Ia tak tahu harus melakukan apa lagi, semua yang dia pikirkan tak sesuai dengan kenyataan. Ia berpikir akan dengan mudah akan melepaskan Ferdi, dan dia bisa hidup sendiri tanpa menyulitkan orang-orang yang dicintainya.Tapi sekarang kenapa pria itu tiba-tiba saja berubah? Kenapa dia terlihat seperti sangat menghawatirkannya? Boleh dirinya senang, tapi ia juga takut jika itu hannyalah rasa kasihan saja. Mana mungkin hati yang sudah begitu keras bisa mencair sekarang, mungkin itu hanya rasa kasihan saja yang ia berikan pada wanita yang sekarat ini.Ferdi yang tadi pergi dengan marah, sampai sekarang belum kembali. Hari sudah malam, ia jadi menghawatirkan suaminya itu. Dia pergi dalam keadaan marah, Bella tak ingin terjadi sesuatu pada pria itu.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Bella dari ponselnya. Ia bernafas lega melihat Ferdi telah kembali. Saat ia berdiri ingin menyambut kepulangan suaminya, entah mengapa ia merasa kepalanya pusing. “Mas,” Bella mendekati sang suami, “kamu
Seorang pria katanya berhak mengagumi kecantikan wanita manapun. Tapi kenapa saat para wanita mengagumi pria lain dia merasa cemburu? Apakah itu adil?Sama dengan Zaki dan Intan saat ini. Dulu saat Zaki berdekatan dengan Najwa Intan marah, tapi pria itu selalu berkata mereka hanya sepupu dan itu dianggap hal yang wajar padahal mereka tak punya hubungan darah sedikit pun. Tapi lihatlah sekarang, saat Intan hanya menyapa mantan kekasihnya pria itu sudah terbakar api cemburu. Apa itu adil?“Wajahmu jelek, mas. Gak usah ditekuk begitu,” canda Intan menggoda suaminya.“Salah kamu sih, ngapain mengobrol dengan mantan pacar mu itu?” Intan terkekeh geli mendengar nada merajuk pria kesayangannya ini.“Ternyata kamu bisa cemburu juga ya mas, jadi senang aku.” “Loh, kok senang?” tanya Zaki tak terima. “Iya lah. Cemburu kan tandanya cinta ... Jadi kalau kamu sering cemburu berarti cintamu sangat besar padaku.”Zaki menatap istrinya tak suka, “bilang saja kamu ingin bertemu selalu dengan mantan
“mas kamu datang?” Bella bertanya dengan suara seraknya. Wanita pucat itu hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Akhir-akhir ini kesehatannya sering kali drop, kanker payudara yang dideritanya semakin parah membuat ia begitu menyedihkan.Pengobatan yang dilakukan ini tak membuat dirinya langsung sembuh, tapi malah memiliki perjuangan yang begitu meyakinkan. Salah satunya ia harus tinggal di rumah sakit untuk dirawat setiap hari. Jika dia bisa memilih, ia akan memilih di rumah saja, ia tidak akan peduli hidup atau mati asalkan bisa selalu bersama suaminya.Ferdi duduk di kursi sebelah tempat tidur Bella, “tentu saja aku datang ... Bagaimana keadaan mu sekarang,” Bella tertunduk diam, ia malu dengan dirinya sendiri. Wanita penyakitan, ia merasa tak percaya diri sekarang. Apalagi didepannya pria yang dicintainya, pria yang sebentar lagi mungkin saja akan menyerah melihat kondisinya yang semakin memburuk.“Tak ada yang lebih baik ... Semakin hari penyakit ini semakin menyiksa ku, ra
Ferdi kembali memasuki kamar inap istrinya. Ia menatap wanita yang sedang sibuk dengan bukunya itu tanpa mengacuhkan keberadaannya.“Sudah minum obat, dek?”Bella mendongak, ia tersenyum manis lalu menggeleng pelan. Ferdi berdecak kesal, kenapa Wanitanya ini susah sekali dibilang.“Kamu itu bandel ya, sudah dibilang jangan sampai lupa minum obat. Gimana bisa sembuh kalau begini terus,” Ferdi terus saja berceloteh, ia tak sadar wanita didepannya sudah menahan tawa melihat bertapa cerewetnya dia.“Aku pasti sembuh kok mas. Asalkan ada kamu selalu di sisiku,”DegFerdi bergeming, ia menatap dalam manik mata istrinya. Disana ia bisa melihat bertapa banyak kesedihan yang wanita ini sembunyikan darinya, orang yang selalu ingin terlihat baik-baik saja didepannya tapi ternyata juga ikut terluka karena keegoisan.“Kenapa ngomong seperti itu?” Bella tak menjawab, ia memilih membuang pandangannya. Ia merasa enggan untuk berucap.“Minumlah obat ini, setelah itu istirahat. Jangan terlalu lama memb
Bella merasa badannya semakin ringan. Ia semakin kurus hari-ke hari. Pengobatan yang dilakukan belum ada kemajuan, sedangkan dirinya bersikeras untuk tidak melakukan operasi.Jika di operasi, ia tidak hanya kehilangan bentuk indah dari payudaranya, tapi ia juga akan hidup dalam rasa ketidak percayaan diri. Dan dirinya tidak akan pernah sanggup.“Apa hari ini aku akan kembali melakukan pemeriksaan?” Bella bertanya dengan lemah.“Iya, kenapa?” Ingin rasanya ia mengatakan lelah untuk melakukan semua ini, hari-hari berlalu tanpa hasil yang pasti. Bella tahu semakin hari umurnya akan semakin berkurang, tapi ini lebih melelahkan.“Apa semua ini tidak bisa dihentikan saja? Aku lelah,”“Tidak!” Ferdi menarik nafas panjang, “apa kamu tidak bisa berjuang sedikit saja. Kenapa begitu mudah menyerah.”Ferdi mengusap wajahnya frustasi. Sekarang ia tidak tahu lagi harus melakukan apa, wanita ini begitu keras kepala, dan selalu saja memikirkan dirinya sendiri tanpa merasakan perasaan orang lain.“Se
“Mas Ferdi gak marah?” Bella bertanya dengan polosnya.Ferdi ikut terdiam mendengar perkataan Bella. Benar, kenapa ia tak marah? Bukankah ia paling tak suka jika ada seseorang menguntitnya. Tapi pengakuan cinta Bella membuat ia lupa dengan semuanya, bukannya marah ia malah tersenyum bahagia.“Aku juga mencintaimu. Terima kasih sudah mencintai ku begitu gila,” ucap Ferdi serak. Bella menatap Ferdi tak percaya, tidak marah? Sangat luar biasa. Bella menggigit bibirnya malu, ia sudah berteriak dengan keras mengatakan ia gila karena mencintai Ferdi. Dan balasan dari Ferdi membuat dirinya semakin menjadi malu.“Apa kamu benar-benar mencintai ku, mas? Atau ini hanya rasa kasihan saja? Karena melihat ku sekarat seperti sekarang.” Akhirnya pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya selama ini ia sampaikan.Inilah titik terakhirnya. Jika Ferdi benar-benar menginginkan keberadaannya, ia akan berjuang. Tapi jika tidak, ia akan menyerah, karena baginya tak ada guna lagi hidup jika harus menahan
Intan menatap lembaran kertas putih dengan tak bersemangat. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan tak ada kemajuan membuat semangat ia bersurut mundur. Akankah sesulit ini?Hari ini benar-benar banyak yang membuat mood nya ambruk. Setelah kunjungan Najwa, dirinya benar-benar merasa tak puas hati. “Jangan berkecil hati, aku yakin Allah akan memberikan kebaikan untuk kita. Dan tentang anak, mas gak buru-buru. Jika Allah tidak menghendaki, mas akan ikhlas.”Intan sudah berusaha menahan air matanya, tapi mendengar perkataan suaminya yang begitu berlapang dada membuat ia terharu. Air mata tak bisa ia tahan, ia terisak dalam pelukan suaminya.“Aku gak sempurna, mas. Maaf,”“Kamu bukannya tak sempurna, sayang. Tapi akulah yang membuat mu menjadi tak sempurna. Akulah yang pantas meminta maaf padamu,”Tak ingin melihat istrinya larut dalam kesedihan, Zaki berusaha menghibur. Tapi sebenarnya ia tak menyadari bahwa hal yang membuat istrinya sedih adalah karena orang lain, dan ia tidak berani untuk
“Jadi kamu tidak benar-benar mencintai ku?” Intan yang sedang meletakkan kopernya di sebelah lemari, menoleh dengan bingung. Suaminya kenapa? “Maksud mas Zaki apa?” “Tadi kamu bilang di meja makan tidak akan cinta mati padaku, apa kamu ada niat untuk berpisah?” Zaki bertanya dengan marah, meskipun kemarahan itu tetap ia sembunyikan, tapi dalam ucapannya jelas tersirat ketidak puaskan. Intan yang mendengar itu menjadi tertawa lepas, “salah sendiri, kenapa mencoba memprovokasi aku pada bunda. Biar dimarahi gitu?” “Aku berkata yang sebenarnya. Akhir-akhir ini kamu memang sangat sulit untuk makan.” Zaki berubah semakin garang, Intan hanya bisa mengerucut bibirnya. “Aku tidak makan karena tak berselera,” Intan malas untuk membahas hal ini, “apa kamu barah aku berkata seperti itu tadi?” Zaki berdeham, itu tandanya ia memang sedang marah. Intan melihat hal itu mengambil inisiatif untuk memeluk tubuh suaminya dari belakang. “Maaf, tadi aku hanya bercanda.” “Tapi setelah melihat kamu p