Helios baru selesai sarapan pagi. Dia bersiap akan ke akademi hari itu. Herman sudah lebih dulu berangkat. Hari itu dia ada terapi dan akan mampir ke kantor sebentar. Helios hampir masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Violetta datang mendekat ke arahnya. Helios urung masuk ke dalam mobil. Dia menunggu Violetta."Hai ..." sapa gadis itu. Tatapannya redup. Helios langsung ingat kejadian semalam. Violetta pulang dengan lesu, seperti sedang marahan dengan Ferry."Are you okay?" tanya Helios."Absolutely not." Violetta menjawab dengan suara tak bersemangat."Ada masalah dengan Ferry?" tanya Helios lagi."Hm-mm." Violetta mengangguk. "Boleh aku bicara denganmu?" "Aku harus berangkat. Aku tidak boleh terlambat." Helios menolak karena harus bergegas ke akademi."Sambil kamu jalan ke akademi. I really need someone to listen. Aku mau meledak," kata Violetta.Helios menatap Violetta lekat-lekat. Wajahnya gadis itu lesu, tidak ceria. Dia hanya mengenakan celana pendek jeans biru terang dan kaos
Pertanyaan Melisa membuat Tony sekian kali kesal dengan gadis itu."Mel, bisa kamu duduk dan tidak usah bertanya yang ga perlu?" ucqp Tony pelan di dekat telinga Melisa."Sayang, aku juga mau kenal teman-teman kamu. Apa itu salah?" Melisa tidak mau mendengar ucapan Tony."Kalau saja aku jomlo, aku pasti mau jadi pacar Helios." Violetta bicara sambil melihat pada Melisa.Melisa menoleh. Violetta sangat cantik. Dengan penampilan apa adanya, dia tetap enak dipandang."Jadi bukan, ya?" Melisa menegaskan."Aku sepupu Helios." Violetta menambahkan informasi."Oh, begitu." Senyum Melisa mengembang.Helios merasa tidak nyaman dengan kedatangan Melisa. Dia tahu seperti apa gadis itu. Keras dengan maunya dan memang tidak mudah mau menerima pendapat orang. Dia akan membujuk hingga yang dia inginkan tercapai.Pesanan mereka datang. Violetta langsung menyerbu makanan yang terhidang di depannya. Gadis itu tampak benar-benar kelaparan. Sedang Melisa, terpaksa menunggu karena Tony tidak menduga dia m
Donita menarik napas dalam. Tak dia kira, secepat itu Victor menyadari kalau ada rasa yang tumbuh di hati Donita untuk Helios. "Vic, aku baru menyadarinya. Tidak ada gunanya aku menghindari kamu. Kamu benar," kata Donita, lebih pelan tapi tetap tegas. "Jadi kamu akan mengejar cinta Tuan Mudaku?" tanya Victor dengan dada berdetak keras. "Apa itu salah?" tanya Donita. "Bagaimana bisa aku mengatakan salah? Tapi kamu tahu aku terus menunggu kamu-" "Jangan tunggu aku, Vic. Kamu akan lelah. Di sekitarmu banyak yang bisa memberi cinta terbaik. Bukan aku," sela Donita. "Kalau aku bisa, dari dulu aku akan lakukan," sahut Victor. "Kenapa harus Tuan Mudaku?" Donita terdiam. Situasi mereka menjadi sangat tidak nyaman. "Aku tidak akan lupa, kamu berulang kali bilang, pria itu harus yang istimewa, Tuhan memberi tanda tertentu, jadi aku tahu, dia memang pria buat kamu. Apa itu Helios?" Victor masih memandang Donita lekat-lekat. Pertanyaan itu seperti membangunkan Donita dari tidur nyenyak h
"Yaa! Oke. Jam sepuluh? Deal!" Violetta begitu bersemangat menerima telepon dari Melisa.Hati Helios yang tidak tenang. Ini pertanda buruk baginya.Violetta berdiri di depan Helios sambil melepas senyum lebar."Kakak sepupu yang baik hati, makasih ya, kamu hadir di hidupku." Violetta memegang kedua pipi Helios.Helios benar-benar kaget dengan sikap Violetta yang tak bisa ditebak itu. Spontanitasnya muncul, membuang jauh-jauh sisi jutek dan cuek dari dirinya."Ikut denganmu ke akademi, aku jadi punya teman baru yang menyenangkan." Violetta melanjutkan."Melisa?" ucap Helios. Seolah-olah menebak, tapi dia yakin sekali. "Yup. Melisa. Kami mau hang out hari ini. Bye!" Violetta melepas tangannya dari pipi Helios, lalu bergegas pulang meninggalkan Helios yang bengong, masih heran dengan tingkah gadis itu."Tidak. Kenapa harus Melisa? Carilah teman, tapi jangan dia," kata Helios.Menyesal rasanya, dia mengiyakan Violetta ikut dengannya ke akademi. Kenapa pas hari itu Melisa juga datang men
Bukan Erma tidak tahu kalau Hari jatuh cinta padanya. Tetapi Erma sama sekali tidak ada rasa dengan pria manis itu. Bagaimana mungkin Erma akan memaksa diri menerima Hari?Sisi lain, Hari hanya seorang pelayan dan sopir. Nasib Hari tidak berbeda dengan Erma. Lalu, masa depan mereka nanti akan jadi apa? Hidup sendiri saja sudah pas-pasan. Kalau menikah dan punya anak? Itu yang Erma pikirkan. Dia harus memperbaiki nasib, memperbaiki keturunannya agar jangan semalang dirinya "Aku mau lanjut kerja." Erma berdiri. "Makasih ya, buat rujaknya. Aku simpan dulu. Nanti jam makan siang aja aku makan.""Oh, oke." Hari tersenyum sedikit kecut. Dia membayangkan Erma akan tersenyum senang dengan mata berbinar mendapat oleh-oleh dari Hari. Ternyata Erma seperti tanpa ekspresi menerimanya dan tidak ingin menyentuhnya. Masih panjang perjuangan Hari merebut hati Erma."Nanti kalau mau makan sama-sama, ayo. Biar lebih seru," lanjut Erma."Ya, oke." Senyum Hari melebar. Ah, kalimat itu sedikit memberi
"Deal? Ini hari terakhir aku kelas kepribadian?" Helios mengulurkan tangan pada Donita yang berdiri di depannya.Donita tersenyum lebar. Mata indah wanita itu lurus tertuju pada Helios. Dia pun menerima jabatan tangan Helios."Yup. Kamu sudah mulai terbiasa menjadi Tuan Muda. Kurasa kamu lebih siap menghadapi siapapun," kata Donita."Kalau begitu kita rayakan hari ini, boleh?" Helios punya rencana. Sudah lama ingin dia lakukan, dan sepertinya hari itu adalah saat yang tepat."Merayakan apa? Ini hanya tuntas kelas khusus, bukan kelas utama kamu, Helios." Donita bertanya-tanya apa yang Helios maksud."Sebenarnya ini hari ulang tahun ibuku. Lama aku ingin pergi ke tempat idaman ibu, untuk merayakannya." Helios menjawab dengan tatapan yang sedikit sendu."Really? Kamu dekat sekali dengan ibumu?" Donita makin lekat menatap pria tampan yang mempesonanya itu."Karena salah satu impian ibu, mengajakku ke Monas, entah saat dia ulang tahun atau aku yang ulang tahun," jawab Helios."Ooh?" Ada ra
Victor harus menahan diri agar tidak meledak. Dia menuju ke dalam mobilnya dan dengan cepat meninggalkan mansion. Di atas tol, dengan laju kendaraan yang lumayan kencang, Victor berteriak sekeras-kerasnya melepas rasa berat yang menekan di dadanya."Kenapa harus Tuan Muda, Doni! Kenapa harus dia??!!" Berulang kali Victor berteriak dengan kesal dan sedih menyatu di hati.Jika Donita jatuh cinta pada pria lain, yang tidak bersentuhan dengan hidup Victor, mungkin akan lebih rela melepasnya. Tetapi dengan Helios? Bagaimana bisa?Apalagi yang Victor lihat, Helios makin membuka diri untuk mentor cantik itu. Bukan tidak mungkin, Helios pun luluh dan punya rasa yang sama pada Donita. Jika benar itu terjadi, pasti situasi dia dan Helios tidak akan baik-baik saja. Sedangkan selama Helios menjadi anak Herman, Victor akan terus berada di dekat Helios. "Ini benar-benar di luar pikiranku. Aku melarang Helios, Donita pasti mengira aku cemburu." Victor masih bergulat di dalam hati. "Tapi, aku tid
Helios kaget dengan panggilan keras Melisa. Spontan dia juga menoleh karena nama itu sudah melekat pada dirinya sepanjang hidup. "Hai!" Melisa makin mendekat. Helios segera menata hati dan reaksinya. Dia tidak boleh salah bersikap dan juga menunjukkan ekspresi. "Mencari siapa?" tanya Helios. Dia pura-pura tidak merasa bahwa panggilan itu untuk dirinya. Melisa telah berdiri di hadapan Helios tidak sampai dua meter. Sementara Violetta ada di belakang Melisa dan semakin mendekat. "Sorry! Aku belum terbiasa memanggil kamu ... Helios, ya Helios. Soalnya kamu mirip sekali sama Ardi mantan aku," kata Melisa sambil tersenyum lebar. Helios mengurai senyum tipis di ujung bibir. "Ya, bisa maklum. Tapi aku Helios. Jangan salah lagi," ucap Helios lalu dia berjalan lagi menuju rumah besar. "Hel, kami jadi main ke rumah kamu. Kalau Om Her ga keberatan. Takutnya dia terganggu," kata Violetta. "Hm, di teras samping saja. Tapi aku akan lihat papa lebih dulu," uijar Helios. "Oke, teras samping
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s