gerutuku sambil mendelik."Sekarang minta maaf sama Bunda, Ayah tuh udah keterlaluan tahu ga."Hatiku puas memarahinya, apalagi melihat Tiara yang masih terisak, tak terbayang bagaimana nasibnya ke depan, haruskah kuusir dia dari rumah ini? atau menjadikannya babu saja di sini?"Sudahlah, Ra, yang penting sekarang kejahatan Miranda udah pada tahu, kita kantor polisi yuk jemput Ima sama Asih,"
Terdengar ada yang mengetuk pintu dengan keras, aku yang tadinya mulai terlelap terpaksa bangun dan membuka pintu."Mau ngapain?!" tanyaku ketus.Ternyata Tiara yang mengetuk pintu kamarku malam-malam, wajah anak itu sepertinya habis menangis, terlihat sembab tapi ada kilatan amarah di matanya."Bener-bener lu ya, apa maksudnya lu upload Poto mama gua hah?!" bentak Tiara sambil memukul pintu.Seketika mataku yang mengantuk langsung terbuka lebar, setelah terancam diusir dari rumah ini rupanya ia tak ada takutnya membuat masalah."Ga ada maksud, cuma ngasih tahu sama orang-orang kalau Tante gue ga bunuh diri, tapi dibunuh sama nyokap lu, kenapa?" Aku tersenyum puas."Rese lu ya, awas gua bakal bales perbuatan lu ini!" Ia menunjuk wajahku penuh amarah."Gue juga bakal usir lu dari rumah ini, jadi please deh ga usah macam-macam, sama yang lebih tua ga ada sopan-sopannya," gerutuku.Karena kalah berdebat anak songong itu memutuskan pergi dari hadapanku, padahal sampai pagi pun aku siap me
Aku melajukan mobil menuju kantor ayah, tapi sebelum ke sana aku mampir dulu ke rumah bunda, penasaran dengan kasus Tante Miranda Pagar setinggi satu meter itu masih tertutup, itu artinya bunda masih di rumah belum berangkat ke grosinya."Eh, Zara, kamu pakai baju kaya gini mau ngapain?" tanya bunda usai pintu terbuka, ia sedikit terkejut melihat penampilanku yang berbeda."Mau kerja di kantor ayah, Bun, nyoba-nyoba aja dulu kalau nyaman lanjut kalau ga mending kuliah lagi." Aku terkekeh."Kamu ini, yang serius dong, mau kerja apa kuliah.""Gimana si kuntilanak, Bun?" tanyaku mengalihkan perhatian."Miranda maksudnya?" tanya bunda sambil tertawa."Iya lah siapa lagi.""Ribet, Ra, kita harus bongkar makam Tante Dina buat proses otopsi, terus kita ga cukup hanya menghadirkan saksi, harus ada bukti yang kuat kalau Miranda udah meracuni Dina," ucap bunda membuatku putus asa.Aku sangat ingin Tante Miranda mendekam di penjara lalu ia gila selamanya."Terus nantinya Tante Miranda bakal beb
(POV Miranda)Aku hampir muntah melihat makanan yang terhidang di depan mata, nasi yang begitu keras hanya berlauk kerupuk, ikan asin dan sayur bayam, benar-benar membuat selera makanku menghilang."Ayo cepet makan! Kalau ga mau biar gua aja yang makan!" celetuk seorang perempuan tengah baya yang menjadi teman tidurku di dalam sel.Aku menatap wanita bertubuh gemuk yang sedang mengunyah makanan dengan rakus itu, sungguh membuatku bergidik jijik.Aku benar-benar tak tahan berada di sini, aku ingin pulang!Kuremas rambut yang mulai kusut ini dengan kesal, kenapa bisa kejahatan yang kututupi bertahun-tahun lamanya kini bisa menghancurkan hidupku.Asih kurang ajar, Naima sial*n, dan Zara si pembawa sial semuanya menyebalkan, lihat saja jika Pak Budiarto bisa membebaskanku maka mereka bertiga lah yang akan kuhabisi terlebih dulu."Sini aja deh buat gua nasinya." Perempuan bertubuh gempal itu merebut piringku."Enak aja, rakus banget sih jadi orang." Aku kembali merebut jatah makanku.Bagai
"Ya terus aku gimana? masa iya aku harus ke rumah Papa, kalau aku dijadikan pel*cur gimana?" tanya Tiara putus asa."Ya jangan dong, ke rumah nenekmu aja lah, awas ya kalau kamu temui papamu." Aku mengancamnya dengan tegas.Mas Roy alias ayah Tiara memang lelaki tak bertanggung jawab, aku tak sudi jika satu langkah saja Tiara menginjak rumahnya.Bukan hanya tak bertanggung jawab ia juga kerap berganti-ganti wanita, yang kudengar sekarang ia menikah dengan perempuan penghibur."Tapi di rumah nenek ada Tante Devi sama Tante Meri, mereka 'kan judes banget sama aku, males banget kalau tingggal di sana," sahut Tiara lagi.Benar juga apa katanya, Devi dan Meri adalah kedua adikku, mereka membenciku lantaran malu dengan sikapku yang sering pacaran dengan suami orang.Ibuku memang baik seburuk apapun aku ia tetap menerima, sayang sekali ibu satu atap dengan kedua adikku, Tiara mana mungkin tahan tinggal dengan mereka yang bermulut pedas."Aku tuh ga mau keluar dari rumah Ayah, aku udah nyaman
(POV DAMAR)"Mas, kamu becanda 'kan?" Miranda menatapku, mata yang nampak sayu itu mengembun.Sejujurnya aku tak tega. Namun, perbuatan jahatnya membuatku sangat benci, terlebih ibu mengancam tak menganggapku anak jika tak menceraikan Miranda."Aku serius, Mir, perbuatan kamu benar-benar ga bisa ditoleransi lagi, mulai sekarang kamu bukan istriku dan aku bukan suamimu."Aku lantas berdiri, tapi Miranda masih menggenggam erat jemariku."Kalau itu keputusanmu aku terima , tapi aku titip Tiara, Mas, papa kandungnya ga sebaik kamu," ucapnya dengan air mata berlinang.Aku menengadah menahan debar di dada, entah cinta ini masih ada atau tidak, yang jelas hatiku terluka ketika talak terucap."Aku ga bisa janji kalau soal Tiara, karena Zara dan anakmu ga pernah mau aku, Mir. Dan aku juga takut kehilangan Zara." Aku mulai melepas genggamannya."Mas, aku mohon setidaknya kamu selamatkan dia dari papa kandungnya." Miranda merengek lagi."Akan aku usahain." Aku menganggukkan kepalaLalu secepatny
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak