"Apakah kau siap berbagi suami?" tanya wanita berpostur tinggi semampai dan berkulit kuning langsat itu saat kami melakukan pengajuan pernikahan ke kesatuan Mas Adry. Dia istri komandan Mas Adry.
"Mohon ijin, tidak siap, Bu!" jawabku.
Ibu komandan menghela napas seraya tersenyum tipis.
"Menjadi istri tentara harus siap berbagi suami dengan negara. Karena istri pertama seorang prajurit adalah negaranya. Kamu siap dinomor duakan?" Wanita bermata sipit itu menjelaskan.
"Siap, Bu!"
"Yakin, kamu siap?" ulangnya.
"Siap yakin, Bu!" tegasku.
Sebelum ijab kabul terucap, aku memantapkan hati bahwa aku bukanlah prioritas. Seperti istri pada umumnya.
Aku telah siap hakku sebagai seorang istri tak sepenuhnya kudapatkan. Aku harus siap ditinggal tugas meski saat sekarat, harus siap ditinggal meskipun sedang hamil.
Aku rela dinomor duakan, jika itu demi negara. Namun, tidak untuk wanita lain. Aku tak rela jika Mas Adry membagi hati juga jiwanya untuk Audi.
Akan kurebut hati yang memang menjadi hakku.
***
Sebulan sudah, aku tinggal di kota Barabai. Satu atap bersama Mas Adry. Walaupun tak tinggal di dalam markas, aku selalu mengikuti kegiatan persit (persatuan istri tentara). Entah itu olahraga main volly ketika sore hari, maupun acara posyandu di batalyon dan kegiatan lainnya.
Meskipun belum menjadi istri secara sempurna. Aku telah berusaha melayani lelaki itu selayaknya seorang istri. Kecuali yang satu itu. Mas Adry masih tak bisa melepaskan dirinya dari bayang Audi. Sehingga ia benar-benar tak ingin merugikanku terlalu banyak. Kami masih tidur secara terpisah di kamar masing-masing.
Di dinding kamar mas Adry masih terpampang fotonya dan Audi. Mereka memang tampak serasi. Mas Adry yang mengenakan seragam loreng tampak lebih berwibawa didampingi wanita mengenakan pakaian putih seragam bidan.
Sungguh pasangan yang sempurna. Aku mengakui itu.
Aku yang hanya lulusan SMA merasa rendah diri saat berhadapan dengan foto Audi. Wanita berhidung mancung itu memang jauh lebih cantik dariku. Menatap foto mereka berdua selalu berhasil membuat dada ini sesak dan pelupuk mata berkabut.
"Apakah aku memang harus merelakan Mas Adry didampingi wanita yang lebih pantas dengannya?"
Kadang pikiran itu terlintas begitu saja. Yang membuatku ingin segera pergi menjauh dari lelaki yang masih sah berstatus sebagai suamiku.
"Ya Allah, beri hamba kekuatan agar kuat menghadapi rintangan ini!"
Aku teringat saat resepsi pernikahan kami, ketika prosesi sangkur pora.
Derap langkahku maupun mas Adry selaras beriringan. Melewati barisan sangkur yang mengacung, seolah kami sedang berjalan tegak di tengah rintangan yang menghadang.
Aku tak akan menyerah!
***
"Mas, aku boleh gak pergi bekerja?" pintaku pada Mas Adry malam itu.
Tanpa sepengetahuan Mas Adry aku melamar pekerjaan di sebuah perusahaan distributor Consumer good. Kupikir dengan bekerja akan mengurangi rasa kesalku saat menatap kamar Mas Adry yang isinya hanya ada foto dia dan Audi.
Sedangkan foto resepsi kami hanya ada dalam album foto. Lagipula dengan menjadi wanita karir akan menaikkan sedikit kepercayaan diri.
"Kerja di mana?"
"Di perusahaan consumer good deket simpang empat Manjang, Mas."
"Apa kamu tak kecapean nanti?" tanyanya khawatir.
Ada rasa haru tatkala Mas Adry memamerkan rasa pedulinya kepadaku.
"Gak, kok Mas. Dulu, sebelum kita menikah aku bekerja jadi kasir di mall. Berdiri hampir selama 8 jam mengenakan sepatu hak tinggi pun aku dah biasa."
"Aku akan tetap masak buat, Mas, kok!" lanjutku.
"Baiklah jika Adek mau bekerja. Mas hanya berpesan selama Adek masih jadi istri Mas, Adek harus selalu menjaga nama baik kesatuan juga nama baik persit."
Aku mengangguk setuju.
***
Esok paginya, setelah melalui serangkaian tes. Akhirnya aku diterima bekerja sebagai kasir di perusahaan distributor barang kebutuhan pokok hingga alat elektronik. Walaupun hanya lulusan SMA, aku diterima karena memiliki pengalaman dua tahun sebagai kasir.
"Bu Devi dapat mulai bekerja hari ini!" ucap lelaki berkacamata yang menjabat sebagai kepala bagian personalia.
Aku berkenalan dengan beberapa karyawan.
"Mohon bimbingan kalian semua!" ujarku setelah menyapa mereka.
Hari pertama bekerja, semuanya berjalan mulus. Walaupun di perusahaan sebelumnya aku juga bekerja sebagai kasir. Ternyata pekerjaannya jauh berbeda.
Mulai dari jumlah uang yang kuhitung jauh lebih banyak, aku juga harus menyetor uang yang jumlahnya ratusan juta, ke bank hanya dengan menggunakan motor sendirian.
Konon, itulah yang menyebabkan kasir terdahulu mengundurkan diri. Ia terlalu takut membawa uang ratusan juta tanpa pengamanan. Ia selalu merasa terancam.
Walaupun sudah mengusulkan agar diberi pengamanan. Pimpinan perusahaan tetap enggan mengeluarkan anggaran untuk pengamanan. Alasannya karena selama ini tak pernah terjadi hal yang tidak diinginkan.
***
Pagi itu aku bangun kesiangan. Tergesa-gesa, setelah shalat subuh yang juga kesiangan. Aku segera bersiap ke kantor.
"Duh, aku gak sempat masak buat Mas Adry!"
Bukankah Mas Adry sebelumnya juga terbiasa tanpa masakanku?
"Lagipula setelah sebulan lebih memasak untuknya, menyiapkan pakaiannya, aku masih di anggap hanya sebatas sahabat saja," pikirku.
Akupun berangkat bekerja tanpa sempat pamit kepada Mas Adry yang masih berada di markas. Biasanya jika ia ada di rumah, aku izin pamit sebelum berangkat. Dan mengirimkan pesan saat ia tak ada di rumah.
"Cil Inah, di kulkas ada ayam sama bumbu bali. Nanti Acil Inah masak buat Mas Adry ya!" titahku kepada Acil Inah sebelum meninggalkan rumah.
Aku tiba di kantor tepat jam delapan kurang dua menit. Lega rasanya, walaupun hampir telat.
Aku segera menuju ruanganku membuat laporan keuangan serta menghitung uang yang masih kulakukan secara manual. Merapikan uang yang tadinya masih terlipat, agar nantinya terbaca mesin penghitung uang di bank.
Setelah selesai, aku segera menuju bank untuk penyetoran.
Mengendarai motor, aku melaju membawa uang senilai lima ratus juta. Seluruh uang kuletakkan dalam ransel berwarna hitam yang berada di antara dua kaki.
Kata pimpinan cabang, hal itu agar kita tampak biasa. Tak akan ada yang mengira kita sedang membawa uang ratusan juta
Di tengah jalan yang lumayan lengang, seorang pejalan kaki menyeberang dengan tiba-tiba.
Aku segera mengerem sekuat tenaga, kemudian membanting setir motor karena jarak yang terlalu dekat. Jika setir tak kubelokkan, niscaya motor yang kukendarai mengenai lelaki itu. Beruntung aku masih bisa mengendalikan motor agar tak terjatuh.
Saat posisi motorku tengah berhenti. Dua orang pria mengenakan pakaian serba hitam serta penutup wajah menodongkan senjata tajam.
Aku menarik lengan pria yang tengah mengarahkan belati itu hingga ia jatuh terjerembab. Lalu senjata itu sukses terlempar jauh. Tak sia-sia beladiri shorinji kempo yang selama ini kutekuni.
Sebelum laki-laki yang jatuh itu bangkit, aku segera meringkusnya lalu berteriak minta tolong kepada warga.
Beberapa warga yang berdatangan membantu mengamankan salah satu rampok yang berhasil dilumpuhkan.
Sedangkan yang lainnya berusaha mengejar rampok yang berhasil mengambil ransel. Namun, lelaki itu bak raib ditelan bumi. Kami kehilangan jejak.
Sial!
Bersambung
"Bagaimana kronologinya, Bu?" tanya bripka Dirgantara Pratama."Awalnya ada seorang pelaku yang mengecoh perhatian saya dengan pura-pura menyeberang mendadak. Kemudian datang komplotan lainnya menodongkan senjata."Aku memberikan informasi kepada polisi ganteng mirip kapten Yo di drama Descendant of the Sun itu. Dia polisi yang sedang menangani kasus perampokan uang yang menimpaku.Saat tengah memberikan keterangan, Mas Adry datang."Dek, gimana keadaanmu? Katanya rampoknya pakai sajam. Apa kamu terluka?" tanya mas Adry cemas."Aku tak apa-apa kok, Mas.""Tapi uangnya berhasil di bawa kabur," lanjutku. Aku menitikkan air mata mengingat banyaknya uang yang menjadi tanggung jawabku itu."Dek, yang penting kamu selamat. Uang bisa kita cari, nyawamu jauh lebih berharga.""Suami ibu tentar
Sekitar jam dua siang, aku selesai menyetor uang ke bank. Lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya aku selesai sebelum jam istirahat para karyawan bank.Mas Brian masih menunggu di mobil."Maaf, ya mas. Tadi antriannya panjang. Lama ya?" ujarku setelah memasuki mobil."Tak masalah," balasnya santai. "Kamu belum makan siang, kan. Kita cari rumah makan dulu. Nanti magh kamu kambuh kalo telat makan."Walau tanpa persetujuanku, Mas Brian langsung melajukan mobil mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Ia memang seringkali melakukan hal demikian kala kami masih menjalin hubungan.Yang menggelitik hatiku ketika ia masih mengingat penyakit maghku. Aku bahkan pernah diopname seminggu di rumah sakit karena magh akut.Aku menatap wajah lelaki yang memang kuakui lebih tampan dari suamiku. Sejenak aku terlena dengan perhatiannya.
Usai shalat Isya, sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.[Dev, suamimu bersama wanita lain]Deg!Jantungku berdetak lebih keras detik itu juga.Apakah itu Audi?Selagi batinku masih bertanya-tanya siapa sosok perempuan yang membuat Mas Adry tergesa-gesa menuntaskan makan malamnya. Sebuah video masuk dari nomor yang sama.Ternyata benar, wanita itu adalah wanita yang Mas Adry belum bisa melupakannya.Walaupun sejak jauh hari, beberapa hari usai acara resepsi. Mas Adry telah jujur bahwa ia masih mencintai wanita lain. Nyatanya mendapati kabar demikian, tak pelak membuat hatiku seperti dihantam sebuah batu besar. Sakit.Apakah aku punya hak untuk melabrak? Seperti di video yang selalu menjadi viral ketika seorang istri sah mendatangi suaminya tengah berkencan dengan wanita lain.
Aku menyambut kedatangan keluarga mas Adry dengan mencium takzim tangan kedua mertuaku. Kupeluk ibu mertua erat. Tak terasa cairan hangat mengalir."Devi kangen ibu," ucapku sambil terisak. Menumpahkan kesedihan dalam pelukan wanita yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri itu.Ibu, Ayah dan juga Dara takkan curiga air mata ini adalah air mata karena ucapan Mas Adry barusan.Ibu menyeka air mataku, "Duh, mantu kesayangan Ibu. Kami juga kangen sama Nak Devi."Aku mempersilakan keluarga Mas Adry duduk di ruang tamu."Devi bikinin minum dulu ya, Bu!"Dara mengikutiku, lalu sekonyong-konyong ia memasuki kamar Mas Adry tanpa izin dari yang punya kamar.Dugaanku tepat. Untunglah foto-foto terlarang itu telah dibereskan sehingga aku dan mas Adry bisa bernapas lega.***
"Mas nga-ngapain di sini?" ucapku terbata seraya menutup bagian dadaku dengan menyilangkan kedua lengan. Lalu segera beringsut mundur sedikit menjauh dari lelaki itu. Mas Adry mengucek-ngucek matanya. "Dingin banget Dek di lantai. Dah mirip musim dingin di Korea Utara. Mas liat Adek juga meringkuk kedinginan gak pake selimut. Makanya mas naik ke atas." "Mas naik ke atas mana?" pikiranku jadi travelling saat Mas Adry mengatakan demikian. Mas Adry kemudian bangkit, merubah posisi yang tadinya masih berbaring. Kini posisi kami duduk saling berhadapan di atas ranjang. "Ke atas ranjang, Dek! Memangnya Adek mau ke atas mana?" godanya. Seketika itu aku salah tingkah juga gerogi. "Dek!" goda bang Adry sambil mengedipkan matanya nakal. Lekaki itu perlahan mendekat. "Mas ka-kat
Ditengah kekikukan ini, Mas Adry melingkarkan tangannya di pinggangku. Seakan akulah wanita satu-satunya yang dicintainya."Nah, gitu dong Dry." Ayah mertua mengacungkan jempol.Setelah berswafoto, keluarga mas Adry bersiap berendam di air panas yang suhunya mencapai 42 derajat celcius itu. Sedangkan Mas Adry, menghilang entah kemana."Ayo, Dev, airnya hangat lho. Berasa mandi di hotel," ajak ibu yang tengah menikmati hangatnya air panas desa Tanuhi."Gak, Bu. Devi takut, kan Devi gak bisa berenang.""Pasti karena gak ada Kak Adry. Gak bisa berenang, tapi berani naik lanting," sindir Dara. Gadis berambut sebahu itu lalu terkekeh.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran adik iparku itu. Ia tak tahu, kakaknya lah yang memaksaku menaikinya. Namun, kuakui aku menyenangi keterpaksaan itu. Seandainya Mas Adry kembali menggendongku ke pemandian air
"Terimakasih, Mas!" ujarku singkat tanpa menatapnya. Lalu segera berlalu dari pandangan Mas Brian. Karena mobil telah sampai di halaman bank.Aku harus menjaga jarak dengannya. Agar tak terjadi hal yang bisa membuatku mengkhianati Mas Adry.Setelah selesai penyetoran, pihak bank mengajak untuk kerjasama. Mereka bersedia menjemput setoran ke kantor. Sehingga aku tak perlu lagi dikawal oleh pria yang seolah hendak menebar kembali benih cinta yang pernah ia hancurkan.Boss pun pasti akan senang dengan tawaran pihak bank. Karena ia tak perlu lagi menggelontorkan anggaran untuk pengawalan.***Sore itu, Mas Adry baru pulang dari pengawalan alat berat. Aku langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Kucium takzim punggung tangannya."Mas mau mandi dulu apa istirahat dulu?""Mas mau istirahat aja, Dek!""Mau ma
Akhirnya pagi itu Mas Adry telah melanggar janjinya. Tak akan merugikanku.Walaupun hanya kesucian bibirku yang telah ia nikmati. Aku merasa tak dirugikan sama sekali. Bagiku, ini berarti aku bukan hanya teman baginya. Mungkin namaku sudah bisa sedikit menggeser nama Audi dihatinya."Mas, bisakah aku jadi istri Mas sepenuhnya?" pintaku pada Mas Adry. Sesaat setelah pria itu menggeser posisi duduknya. Ia tampak merasa bersalah karena telah melanggar janjinya."Dek, maafin Mas! Mas khilaf," jawabnya. Lelaki itu menekuk wajah seakan telah berbuat salah."Mas ingat saat hari pernikahan kita, di depan penghulu mas berjanji akan memberikan nafkah, bukan hanya nafkah lahir. Namun juga nafkah batin."Lelaki itu lalu memijit keningnya."Mas, bahkan kau berhak mendatangi kamarku kapanpun kau mau. Selagi itu tak menyalahi syari'at," ujarku lagi.
"Mungkin Mas harus berangkat tugas sebelum anak kita lahir!" Lirih Mas Adry, lalu menatapku lekat."Berangkatlah Mas, Aku dan anak kita akan selalu menunggumu disini." Aku membesarkan hati Mas Adry. Sekiranya boleh ikut menemaninya ke wilayah Republik Indonesia bagian paling timur itu, niscaya aku akan turut menemaninya. Walaupun harus ikut merasakan bagaimana tinggal di wilayah yang di anak tirikan pemerintah itu. Juga daerah yang sering terjadi konflik dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).Akhirnya istri pertama Mas Adry benar-benar menunjukkan kuasanya. Ya, seperti yang dikatakan istri komandan batalyon Mas Adry saat kami pengajuan nikah dahulu. Negara adalah istri pertama prajurit. Tentu saja ia juga yang utama. Kapanpun istri pertamanya memanggil, mereka harus selalu siap. Walaupun harus meninggalkan keluarga. Tak terkecuali istrinya yang tengah mengandung.Tak ingin merusak suasana ulang tahunku, rasa sedih ini ma
"Dede Utun bobo juga ya! Papa Mama mau bobo ya, De!"Untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki mas Adry seutuhnya. Walaupun demikian, untuk beberapa hal, masih terasa ada yang mengganjal."Mas, gak ngerasa rugi milih aku dibanding Audi? Mas udah keluar jutaan membiayai Audi.""Awalnya mas juga merasa demikian. Setelah mas pikir lagi justru kalo Mas pilih Audi malah rugi.""Kok?""Pilih Adek mas malah untung, dapat bonus Dede Utun!" Mas Adry mengusap pucuk kepalaku. "Maafin kesalahan Mas ya Dek. Dah bikin Adek menderita!""Devi dah maafin Mas bahkan sebelum Mas minta maaf.""Kadang Mas berpikir, Mas seperti Hammurabi. Adek tau kenapa Mas memilih Adek untuk jadi istri Mas?""Kata Mas kan karena aku orang baik?""Sebenarnya, dulu Audi selingkuh dengan Brian saat mas sekarat karena kecelakaan i
Dek, apa kamu selingkuh dengan laki-laki lain?" tuding Mas Adry."Mas, aku tak pernah selingkuh dengan siapapun. Aku berani bersumpah!""Maaf Bu Devi, Pak Adryan. Apa kalian pernah melakukan foreplay?""Tidak pernah, Bu," sahut kami serempak."Walaupun jarang terjadi, kasus ini sebelumnya pernah saya temui pada sepasang remaja yang berpacaran melakukan foreplay saja. Tapi si cewe akhirnya hamil walaupun selaput daranya masih utuh," jelas Bu Dokter.Mendengar penjelasan ibu dokter tentang muda-mudi itu tetiba, aku merasa miris. Aku juga pernah pacaran. Untungnya tak pernah melakukan hubungan itu. Ternyata memang benar apa kata Kak Rose. Sebaiknya jangan pacaran.Atas saran dokter, akhirnya aku setuju untuk melakukan pemeriksaan selaput dara.Beginikah rasanya tidak dipercayai. Sama seperti Mas Adry yang telah bersumpah ba
Adek ingin bukti yang bagaimana?" Pertanyaan dari mas Adry membuyarkan lamunanku. Astaghfirullah! Bisa-bisanya pikiranku malah berpikir yang enak-enak dengan mas Adry. Apakah aku perlu di ruqyah. "Adek mau bukti yang bagaimana?" tanya Mas Adry lagi dari jarak yang beberapa langkah dariku. Aku menepis semua pikiran tentang yang enak-enak. Untung saja Mas Adry tak tahu aku sedang membayangkan tentang ... Untung saja Mas Adry telah merugikanku hanya dalam khayalanku saja. Harusnya aku lega. "Bolehkah ..." "TIdak boleh, tidak boleh!" potongku segera. Takut Mas Adry menginginkan hal yang enak. "Mas belum selesai ngomong," protesnya. "Mas ingin minta bantuanmu untuk menghubungi dokter kandungan!" "Buat apa?" tanyaku. "Untuk membuktikan bahwa Mas gak pernah mengha
Malam itu selepas shalat isya, iseng kubuka pc Mas Adry. Melihat-lihat desain font yang ia pasarkan melalui kreatif market. Hobi yang bisa menghasilkan rupiah bahkan lebih banyak dari gajinya sebagai prajurit.Devi Nirmala, namaku ia tulis menggunakan beberapa font karyanya. Entah mengapa ia menggunakan namaku. Namun, ternyata bukan hanya namaku. Ada nama wanita lain juga disana. Siapa lagi kalau bukan Audi.Sofia Audi.Dadaku kembali bergemuruh, karena teringat kembali kata-kata wanita itu.Masih terngiang-ngiang ditelinga ketika Audi mengintimidasi dengan ucapannya saat kejadian di kafe."Mbak Devi percaya, aku dan bang Adry gak pernah ngapa-ngapain. Padahal dialah yang telah membiayai semua biaya kuliahku?" ujar wanita yang mengenakan pakaian branded itu. Dari penampilannya, tak akan ada yang menduga tentang keadaan ekonomi keluarganya.W
Keesokan harinya, Mas Adry bersama prajurit lainnya pergi UST (uji satuan tempur) ke hutan.Ia pamit hanya dari balik pintu. Suaranya terdengar pelan, tetapi masih bisa kudengar. Sebelum subuh, ia sudah meninggalkan rumah. Mungkin ia berpikir, saat ia berangkat, aku masih terlelap. Padahal, semalaman itu. Aku terus memikirkan kehamilan Audi.Apakah itu benar? Jika itu benar, apakah itu anak Mas Adry? Jika itu anak Mas Adry, kapan mereka melakukan hal yang dilarang agama itu? Bagaimana ia akan bertanggung jawab nanti, sedangkan seorang prajurit tak boleh mempunyai istri sah lebih dari satu? Apakah aku harus merelakan Mas Adry demi anak yang ada di kandungan Audi.Pertanyaan itu terus berputar-putar dikepalaku sehingga mataku enggan menutup. Alih-alih menutup, ia hanya mengeluarkan butiran air mata. Hingga saat menatap diri dari pantulan kaca, mataku terlihat sembab.Mas Adry akan menghabiskan wa
Akhirnya pagi itu Mas Adry telah melanggar janjinya. Tak akan merugikanku.Walaupun hanya kesucian bibirku yang telah ia nikmati. Aku merasa tak dirugikan sama sekali. Bagiku, ini berarti aku bukan hanya teman baginya. Mungkin namaku sudah bisa sedikit menggeser nama Audi dihatinya."Mas, bisakah aku jadi istri Mas sepenuhnya?" pintaku pada Mas Adry. Sesaat setelah pria itu menggeser posisi duduknya. Ia tampak merasa bersalah karena telah melanggar janjinya."Dek, maafin Mas! Mas khilaf," jawabnya. Lelaki itu menekuk wajah seakan telah berbuat salah."Mas ingat saat hari pernikahan kita, di depan penghulu mas berjanji akan memberikan nafkah, bukan hanya nafkah lahir. Namun juga nafkah batin."Lelaki itu lalu memijit keningnya."Mas, bahkan kau berhak mendatangi kamarku kapanpun kau mau. Selagi itu tak menyalahi syari'at," ujarku lagi.
"Terimakasih, Mas!" ujarku singkat tanpa menatapnya. Lalu segera berlalu dari pandangan Mas Brian. Karena mobil telah sampai di halaman bank.Aku harus menjaga jarak dengannya. Agar tak terjadi hal yang bisa membuatku mengkhianati Mas Adry.Setelah selesai penyetoran, pihak bank mengajak untuk kerjasama. Mereka bersedia menjemput setoran ke kantor. Sehingga aku tak perlu lagi dikawal oleh pria yang seolah hendak menebar kembali benih cinta yang pernah ia hancurkan.Boss pun pasti akan senang dengan tawaran pihak bank. Karena ia tak perlu lagi menggelontorkan anggaran untuk pengawalan.***Sore itu, Mas Adry baru pulang dari pengawalan alat berat. Aku langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Kucium takzim punggung tangannya."Mas mau mandi dulu apa istirahat dulu?""Mas mau istirahat aja, Dek!""Mau ma
Ditengah kekikukan ini, Mas Adry melingkarkan tangannya di pinggangku. Seakan akulah wanita satu-satunya yang dicintainya."Nah, gitu dong Dry." Ayah mertua mengacungkan jempol.Setelah berswafoto, keluarga mas Adry bersiap berendam di air panas yang suhunya mencapai 42 derajat celcius itu. Sedangkan Mas Adry, menghilang entah kemana."Ayo, Dev, airnya hangat lho. Berasa mandi di hotel," ajak ibu yang tengah menikmati hangatnya air panas desa Tanuhi."Gak, Bu. Devi takut, kan Devi gak bisa berenang.""Pasti karena gak ada Kak Adry. Gak bisa berenang, tapi berani naik lanting," sindir Dara. Gadis berambut sebahu itu lalu terkekeh.Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran adik iparku itu. Ia tak tahu, kakaknya lah yang memaksaku menaikinya. Namun, kuakui aku menyenangi keterpaksaan itu. Seandainya Mas Adry kembali menggendongku ke pemandian air