"Apa katamu, dia istrinya Caka?" seru Firina dengan nada yang tak percaya. Myra pun hanya bisa menggangguk. Sekarang pandangan semua orang petuju ke arah Zava. Tak dipungkiri saat ini Zava bagai hidangan lezat yang siap disantap oleh semua orang yang menatapnya. Tatapan itu adalah tatapan yang penuh dengan hinaan dan ejekan. Bagaimana bisa Caka menikahi gadis dekil dan kampungan seperti itu?Meski Caka juga lumpuh dan harus duduk di kursi roda tetapi dia tetap saja tuan muda kaya raya. Harusnya dia bisa menikahi wanita yang cantik dan juga modis. Paling tidak istrinya tidak memalukan untuk dipamerkan kepada semua orang. Firina bangkit dari duduknya dan menghampiri Zava. Mengamati wanita itu sekali lagi. Jantung Zava benar-benar berdegup kencang, membuatnya gugup. Ia tahu ia tak terlalu cantik, ia tak pandai merawat diri sehingga tak sebanding dengan Cakara. Tapi bagaimana pun ia sudah menjadi istri sah Caka. Ia juga sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk pria itu.
Suasana ruangan itu masih terasa janggal. Tak ada yang bersuara, hanya terdengar Hela nafas beberapa orang. Awalnya mereka pikir, Caka akan murka melihat kondisi istrinya. Tapi ternyata, Caka justru menyuruh istrinya ke kamar dan tak keluar sampai pagi. Bukankah itu artinya wanita itu sedang dihukum? Kalau begitu mungkin Caka juga tak terlalu menyukainya. Jika pun Caka menikahinya, mungkin ada alasan tertentu. "Ini acara keluarga, karena semua sudah berkumpul sebaiknya kita mulai saja. Oke!" ujar Firina sembari menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. "Caka, tadinya Bibi menyiapkann hadiah untuk pernikahanmu, tapi setelah melihat istrimu sepertinya hadiah itu tidak cocok!" ujar Susan menghampiri. "Aku juga membawa hadiah pernikahan, tapi bagaimana ya ... aku tidak yakin istrimu bisa menggunakannya!" ujar Michelle. "Tak perlu repot. Dia tidak kekurangan apa pun." "Tapi ...." "Semuanya sudah berkumpul?" tanya Caka memotong ucapan Michelle. "Aku memang tidak membuat
"Sangat berbahaya?" tanya Caka mengulang ucapan Arthur. "Negara bagian Yuslovya merupakan tempat seni ilmu bela diri timur. Di sana adalah tempatnya para Master ilmu bela diri, tidak sembarang orang dari negeri luar bisa memasuki negara itu!" jelas Arthur. "Itu benar, Tuan Muda!" sahut Mac. "Tapi aku harus pergi." "Tuan Muda ...." "Arthur, selama aku pergi kau harus bisa mengurus semuanya di sini!" "Tuan ... tidak ingin mengajak saya?" seperti ada nada kecewa dalam nada suaranya. "Aku membutuhkanmu di sini." "Tapi, Tuan Muda _" "Aku akan pergi bersama Mac, hanya bersama Mac!" tegas Caka. Baik Mac mau pun Arthur menatapnya seketika. Caka melirik Mac. "Apakah kau takut, Mac. Jika kau takut, aku akan pergi sendiri!" tekadnya sudah bulat, tak ada yang bisa mengubah keputusannya. "Saya tidak pernah takut, Tuan. Saya hanya mengkhawatirkan Anda." "Mungkin kalian lupa, aku adalah Jenderal Raymond Harrits. Aku telah menghadapi bahaya di sepanjang jalan menjadi p
Caka terpaku, ia masih tak tahu harus berkata apa atau berbuat apa? Kenapa ia harus meminta wanita itu mendekat? Setelah berfirki beberapa saat Caka juga tak kunjung menemukan jawaban dari perbuatannya. Akhirnya ia ingat dengan sesuatu. Ia membuka laci lalu mengeluarkan sebuah kotak, i. membuka kotak itu. Di dalam kotak itu ada sebuah cincin yang diwariskan turun-temurun di keluarga Madaharsa. Beberapa hari setelah Gradi meninggal, Arthur menyerahkan cincin itu padanya. Katanya, cincin itu hanya boleh diwariskan kepada kepala keluarga Madaharsa. Caka tak tahu apakah ini keputusan yang tepat? Tapi selama ia pergi ia tahu keluarganya pasti akan menindas Zava. Hanya cincin ini yang bisa membuat wanita itu tetap berada di rumah ini. Ia masih membutuhkan Zava untuk tetap berada di rumah ini. Caka menarik telapak tangan kiri Zava lalu memakaikan cincin itu ke jari manisnya. "Tuan, ini _" "Jangan GR, aku hanya meminjamkannya." ucap Caka memotong kalimat wanita itu. "Ini adal
"Kita tidak akan bisa lari!" umpat Mac dengan ediikit putus asa. Jika mereka keluar dari area hutan, maka jejak mereka akan mudah ditemukan oleh helikopter di atas. Sementara 3 prajurit perbatasan itu tengah berlari ke arah mereka. "Mereka membawa senjata api, sepertinya kita memang hanya bisa sembunyi untuk sementara. Ayo!" ujar Caka yang mengajak berlari. "Shit!" umpat Mac mengikuti. "Berhenti kalian!" seru salah satu dari mereka. Lalu satu letusan tembakan menggema. Namun untung saja sama sekali tak mengenai keduanya. "Mac, kita harus mencapai sungai secepatnya!" perintah Caka. Mac mengerti apa yang diinginkan oleh sang Tuan. Memang saat ini sungai adalah tempat yang paling aman bagi mereka untuk berlindung. Mereka pun mempercepat laju larinya. "Ayo, cepat kota tangkap mereka! Jangan sampai terbunuh, cukup lumpuhkan saja!" perintah salah satu dari prajurit itu. Tentu saja, jika keduanya adalah mata-mata. Mereka tidak akan berguna jika sampai terbunuh. Me
Caka dan Mac saling melirik, mereka seperti sedang menyusun rencana dalam diam. Hanya isyarat mata dan tangan yang berbahasa. Mereka tak ingin mengundang perhatian untuk kedua musuh di beda tempat itu. Akhirnya Mac memutuskan untuk menggunakan kekuatannya, ia memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Mencoba berkomunikasi dengan binatang liar itu. Sementara Caka mulai menarik belati di pinggangnya. Mac tidak berhasil berkomunikasi, harimau buas itu tetap menatap mereka dengan lapar dan siap menyerang. Mac membuka mata, lalu menggerakkan kedua tangan di di depan. Di antara kedua tangannya muncul cahaya berwarna biru. Ketika harimau itu melangkah dan siap melompat, Mac menghentakkan tangan ke arah harimau itu. Membuatnya terpental mundur namun tak sampai membuatnya roboh. Harimau itu kembali menyerang, Mac berhasil menghindar dengan berguling ke samping. Pergerakan itu mampu terlihat dari atas, namun tidak terlalu jelas karena banyak dahan yang rimbun. Karena tub
"Jika kita bergerak mereka akan semakin mudah melihat kita. Mana tahu mereka juga mengirim tim sniper!" "Kita baru saja lolos dari serangan seekor harimau liar, menghindari serangan orang-orang ini ... apa sulitnya!" tukas Mac membenahi ransel di punggungnya. Caka melirik, "Kau benar, tak ada yang bisa melukai kita. Jika mereka pikir mereka bisa menaklukkan kita dengan mudah, itu sebuah kesalahan besar. Karena kita yang akan menaklukkan mereka!" "Kau siap bergerak, Tuan?" "Tentu saja!" Keduanya saling mengangguk dan mulai melangkah dengan hati-hati. Berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain secara bersamaan. Hanya jika mereka selalu dekat dengan pohon bisa menghindari peluru yang datang. Apalagi saat ini mereka sudah berada di area yang mudah terlihat dari atas. Caka tahu mereka tak mungkin bisa terus menghindar, ia harus mencari cara agar bisa mengalahkan helikopter itu. Bukankah Mac bisa menggunakan kekuatannya! Akhirnya Caka menghentikan langkah, tetap menemp
Caka menghentikan langkah dengan tinju masih di udara, moncong senjata Laras panjang dengan kaliber 22 itu mengarah padanya. Tentu saja ia tak ingin mati sekarang, dan tidak akan! "Kau terlalu percaya diri, apakah ada perintah menembak mati kami di tempat? Aku berani jamin, pemerintah kalian akan menyesal jika sampai aku mati hari ini!" ujar Caka dengan tenang. Ia sudah menurunkan tangannya dan kini meletakan kedua tangan di belakang punggung. "Memangnya siapa kau sampai kami harus menyesal?" "Arkh!" suara teriakan yang tertahan membuat kami menoleh. Rupanya Mac baru saja mematahkan leher pria berseragam tentara yang menjadi lawannya. Ketika lawan Caka terkejut melihat hal itu, Caka memanfaatkan kesempatan untuk menerjang ke arahnya. Merebut senjata Laras panjang itu setelah memberii pukulan telak beberapa kali di wajah dan dada. Kini ia juga memukulkan pantat senjata itu ke wajah lawannya hingga tersungkur. Caka pun menodongkan senjata ke arah pria itu yang kini sedikit
"Caka, kenapa kau di sini?" tanya Lea dengan nada gemetar. "Aku ingin bicara denganmu!" Jawaban Caka sangat tenang dan dingin. "Kita ... bisa bicara di rumah." "Tapi aku ingin di sini!" Lea menelan ludah, entah mengapa ia meluhat sepupu iparnya itu tampak berbeda hari ini. Pemuda itu duduk di deoan kap mobil depannya, dan tak ada tongkat yang tampak ia gunakan. "Caka_" ucapan Lea terputu. saat Caka menarik diri hingga berdiri di atas kakinya dengan tegap. "C-Caka, kau ... kau bisa berjalan?" Caka menyimpulkan senyum kecut, "Aku bahkan bisa berlari ke hadapanmu dengan kilat!" Lea memundurkan diri, ia memiliki firasat tak baik itu sebabnya mencoba mancari jalan untuk melarikan diri. Sayangnya dari belakangnya, muncul Mac dengan ekspresi dingin. "Sebelum kita selesai bicara, aku tak akan membiarkanmu pergi!" ujar Caka menyeringai. "A-apa yang ingin-kau bicarakan?" "Katakan padaku, berapa kali kau memukul istriku?" Kedua mata Lea melebar seketika, rupanya gadis kampung i
"Untuk apa, Tuan?" "Aku suamimu, jadi aku berhak melihat seluruh tubuhmu tak terkecuali. Kau ingin membantah?" Zava menggeleng, ia pun menjulurkan kaki kirinya. Tak ada apa pun di sana. "Kaki yang satunya!" pinta Caka. Zava menelan ludah, dengan menggigit bibir ia pun menjukurkan kaki kanannya di sebelah sang suami. Caka menatap gelang kaki itu, ia memungkut kaki sang istri yang memakai gelang sedikit tinggi agar bisa mengamati gelang itu dengan jelas. Gelang itu terbuat dari titanium, itu berbentuk seperti gelang oada umumnya. Tapi melekat erat pada kulit Zava hingga meninggalkan bekas kemerahan di sekitar area gelang. Itu bukan karena sudah kekecilan, tapi sepertinya memang dibuat seperti itu. Caka memejamkan mata, meletakan telapak tangannya di atas gelang itu. Mengeluarkan sedikit energi untuk memeriksa. Rupanya di dalam gelang itu ada semacam energi yang digunakan untuk membelenggu. Gelang itu dibuat menempel pada kaki agar terhubung langsung dengan pembuluh da
Caka menatap wajah istrinya yang merona, wajah tanpa make up itu tampak segar dengan bibir kemerahan. Sebagai laki-laki normal, ia tentu tak bisa menolak pesona yang wanita muda itu tawarkan. Perlahan ia mendekatkan wajah, menutupkan bibirnya ke bibir sang istri. Zava memang terkejut, namun ia tak menolak. Ia terkejut karena selama ini pria yang sudah menjadi suaminya itu selalu dingin padanya. Bahkan terkesan membencinya. Ia tak pernah berfikir jika pria itu akan melakukan hal mesra kepadanya. Tapi malam ini ... pria itu menciummya. Antara ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Namun ia hanya melayani apa yang suaminya inginkan. Caka sedikit terkejut dengan respon wanita itu yang membalas ciumannya, memang Zava masih amatiran. Ciumannya masih sangat lugu, namun itu berhasil membuat Caka hilang kendali. Ia mulai melepaskan pakaian wanita itu satu persatu. Membalikan posisi mereka hingga Zava berada di bawahnya. Caka menatap wajah sang istri yang tampak s
Permasalahan di Akademi akhirnya selesai. Caka bisa bernafas dengan lega sekarang. Ia berhasil membersihkan namanya, bahkan mendapatkan pil dewa dan pusaka milik King Master. Ia mempelajari kitab 9 Matahari, ajaibnya ia hanya butuh beberapa hari mempelajari kitab itu. Padahal orang normal membutuhkan waktu hingg. berbulan-bulan. Bahkan ada yang sampai bertahun-tahun, tapi ia hanya butuh waktu hitungan hari. Ia pun mengembalikan kitab itu pada King Master sebelum pulang ke Nollyvia. "Kau yakin tak ingin membawa kitab ini?" tanya King Master meyakinkan. "Terima kasih, King Master. Saya sudah mempelajarinya, dan itu sudah cukup!" King Master menyimpulkan senyum. "Kau memang sangat spesial, baiklah. Aku akan menyimpan kitab ini sampai suatu saat ada orang yang juga pantas mendapatkannya." Ia menerima kembali kitab itu. "Saya juga sekalian pamit, sudah saatnya saya kembali ke Nollyvia!" "Kau akan kembali ke Nollyvia?" "Banyak hal yang tak bisa saya tinggalkan terlal
"Siapa kau?" pertanyaan Caka mengehntikan gerakannya. Pria itu menoleh, hanya beberapa detik karena setelah itu ia tetap menganbil kitab yang ada di dalam kotak. Kemudian pria itu pun melarikan diri, Caka segera mengejarnya. Meraih pundak pria itu lalu membalik tubuhnya, sang pria yang mengenakan pakaian serba hitam itu pun langsung menyerangnya. Mereka harus baku hantam. Di sela pertarungan Cakara mencoba untuk merebut kitab yang ada di salah satu tangan pria itu. Namun rupanya pria itu sangat tangguh, ilmu bela dirinya di atas yang dimiliki oleh Caka. Bahkan Caka terkena serangan beberapa kali, tubuhnya sempat terpental dan membentur dinding. Tapi ia tidak akan membiarkan orang itu berhasil membawa kitab 9 Matahari. Caka bangkit lalu kembali mengejar pria itu keluar ruangan. Ia mengikutinya menapai lorong sempit, menuju ke pintu keluar yang lain. Caka mengejarnya hingga keluar dari pagoda. Di luar justru ia semakin bebas menyerang pria itu. Pukulan dan tendangan mewarn
Kay meninggalkan ruangan itu dan langsung mencari Guru Yu. "Kaley, jadi sekarang dia mengincar kitab 9 Matahari?" "Benar, Guru." "Kurang ajar! jadi dia sengaja datang ke akademi hanya untuk mencuri!" "Kita harus menangkap mereka!" "Kita tangkap mereka saat hendak mencuri kitab itu, kau awasi terus saja. Kapan mereka akan beraksi!" Sementara di kamarya. "Apa kau yakin jika Kay itu adalah mata-mata para master?" tanya Toru. "Guru Yu yang membawanya secara tiba-tiba, padahal sudah jelas sejak King Master sakit, akademi sudah tidak menerima murid baru lagi!" sahut Kaley. "Tapi kenapa kita harus sengaja memancing mereka, bagaimana jika kita gagal mencuri kitab 9 Matahari dan kita lalu tertangkap. Kita akan mendapatkan hukuman yang berat!" "Aku memiliki rencana, kita memang akan menjadi umpan untuk mengalihkan perhatian mereka. Sementara, akan ada orang lain yang mengambil kitab itu!" Efran dan Toru saling pandang lalu kembali menatap Kaley. "Keluargamu?" "Misi kali
"Menyamar?" seru semua orang. Caka mengangguk. Hanya dengan menyamar ia bisa bergerak leluasa di area Akademi. "Ide itu tidak buruk, tapi bagaimana kau akan mengungkap pelaku yang sesungguhnya?" sahut Yu Long. "Kita lihat saja nanti!" Akhirnya guru Yu mmebawa Caka kembali ke Akademi, dan kali ini ia akan menginap di asrama. Biarkan Mac sementara berada di rumah Arjun. Guru Yu mengenalkan Caka yang saat ini mengenakan kaca mata tebal, tahi lalat di bawah mata dan kumis tipis itu sebagai Kay. Kay mulai menjalani aktifitas seperti murid lainnya. Ia sengaja menjadi murid yang pendiam dan jarang berbaur. Saat diam ia bisa mengamati semuanya. Saat melewati paviliun belakang, samar Kay mendengar sebuah suara. Jadi ia pun bersembunyi di belakang pilar besar. "Jangan khawatir, Ayah. Sebentar lagi aku akan mendapatkan kita 9 Matahari. Dengan kitan itu, kita bisa meramu pil dewa sendiri!" Kay sangat terperangah, sepertinya orang itu sedang berkomunikasi melalui handphone.
Leo menatap Caka dengan tak percaya, ia snagat terkejut akan hal itu. Kabar burung yang ia tahu pemuda bernama Caka itu yang mencuri pil dewa. Tapi apakah benar, memang ayahnya yang sengaja memberikan pil dewa pada Caka? Leo kemudian menatap King Master. "Ayah, benarkah itu? Ayah yang memberikan pil dewa kepada Caka?" King Master memejamkan mata sejenak, "Iya. Aku memang memberikan pil dewa padamu!" Caka menghela nafas panjang, sementara Leo mengeraskan rahang. Bahkan dirinya yang merupakan putranya tidka berhak mendapatkan manfaat dari pil dewa. Tapi kenapa anak ingusan seperti Cakara bisa? "King Master, kenapa _" "Aku memiliki alasan, pil dewa todak kuberikan kepada sembarang orang. Kau memiliki aura murni yang sangat kuat, di dalam darahmu ... mengalir darah dari seseorang yang tidak biasa. Tapi selama ini, tubuhmu terkunci karena banyaknya racun yang kau terima!" "Ya, sejak kecil ... bibiku memberiku racun agar aku tak bisa pulih. Sebenarnya tubuh ini ...," Caka tak
"Kita pergi sekarang!" ujar Caka dengan tegas. "Aku dengar King Master dirawat di kediamannya di vila La Gracille. Di sana penjagaannya sangat ketat!" tukas Ryuka. "Iya, takutnya ada musuh yang memanfaatkan kondisi King Master untuk mencelakainya lagi!" imbuh Nardo. "Tak apa, aku akan ke sana bersama Mac!" "Kak Caka, aku ikut!" pinta Arjun. "Kau sudah cukup banyak membantu, Arjun!" "Siapa tahu Kak Caka membutuhkan bantuan di sana!" Setelah berfikir sejenak akhirnya Caka mengijinkan Arjun ikut bersamanya. Bahkan Ryuka juga. Mereka pergi bersama-sama ke kediaman King Master. Di pintu gerbang, para penjaga melarang mereka masuk. "Katakan pada Tuan kalian, aku membawa penawar untuk King Master!" "Banyak yang berkata demikian, tapi semuanya pembohong!" jawab si pengawal. "Aku tidak berbohong, aku membawanya langsung dari pulau persik. Griselda yang memberikannya!" Pengawal itu tampak berdiskusi dengan temannya beberapa saat. "Baiklah, tunggu di sini!" ujar si pengawal