"Dek, menikahlah sama mas!"
Deg!
Aku terdiam sejenak. Sampai terdengar suara dari seberang sana.
"Dek, hallo! Kok suaranya gak ada?"
"Ehm ... Maksud Mas? Aku gak ngerti mas?" tanyaku ragu.
Aku masih bingung dengan apa yang dikatakan mas Adry. Apakah aku salah dengar atau memang benar ia sedang melamarku. Namun, aku tak pernah punya hubungan khusus dengannya. Kami hanya berteman lantaran mantanku adalah sahabatnya.
"Mas serius, Dek. Mas udah tau Adek dah putus dengan temen mas."
Dari intonasi suaranya, aku dapat menyimpulkan lelaki itu sedang tak main-main. Ia serius melamarku. Namun, aku masih tak mengerti. Mengapa tiba-tiba saja ia meminang wanita yang pernah jadi kekasih sahabatnya.
Sebelum mengakhiri sambungan telepon, aku menolaknya secara halus. Akan tetapi, dia tetap kekeh agar aku memikirkan tawarannya terlebih dahulu. Dan akupun terpaksa mengiyakannya.
Belakangan aku memang akrab dengan Mas Adry. Lantaran insiden yang menimpanya.
Mas Adry mengalami kecelakaan yang menyebabkan satu kakinya divonis cacat permanen.
Saat itu, Mas Brian--mantan pacarku--begitu berduka akan tragedi yang menimpa sahabatnya itu. Lalu, kutawarkan agar mas Adry melakukan pengobatan alternatif.
Bapakku adalah seorang tukang pijat tradisional. Walaupun demikian, banyak orang yang patah tulang bisa sembuh melalui terapi pijat di tempat bapak. Tanpa operasi pemasangan pen.
Sejak saat itulah, aku dan mas Adry sering berkomunikasi. Walaupun demikian, hubungan kami hanya sebatas teman saja. Tak lebih dari itu.
***
Pagi itu hujan turun begitu deras. Aku duduk disofa sembari menikmati secangkir teh hangatdan biskuit bergambar kelapa muda.
Aku menatap kaca rumah yang berembun karena terjadi kondensasi. Akibat temperatur di luar lebih dingin dari dalam rumah.
Samar-samar, sebuah sedan berwarna merah memasuki halaman rumah.
"Siapa tamu pagi-pagi begini?" gumamku sambil terus memperhatikan mobil itu.
Biasanya jika itu pasien bapak, mereka akan membuat janji terlebih dahulu melalui nomor teleponku. Karena bapak juga seorang petani. Maka tak jarang, pasien harus pulang dengan tangan hampa karena bapak tak ada di rumah.
Karena penasaran, aku mendekat ke kaca rumah dengan posisi badan masih tertutup gorden.
Aku terperanjat ketika mengetahui siapa pemilik mobil sedan itu.
Dia adalah Mas Adry. Mati aku, belum mandi, muka masih kucel seperti gembel. Andai ia tidak melamarku kemarin, mungkin aku tak akan segugup ini.
Aku segera berlari menuju kamar, meraih handuk secepat kilat menuju kamar mandi.
"Kenape Vi, lari-lari kek orang kesetanan?" Emak mengernyitkan keningnya, keheranan melihat tingkahku.
"Kebelet, Mak," jawabku singkat. Lalu segera ke kamar mandi.
Saat cuaca dingin seperti ini, aku paling malas mandi pagi. Walaupun Emak sering memarahi, anak gadis tak baik seperti itu.
"Cuman seminggu sekali, Mak. Senin sampai Sabtu Devi mandi sebelum shalat subuh."
Begitulah pembelaanku saat dinasehati Emak. Lalu, Emak akan memukul bokongku dan mengomel hingga ia menemukan topik baru untuk mengubah tema omelannya.
***
Setelah selesai mandi dan bersiap, aku berjalan menuju ruang tamu.
Terdengar gelak tawa emak diselingi suara tepukan memukul-mukul.
Emakku kalau tertawa selalu memukul siapapun yang ada di dekatnya. Pasti Mas Adry sedang menikmati setiap pukulan tangan Emak yang pedasnya seperti bon cabe level 5. Duh Gusti!
"Ehm!" Aku berdehem mengisyaratkan keberadaanku.
Emak dan Mas Adry langsung menoleh kearahku. Berbeda dengan ekspresi mas Adry yang tersenyum simpul, Emak malah menyipitkan mata.
Emak langsung berdiri dan menyeretku menuju dapur.
"Devi, ambilin kue putri salju gih didapur!" teriak Emak. Ia seperti sengaja menyaringkan suaranya agar didengar mas Adry.
Sampai di dapur, Emak malah ngomel-ngomel mengkritik penampilanku yang hanya menggunakan daster.
"Aduh Mak, mas Adry itu bukan pacar Devi. Kalo aku dandan berlebihan, yang ada ntar dia ngira aku cari perhatian sama dia." jawabku kesal.
"Lah? Beneran Vi, dia bukan pacar kamu?" tanya emak heran.
"Emang kenapa kalo dia bukan pacarku? Aku cuman temenan kok sama dia," selidikku.
Aku meraih teko, lalu memasukkan air ke dalam gelas. Kulihat wajah Emak seperti orang linglung.
Baru saja hendak meminum air dari gelas, Emak mengatakan hal yang tak terduga.
"Dia bilang mau melamar kamu Vi."
Air yang baru sampai di kerongkonganku tiba-tiba balik arah muncrat, setelah mendengar kata-kata dari Emak.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, persis seperti setelah berlari 200meter.
"Aduh gimana ini Mak?" tanyaku gusar.
Emak meraih toples kaca berisi kue sisa lebaran dan mendorongku agar segera menyuguhkannya untuk Mas Adry.
Mata Emak langsung hijau, mendengar anaknya akan dipinang seorang prajurit abdi negara.
"Maaf ya, Mas. Lama ya nunggunya?"
Aku berusaha terlihat santai di depan mas Adry.
"Iya Dek, gak papa," sahut mas Adry seraya memamerkan lesung pipinya.
Aku menaruh toples berisi putri salju itu di meja. Kemudian, tanganku tak sengaja menyenggol gelas minum mas Adry. Semuanya tumpah. Sial!
Kini, aku makin salah tingkah di depan mas Adry. Aku tersenyum kecut padanya.
"Maaf ya Mas, kuambilin yang baru minumnya!"
"Gak usah repot-repot, Dek! Mas udah gak haus kok," cegah lelaki itu.
Tak kuhiraukan kata-kata mas Adry, aku kembali ke dapur untuk membuat minuman lagi untuknya.
Aku mengatur napas sebelum kembali menyediakan teh yang tadi telah kutumpahkan. Agar Mas Adry tak tahu, aku benar-benar merasakan malu ketika matanya yang teduh itu terus menatapku.
Emak menghilang entah kemana, karena di dapur tak terlihat batang hidungnya..
Aku kembali membawa nampan segelas teh ke ruang tamu.
Bukannya semakin tenang, kali ini aku tak bisa menyembunyikan kalau aku benar-benar gugup. Sampai terdengar bunyi seperti sedang terjadi gempa skala kecil. Karena tanganku gemetar.
Lelaki itu terus menatapku, aku bisa merasakan bola matanya mengikuti setiap gerak-gerikku.
Aku menelan ludah. Menahan rasa malu. Segera kubersihkan tumpahan minum tadi dilantai untuk mengalihkan perhatian mas Adry. Aku berusaha terlihat senatural mungkin.
Tiba-tiba, tangan kekarnya memegang erat tanganku yang sedang membersihkan ceceran teh dilantai. Ia menepuk bagian sofa yang kosong di sampingnya. Mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya.
"Dek, tujuan mas kesini ingin tahu jawaban Adek. Jadi, stop bikin dramanya dan mengulur waktu!" ucap lelaki berambut cepak itu.
Aku tertegun dan bergeming. Sedangkan mulutku terkatup rapat. Yang terdengar hanya detak jantungku. Kurasa mas Adry juga dapat mendengarnya.
"Kalo Adek menyetujui pinangan mas, Adek hanya perlu mengangguk!"
Sesaat terjadi pergolakan batin. Jika aku menerimanya, apakah aku sudah siap dengan konsekuensinya? Hatiku masih terpaut kepada Mas Brian. Dan aku belum sepenuhnya mencintai lelaki yang sedang menunggu jawabanku itu.
Jika aku menolaknya, mungkinkah akan kutemukan lagi pria sebaik Mas Adry?
Akhirnya, dengan segala pergolakan batin itu, mengucapkan Bismillah dalam hati, aku menganggukkan kepala.
Lelaki yang mengenakan polo shirt berwarna hitam itu merogoh sesuatu dari kantongnya. Ia memberikan sebuah cincin untukku.
"Besok mas balik lagi dengan keluarga Mas untuk ketemu keluarga Adek."
Bersambung
Proses pertemuan dua keluarga berjalan lancar. Keduanya sepakat acara resepsi dilaksanakan hanya di tempat mempelai pria."Daripada uangnya dihambur-hamburkan untuk resepsi. Lebih baik digunakan untuk kehidupan rumah tangga anak-anak nantinya!" Begitulah usul Bapak saat acara lamaran.Tibalah hari yang ditunggu, akad nikah sekaligus resepsi.Lelaki yang tengah duduk berhadapan dengan Bapak. Tak sedikitpun kubayangkan akan menjadi kekasih halalku.Sedangkan, Mas Brian. Lelaki yang sering disebut namanya dalam do'a, memutuskan hubungan dengan tiba-tiba. Ia hanya memberikan alasan absurd. Absurd menurutku, karena seingatku, aku tak pernah menggaggu pekerjaannya saat dia naik piket atau saat dia patwal. Ingin fokus bekerja ujarnya kala itu."Saya terima nikah dan kawinnya Devi Nirmala binti Jaelani dengan mas kawin emas lima gram dan seperangkat alat shalat,
Sebelum pindah ke tempat tinggal baru, di desa Pagat, tak jauh dari ibukota kabupaten yang terkenal dengan kue apemnya, Barabai. Aku dan Mas Adry menginap di rumah orang tua Mas Adry yang ada di kota Pelaihari.Mas Adry hanya dua bersaudara, ia anak tertua. Sedangkan adiknya bernama Dara. Ia baru kelas tiga di sekolah menengah atas.Bapak mertua adalah guru SD negeri, sedangkan ibu mertua bekerja sebagai staf tata usaha di SMP. Walaupun kedua mertuaku berstatus PNS, mereka tak mempermasalahkan aku yang hanya lulusan SMA saja."Bukan pangkat maupun harta yang membedakan manusia, tetapi akhlak," ujar ibu mertua membesarkan hatiku.Malam itu, malam terakhir kami berada di rumah orang tua Mas Adry. Keluarga ini begitu hangat, walaupun baru saja menjadi bagian keluarga ini, aku tak merasa canggung. Ayah, Ibu dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Juga Dara, ia seperti
Sebuah mobil hatchback telah terparkir di halaman rumah."Itu buat menantu kesayangan Ayah," ujar lelaki paruh baya itu.Ayah memberikan kunci mobil padaku."Terimakasih ya, Yah. Devi jadi gak enak karena belum bisa jadi mantu yang berbakti, tapi udah dikasih hadiah," ujarku sungkan."Katanya hadiah pernikahan, kok cuman mantu ayah yang dapat. Buatku mana?" gerutu Mas Adry."Ada dalam mobil!"Mas Adry bergegas menuju mobil, mengambil hadiahnya."Buka di kamar saja!" perintah Ayah mertua.Aku mengikuti Mas Adry ke kamar. Penasaran dengan hadiah yang diberikan Ayah.Mas Adry segera membuka kado yang terbungkus rapi itu. Setelah merobek kertas kadonya dan kardus pembungkus, rupanya masih ada lagi pembungkusnya. Sudah mirip beli barang di applikasi belanja online."Ayah jualan onlin
"Mas, tolong putar balik mobilnya!" pintaku pada Mas Adry."Kenapa?""Aku tak mau tinggal bersama laki-laki yang masih mencintai wanita lain!""Terus?""Aku akan tinggal di rumah orang tuaku.""Kamu akan tinggal bersama Mas!" tegasnya."Mas!""Pernikahan kita bahkan belum genap seminggu, kamu sudah ingin menunjukkan pada dunia bahwa pernikahan kita sudah bermasalah?""Mas yang menciptakan masalahnya."Mas Adry diam. Ada jeda beberapa saat sebelum ia kembali bersuara."Mas hanya jujur.""Lalu mengapa Mas menikahiku?""Karena kau wanita yang baik.""Tapi kau tak mencintaiku, Mas."Mas Adry menghentikan mobil. Ia memandangiku dengan raut wajah yang sukar dijelaskan. Tatapannya
Walaupun dilahirkan dari keluarga kekurangan, tak terpandang juga tak disegani banyak orang. Emak dan bapak tak pernah mendidikku menjadi orang yang senang menadahkan tangan di bawah.Apa yang ada dalam benak mas Adry akan memberikan kompensasi atas status janda yang nanti akan kuterima. Pasca bercerai dengannya nanti. Bukan karena hartanya yang membuatku menerima pinangannya. Aku tahu dia kaya, banyak uang. Walaupun ia memulai karir sebagai prajurit strata paling rendah, hanya berpangkat prada, prajurit dua. Ia menghasilkan banyak uang dari menjual ketrampilannya membuat font juga desain logo. Hobi yang menghasilkan pundi-pundi itu ia kerjakan disela kesibukannya sebagai prajurit."Mas, walaupun Mas Brian jauh lebih tampan dibanding Mas. Sejak mas melamarku, aku telah mengubur kenangan bersama Mas Brian dan menyerahkan hatiku hanya untuk Mas."Aku menyeka air mata yang terus mengalir.&n
"Apakah kau siap berbagi suami?" tanya wanita berpostur tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu saat kami melakukan pengajuan pernikahan ke kesatuan Mas Adry. Dia istri komandan Mas Adry."Mohon ijin, tidak siap, Bu!" jawabku.Ibu komandan menghela napas seraya tersenyum tipis."Menjadi istri tentara harus siap berbagi suami dengan negara. Karena istri pertama seorang prajurit adalah negaranya. Kamu siap dinomor duakan?" Wanita bermata sipit itu menjelaskan."Siap, Bu!""Yakin, kamu siap?" ulangnya."Siap yakin, Bu!" tegasku.Sebelum ijab kabul terucap, aku memantapkan hati bahwa aku bukanlah prioritas. Seperti istri pada umumnya.Aku telah siap hakku sebagai seorang istri tak sepenuhnya kudapatkan. Aku harus siap ditinggal tugas meski saat sekarat, harus siap ditinggal meskipun sedang hamil.&nbs
"Bagaimana kronologinya, Bu?" tanya bripka Dirgantara Pratama."Awalnya ada seorang pelaku yang mengecoh perhatian saya dengan pura-pura menyeberang mendadak. Kemudian datang komplotan lainnya menodongkan senjata."Aku memberikan informasi kepada polisi ganteng mirip kapten Yo di drama Descendant of the Sun itu. Dia polisi yang sedang menangani kasus perampokan uang yang menimpaku.Saat tengah memberikan keterangan, Mas Adry datang."Dek, gimana keadaanmu? Katanya rampoknya pakai sajam. Apa kamu terluka?" tanya mas Adry cemas."Aku tak apa-apa kok, Mas.""Tapi uangnya berhasil di bawa kabur," lanjutku. Aku menitikkan air mata mengingat banyaknya uang yang menjadi tanggung jawabku itu."Dek, yang penting kamu selamat. Uang bisa kita cari, nyawamu jauh lebih berharga.""Suami ibu tentar
Sekitar jam dua siang, aku selesai menyetor uang ke bank. Lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya aku selesai sebelum jam istirahat para karyawan bank.Mas Brian masih menunggu di mobil."Maaf, ya mas. Tadi antriannya panjang. Lama ya?" ujarku setelah memasuki mobil."Tak masalah," balasnya santai. "Kamu belum makan siang, kan. Kita cari rumah makan dulu. Nanti magh kamu kambuh kalo telat makan."Walau tanpa persetujuanku, Mas Brian langsung melajukan mobil mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Ia memang seringkali melakukan hal demikian kala kami masih menjalin hubungan.Yang menggelitik hatiku ketika ia masih mengingat penyakit maghku. Aku bahkan pernah diopname seminggu di rumah sakit karena magh akut.Aku menatap wajah lelaki yang memang kuakui lebih tampan dari suamiku. Sejenak aku terlena dengan perhatiannya.
"Mungkin Mas harus berangkat tugas sebelum anak kita lahir!" Lirih Mas Adry, lalu menatapku lekat."Berangkatlah Mas, Aku dan anak kita akan selalu menunggumu disini." Aku membesarkan hati Mas Adry. Sekiranya boleh ikut menemaninya ke wilayah Republik Indonesia bagian paling timur itu, niscaya aku akan turut menemaninya. Walaupun harus ikut merasakan bagaimana tinggal di wilayah yang di anak tirikan pemerintah itu. Juga daerah yang sering terjadi konflik dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).Akhirnya istri pertama Mas Adry benar-benar menunjukkan kuasanya. Ya, seperti yang dikatakan istri komandan batalyon Mas Adry saat kami pengajuan nikah dahulu. Negara adalah istri pertama prajurit. Tentu saja ia juga yang utama. Kapanpun istri pertamanya memanggil, mereka harus selalu siap. Walaupun harus meninggalkan keluarga. Tak terkecuali istrinya yang tengah mengandung.Tak ingin merusak suasana ulang tahunku, rasa sedih ini ma
"Dede Utun bobo juga ya! Papa Mama mau bobo ya, De!"Untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki mas Adry seutuhnya. Walaupun demikian, untuk beberapa hal, masih terasa ada yang mengganjal."Mas, gak ngerasa rugi milih aku dibanding Audi? Mas udah keluar jutaan membiayai Audi.""Awalnya mas juga merasa demikian. Setelah mas pikir lagi justru kalo Mas pilih Audi malah rugi.""Kok?""Pilih Adek mas malah untung, dapat bonus Dede Utun!" Mas Adry mengusap pucuk kepalaku. "Maafin kesalahan Mas ya Dek. Dah bikin Adek menderita!""Devi dah maafin Mas bahkan sebelum Mas minta maaf.""Kadang Mas berpikir, Mas seperti Hammurabi. Adek tau kenapa Mas memilih Adek untuk jadi istri Mas?""Kata Mas kan karena aku orang baik?""Sebenarnya, dulu Audi selingkuh dengan Brian saat mas sekarat karena kecelakaan i
Dek, apa kamu selingkuh dengan laki-laki lain?" tuding Mas Adry."Mas, aku tak pernah selingkuh dengan siapapun. Aku berani bersumpah!""Maaf Bu Devi, Pak Adryan. Apa kalian pernah melakukan foreplay?""Tidak pernah, Bu," sahut kami serempak."Walaupun jarang terjadi, kasus ini sebelumnya pernah saya temui pada sepasang remaja yang berpacaran melakukan foreplay saja. Tapi si cewe akhirnya hamil walaupun selaput daranya masih utuh," jelas Bu Dokter.Mendengar penjelasan ibu dokter tentang muda-mudi itu tetiba, aku merasa miris. Aku juga pernah pacaran. Untungnya tak pernah melakukan hubungan itu. Ternyata memang benar apa kata Kak Rose. Sebaiknya jangan pacaran.Atas saran dokter, akhirnya aku setuju untuk melakukan pemeriksaan selaput dara.Beginikah rasanya tidak dipercayai. Sama seperti Mas Adry yang telah bersumpah ba
Adek ingin bukti yang bagaimana?" Pertanyaan dari mas Adry membuyarkan lamunanku. Astaghfirullah! Bisa-bisanya pikiranku malah berpikir yang enak-enak dengan mas Adry. Apakah aku perlu di ruqyah. "Adek mau bukti yang bagaimana?" tanya Mas Adry lagi dari jarak yang beberapa langkah dariku. Aku menepis semua pikiran tentang yang enak-enak. Untung saja Mas Adry tak tahu aku sedang membayangkan tentang ... Untung saja Mas Adry telah merugikanku hanya dalam khayalanku saja. Harusnya aku lega. "Bolehkah ..." "TIdak boleh, tidak boleh!" potongku segera. Takut Mas Adry menginginkan hal yang enak. "Mas belum selesai ngomong," protesnya. "Mas ingin minta bantuanmu untuk menghubungi dokter kandungan!" "Buat apa?" tanyaku. "Untuk membuktikan bahwa Mas gak pernah mengha
Malam itu selepas shalat isya, iseng kubuka pc Mas Adry. Melihat-lihat desain font yang ia pasarkan melalui kreatif market. Hobi yang bisa menghasilkan rupiah bahkan lebih banyak dari gajinya sebagai prajurit.Devi Nirmala, namaku ia tulis menggunakan beberapa font karyanya. Entah mengapa ia menggunakan namaku. Namun, ternyata bukan hanya namaku. Ada nama wanita lain juga disana. Siapa lagi kalau bukan Audi.Sofia Audi.Dadaku kembali bergemuruh, karena teringat kembali kata-kata wanita itu.Masih terngiang-ngiang ditelinga ketika Audi mengintimidasi dengan ucapannya saat kejadian di kafe."Mbak Devi percaya, aku dan bang Adry gak pernah ngapa-ngapain. Padahal dialah yang telah membiayai semua biaya kuliahku?" ujar wanita yang mengenakan pakaian branded itu. Dari penampilannya, tak akan ada yang menduga tentang keadaan ekonomi keluarganya.W
Keesokan harinya, Mas Adry bersama prajurit lainnya pergi UST (uji satuan tempur) ke hutan.Ia pamit hanya dari balik pintu. Suaranya terdengar pelan, tetapi masih bisa kudengar. Sebelum subuh, ia sudah meninggalkan rumah. Mungkin ia berpikir, saat ia berangkat, aku masih terlelap. Padahal, semalaman itu. Aku terus memikirkan kehamilan Audi.Apakah itu benar? Jika itu benar, apakah itu anak Mas Adry? Jika itu anak Mas Adry, kapan mereka melakukan hal yang dilarang agama itu? Bagaimana ia akan bertanggung jawab nanti, sedangkan seorang prajurit tak boleh mempunyai istri sah lebih dari satu? Apakah aku harus merelakan Mas Adry demi anak yang ada di kandungan Audi.Pertanyaan itu terus berputar-putar dikepalaku sehingga mataku enggan menutup. Alih-alih menutup, ia hanya mengeluarkan butiran air mata. Hingga saat menatap diri dari pantulan kaca, mataku terlihat sembab.Mas Adry akan menghabiskan wa
Akhirnya pagi itu Mas Adry telah melanggar janjinya. Tak akan merugikanku.Walaupun hanya kesucian bibirku yang telah ia nikmati. Aku merasa tak dirugikan sama sekali. Bagiku, ini berarti aku bukan hanya teman baginya. Mungkin namaku sudah bisa sedikit menggeser nama Audi dihatinya."Mas, bisakah aku jadi istri Mas sepenuhnya?" pintaku pada Mas Adry. Sesaat setelah pria itu menggeser posisi duduknya. Ia tampak merasa bersalah karena telah melanggar janjinya."Dek, maafin Mas! Mas khilaf," jawabnya. Lelaki itu menekuk wajah seakan telah berbuat salah."Mas ingat saat hari pernikahan kita, di depan penghulu mas berjanji akan memberikan nafkah, bukan hanya nafkah lahir. Namun juga nafkah batin."Lelaki itu lalu memijit keningnya."Mas, bahkan kau berhak mendatangi kamarku kapanpun kau mau. Selagi itu tak menyalahi syari'at," ujarku lagi.
"Terimakasih, Mas!" ujarku singkat tanpa menatapnya. Lalu segera berlalu dari pandangan Mas Brian. Karena mobil telah sampai di halaman bank.Aku harus menjaga jarak dengannya. Agar tak terjadi hal yang bisa membuatku mengkhianati Mas Adry.Setelah selesai penyetoran, pihak bank mengajak untuk kerjasama. Mereka bersedia menjemput setoran ke kantor. Sehingga aku tak perlu lagi dikawal oleh pria yang seolah hendak menebar kembali benih cinta yang pernah ia hancurkan.Boss pun pasti akan senang dengan tawaran pihak bank. Karena ia tak perlu lagi menggelontorkan anggaran untuk pengawalan.***Sore itu, Mas Adry baru pulang dari pengawalan alat berat. Aku langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Kucium takzim punggung tangannya."Mas mau mandi dulu apa istirahat dulu?""Mas mau istirahat aja, Dek!""Mau ma
Ditengah kekikukan ini, Mas Adry melingkarkan tangannya di pinggangku. Seakan akulah wanita satu-satunya yang dicintainya."Nah, gitu dong Dry." Ayah mertua mengacungkan jempol.Setelah berswafoto, keluarga mas Adry bersiap berendam di air panas yang suhunya mencapai 42 derajat celcius itu. Sedangkan Mas Adry, menghilang entah kemana."Ayo, Dev, airnya hangat lho. Berasa mandi di hotel," ajak ibu yang tengah menikmati hangatnya air panas desa Tanuhi."Gak, Bu. Devi takut, kan Devi gak bisa berenang.""Pasti karena gak ada Kak Adry. Gak bisa berenang, tapi berani naik lanting," sindir Dara. Gadis berambut sebahu itu lalu terkekeh.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran adik iparku itu. Ia tak tahu, kakaknya lah yang memaksaku menaikinya. Namun, kuakui aku menyenangi keterpaksaan itu. Seandainya Mas Adry kembali menggendongku ke pemandian air